Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Rahmatullah Safrai

Founder Sekumpul EduCreative dan Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

PLTU Suralaya Unit 9-10 dan Jeritan Pengusaha Lokal: Proyek Tak Kunjung Dibayar

14 Februari 2025   10:57 Diperbarui: 14 Februari 2025   10:57 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerobong dan pabrik PLTU Suralaya Unit 9-10 (Foto Pram) 

Di ruang-ruang rapat berpendingin udara, para petinggi mungkin tengah menikmati kopi hangat sembari mendiskusikan proyek berikutnya. Sementara di luar sana, ratusan pekerja yang bergantung pada perusahaan-perusahaan lokal ini mulai gelisah.

Mereka tak butuh pidato panjang soal investasi dan pertumbuhan ekonomi. Mereka hanya butuh kepastian, kapan uang mereka dibayar? Bukan sekadar janji kosong yang diulang-ulang dalam mediasi yang tak pernah berujung.

Setiap kali ada pembicaraan, jawabannya selalu sama, "akan dibayar, Sedang diproses." Menunggu keputusan. Tapi waktu terus berjalan dan lembar-lembar tagihan itu tetap tak tersentuh.

Di belakang tagihan yang tidak dibayarkan itu ada keluarga-keluarga yang mulai panik. Anak-anak yang harus tetap sekolah. Tagihan listrik yang harus dibayar. Perut yang tak bisa berkompromi dengan janji.

Jika semua jalur telah ditempuh tapi tak juga didengar, maka suara harus diperbesar. Jika suara yang lembut tak cukup, maka suara itu akan diteriakkan dengan lantang.

Disebutkan Irsyad, seribu massa akan turun ke jalan, menyuarakan apa yang seharusnya sudah menjadi hak mereka. Ini bukan sekadar protes. Ini adalah perlawanan terhadap sistem yang selalu berpihak pada mereka yang besar dan menginjak mereka yang kecil.

Mereka yang berdasi mungkin akan menyebut ini sebagai gangguan. Mereka yang duduk nyaman di kursi empuk mungkin akan merasa risih. Tapi bagi mereka yang berjuang di bawah, ini adalah satu-satunya cara agar suara mereka didengar.

"PLTU Suralaya Unit 9-10, yang katanya akan menerangi negeri, kini justru meredupkan kehidupan warga lokal yang telah memeras keringat untuk pendirian pabrik, " kata Irsyad lirih. 

Jika tak ada perubahan, mungkin memang begitulah sistem ini bekerja---menghisap tenaga, menguras keringat, lalu membiarkan mereka yang di bawah berjuang sendiri.

Tapi kali ini, mereka tidak akan diam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun