Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jalan Sunyi Pengrajin Genteng di Cilegon yang Hampir Punah

4 Oktober 2020   10:49 Diperbarui: 4 Oktober 2020   20:41 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubug Lio tampak depan (Dokpri/Pram)

Kondisi tempat pengambilan tanah liat di sekitar Gubuga Lio saat ini (Dokpri/Pram)
Kondisi tempat pengambilan tanah liat di sekitar Gubuga Lio saat ini (Dokpri/Pram)
Wawan tetap bertahan menjalankan tradisi mencetak genteng sebagai upaya bertahan hidup. Mengaku memiliki langganan, Wawan tidak kesulitan untuk menjual.

Wawan sadar, penghasilan dari produksi genteng tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Butuh proses yang lama dari pencetakan genteng hingga masuk ke dalam tungku kobongan.

"Kapasitas Kobongan hanya bisa memuat sembilan ribu saja. Itu juga butuh proses satu bulan untuk bisa terkumpul, atau jika masuk musim hujan akan lebih lama lagi," katanya.

Membayangkan biaya produksi dan hasil penjualan rasanya sulit untuk dipahami. Wawan sendiri mengaku berat dalam pembelian tanah dan ongkos kirim dari serang. Sementara pembongkaran hasil pembakaran genteng cukup lama.

Harga satuan genteng saat ini Rp700. Sementara kapasitas pembakaran genteng hanya cukup 9.000 saja. Itu pun jika dibongkar, ada yang gagal karena gosong dan pecah bisa mencapai 1.000. Genteng yang layak jual sekitar 8.000. Artinya, dalam satu bulan hanya mampu menghasilkan pendapatan sekitar Rp5.600.000. 

"Ya, gimana lagi. Jika dihitung-hitung cukup buat makan saja masih kurang," kata Wawan.

Genteng baru selesai dicetak (Dokpri/Pram)
Genteng baru selesai dicetak (Dokpri/Pram)
Wawan menyadari, runtuhnya Gubug Lio disebabkan oleh harga jual yang sangat murah. Sementara persaingan penjualan genteng kalah dengan genteng yang berasal dari Lampung.

"Saya akui, genteng dari Lampung itu lebih bagus dan halus, kelihatan dari warnanya yang merahnya rata," kata Wawan.

Perkembangan kerangka baja untuk kontruksi atap rumah pun membuat genteng tidak lagi dilirik. Inilah alasan kenapa banyak pengrajin meninggalkan Gubug Lio dan membuka usaha lainnya.

"Sejak dulu, sama sekali kita tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, dalam bentuk apa pun itu. Apalagi perlindungan kesejahteraan para pengrajinnya," kata Wawan.

Sisa pembakaran genteng dari tungku Kobong (Dokpri/Pram)
Sisa pembakaran genteng dari tungku Kobong (Dokpri/Pram)
Ratusan Gubug Lio yang pernah ada harusnya mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Kota Cilegon. Tahun 1980 hingga awal 2000an, Gubug Lio pernah menjadi sumber kehidupan ribuan orang di Cilegon. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun