Cerobong- cerobong PLTU Suralaya membubung tinggi menantang langit, menjadi simbol kemajuan sekaligus ketimpangan.Â
Di balik proyek raksasa yang digadang-gadang sebagai tulang punggung ketenagalistrikan nasional, ada jeritan pengusaha lokal yang tenggelam dalam janji-janji yang tak kunjung ditepati.
Di tengah suara mesin berat dan kepulan debu konstruksi, wajah-wajah penuh kegelisahan berkumpul. Salah satunya Irsyad, seorang pengusaha dari Kecamatan Pulomerak. Ia bukan satu-satunya yang dirundung ketidakpastian.Â
"Kami sudah menyelesaikan pekerjaan, tapi tagihan kami, yang nilainya mencapai belasan miliar, belum juga dibayarkan," ujarnya dengan nada getirgetir, jumat 14 Februari 2025.
Mereka datang dengan tenaga, keringat, dan kepercayaan. Kepercayaan bahwa di negeri sendiri, mereka akan diperlakukan adil. Tapi kepercayaan itu kini hanya tinggal serpihan debu yang beterbangan bersama asap cerobong PLTU.
Di balik angka-angka besar proyek strategis ini, ada kisah tiga perusahaan lokal, seperti PT Berlian Putih Nusantara, PT Anggrek Mas Cahaya Plasindo, dan PT Tri Pusaka Manunggal hingga kini merasakan getirnya bekerja untuk sebuah sistem yang lebih peduli pada kontraktor asing ketimbang anak bangsa sendiri.Â
Mereka bekerja di bawah PT Hydro Jotalindo Perkasa, subkontraktor yang berada di bawah kendali raksasa Korea Selatan, PT Doosan Heavy Industries.
Kontrak telah diteken, pekerjaan diselesaikan, janji pembayaran diucapkan dengan manis. Tapi janji, seperti yang sudah sering terjadi, ternyata hanya sebatas angin lalu.
"Kami bukan minta belas kasihan. Kami hanya ingin hak kami dibayar. Ini bukan angka kecil. Dengan tagihan yang belum dibayar, kami terancam bangkrut. Ratusan pekerja kami bisa kehilangan mata pencaharian," kata Irsyad. Tapi siapa yang peduli?