Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Rahmatullah Safrai

Founder Sekumpul EduCreative dan Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

PLTU Suralaya Unit 9-10 dan Jeritan Pengusaha Lokal: Proyek Tak Kunjung Dibayar

14 Februari 2025   10:57 Diperbarui: 14 Februari 2025   10:57 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerobong dan pabrik PLTU Suralaya Unit 9-10 (Foto Pram) 

Cerobong- cerobong PLTU Suralaya membubung tinggi menantang langit, menjadi simbol kemajuan sekaligus ketimpangan. 

Di balik proyek raksasa yang digadang-gadang sebagai tulang punggung ketenagalistrikan nasional, ada jeritan pengusaha lokal yang tenggelam dalam janji-janji yang tak kunjung ditepati.

Di tengah suara mesin berat dan kepulan debu konstruksi, wajah-wajah penuh kegelisahan berkumpul. Salah satunya Irsyad, seorang pengusaha dari Kecamatan Pulomerak. Ia bukan satu-satunya yang dirundung ketidakpastian. 

"Kami sudah menyelesaikan pekerjaan, tapi tagihan kami, yang nilainya mencapai belasan miliar, belum juga dibayarkan," ujarnya dengan nada getirgetir,  jumat 14 Februari 2025.

Mereka datang dengan tenaga, keringat, dan kepercayaan. Kepercayaan bahwa di negeri sendiri, mereka akan diperlakukan adil. Tapi kepercayaan itu kini hanya tinggal serpihan debu yang beterbangan bersama asap cerobong PLTU.

Di balik angka-angka besar proyek strategis ini, ada kisah tiga perusahaan lokal, seperti PT Berlian Putih Nusantara, PT Anggrek Mas Cahaya Plasindo, dan PT Tri Pusaka Manunggal hingga kini merasakan getirnya bekerja untuk sebuah sistem yang lebih peduli pada kontraktor asing ketimbang anak bangsa sendiri. 

Mereka bekerja di bawah PT Hydro Jotalindo Perkasa, subkontraktor yang berada di bawah kendali raksasa Korea Selatan, PT Doosan Heavy Industries.

Kontrak telah diteken, pekerjaan diselesaikan, janji pembayaran diucapkan dengan manis. Tapi janji, seperti yang sudah sering terjadi, ternyata hanya sebatas angin lalu.

"Kami bukan minta belas kasihan. Kami hanya ingin hak kami dibayar. Ini bukan angka kecil. Dengan tagihan yang belum dibayar, kami terancam bangkrut. Ratusan pekerja kami bisa kehilangan mata pencaharian," kata Irsyad. Tapi siapa yang peduli?

Pengusaha lokal merencakan aksi tuntut pembayaran proyek di PLTU Suralaya (Foto Kang Irsyad) 
Pengusaha lokal merencakan aksi tuntut pembayaran proyek di PLTU Suralaya (Foto Kang Irsyad) 

Di ruang-ruang rapat berpendingin udara, para petinggi mungkin tengah menikmati kopi hangat sembari mendiskusikan proyek berikutnya. Sementara di luar sana, ratusan pekerja yang bergantung pada perusahaan-perusahaan lokal ini mulai gelisah.

Mereka tak butuh pidato panjang soal investasi dan pertumbuhan ekonomi. Mereka hanya butuh kepastian, kapan uang mereka dibayar? Bukan sekadar janji kosong yang diulang-ulang dalam mediasi yang tak pernah berujung.

Setiap kali ada pembicaraan, jawabannya selalu sama, "akan dibayar, Sedang diproses." Menunggu keputusan. Tapi waktu terus berjalan dan lembar-lembar tagihan itu tetap tak tersentuh.

Di belakang tagihan yang tidak dibayarkan itu ada keluarga-keluarga yang mulai panik. Anak-anak yang harus tetap sekolah. Tagihan listrik yang harus dibayar. Perut yang tak bisa berkompromi dengan janji.

Jika semua jalur telah ditempuh tapi tak juga didengar, maka suara harus diperbesar. Jika suara yang lembut tak cukup, maka suara itu akan diteriakkan dengan lantang.

Disebutkan Irsyad, seribu massa akan turun ke jalan, menyuarakan apa yang seharusnya sudah menjadi hak mereka. Ini bukan sekadar protes. Ini adalah perlawanan terhadap sistem yang selalu berpihak pada mereka yang besar dan menginjak mereka yang kecil.

Mereka yang berdasi mungkin akan menyebut ini sebagai gangguan. Mereka yang duduk nyaman di kursi empuk mungkin akan merasa risih. Tapi bagi mereka yang berjuang di bawah, ini adalah satu-satunya cara agar suara mereka didengar.

"PLTU Suralaya Unit 9-10, yang katanya akan menerangi negeri, kini justru meredupkan kehidupan warga lokal yang telah memeras keringat untuk pendirian pabrik, " kata Irsyad lirih. 

Jika tak ada perubahan, mungkin memang begitulah sistem ini bekerja---menghisap tenaga, menguras keringat, lalu membiarkan mereka yang di bawah berjuang sendiri.

Tapi kali ini, mereka tidak akan diam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun