Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Jendela Kecil

17 November 2019   01:14 Diperbarui: 19 November 2019   19:06 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (sumber: pixabay via suar.grid.id)

Tidak ada yang lebih indah dari kehidupan selain cahaya matahari.

Nina, merindukan cahaya matahari. Cahaya yang begitu hangat menyapa ketika pagi. Begitu nyaman ketika senja hendak menghilang dengan cahaya kemerahannya. Begitulah, cahaya. Rindu telah bersemayam dihati Nina dalam kesendirian di dalam ruang yang begitu membosankan.

Ruang tanpa cahaya matahari. Di atas tempat tidur dengan selimut putih bercorak garis hitam, Nina selalu duduk memeluk kedua kakinya. Dagu beradu dengan lutut. Tatapan begitu sayu terlepas.  

Dari binar bola matanya, menyimpan begitu banyak harapan. Namun, gadis 10 tahun itu terkurung dalam tembok berwarna putih. Cahaya lampu neon tergantung di langit-langit membuat tidak nyaman.

Nina, teringat dengan Ibu.

Dulu, hari-hari yang terlewati. Nina pernah merasakan ketika pagi, Ibu membuka jendela kamarnya. Cahaya matahari begitu cerah menyinari kebun bunga di samping kamar Nina. Nina hanya bisa menatapnya. 

Ingin rasanya merentangkan tangan ke atas langit, lalu cahaya matahari akan memeluk dengan kehangatan. Dijeruji besi-besi bingkai jendela itu, Nina tertahan. Tubuhnya tidak seperti cahaya yang begitu mudah masuk dicelah sekecil apapun.

Ibu, seperti mentari yang selalu menyapa dengan kehangatannya. Seperti pagi-pagi yang telah lewat, nafas ibu begitu segar menyatu dengan aroma alam yang diterbangkan bersama desiran angin pagi. Nina menyukainya. 

Nina selalu bermanja di pagi itu. Hingga waktu berlalu. Jendela akan ditutup bersama semburat cahaya senja. Gelap berganti. Nina akan cepat-cepat tidur, agar esok bisa kembali membuka jendela lalu menyapa sinar matahari yang berjatuhan di daun-daun yang hijau.

"Selamat pagi, Nina. Pagi ini begitu segar," kata Ibu.

Nina menghirup nafas dalam-dalam. Terasa bau bumi, tanah basah diguyur hujan semalam.

"Ibu, aku lihat kemaren daun-daun itu layu. Namun pagi ini begitu segar setelah semalam diguyur hujan, lalu pagi ini cahaya matahari menghangatkannya," kata Nina.

Begitulah daun, Nina.

Ibu hanya tersenyum. Lalu menyuapi Nina makanan. Setelah itu butiran obat mengakhiri sarapannya.

"Ibu, bagiku, tidak ada yang lebih indah dari sinar matahari," kata Nina.

"Iya sayang, Ibu juga merasakan yang sama."

Ibu menutup pembicaraan. Terkadang jika berlama-lama menanggapi pertanyaan Nina -- matanya akan basah. Nina akan menganggapnya itu dari kesedihan. Lalu, Ibu memilih keluar. Nina sendiri, menghitung hari bersama sinar matahari di jendela.

Pensil warna dan kertas sudah tidak menarik lagi untuk menggambar. Begitu juga dengan boneka tidak lagi asik dimainkan. Nina hanya duduk termengu, menatap keluar jendela.

ilustrasi jendela. (dok. Pribadi)
ilustrasi jendela. (dok. Pribadi)

Hari-hari berikutnya, wajah ibu tak secerah biasanya. Ibu menyuapi makanan dan butiran obat. Ibu menyimpan rasa sedih, ketika obat berkurang tidak mampu membelinya.

Pagi sudah tidak bercahaya. Hujan terus turun sepanjang waktu. Langit gelap. Awan hitam menggumpal menakutkan. Nina hanya bisa berdoa agar awan hitam, angin kencang, dan petir pergi dari atas rumahnya.

Hari yang menyedihkan. Musim hujan tidak kunjung berakhir. Nina menatap sayu daun-daun basah.

Hingga pagi kembali menghangat. Nina, dalam pikirannya ingin sekali bermain dan menikmati langsung cahaya matahari. Hingga larangan Ibu dilupakannya. Diam-diam, keberanian itu datang tibatiba. Nina keluar dari pintu kamarnya, meniti langkah hingga menemukan pintu keluar dengan semburat cahaya penuh.

Nina mendapatkan cahaya matahari. Kulit tubuhnya yang putih merasakan hangatnya cahaya matahari. Penuh syukur. Itulah dimana Nina merasakan bahagia. Hingga tanpa disadari. Kulit putih Nina berubah menjadi merah. Terasa terbakar. Nina menjerit kesakitan. Hingga cahaya menghilang bersama kelopak mata menutup.

Hari itu, hari dimana penuh penyesalan.

Nina tertidur begitu lama. Gelap. Hingga kulitnya yang merah terbakar berangsur kembali putih.

Pucat. Seperti tidak ada darah.

Hari tanpa jendela pun dimulai. Dibalik dinding berwarna putih, kesunyian hanya dihangatkan lampu neon yang tergantung.

Nina merasakan sepi. Tidak ada jendela, tidak ada warna alam yang bisa dilihatnya. Cahaya matahari tentu berbeda dengan lampu neon yang menyala.

Di balik selimut putih bermotif gari hitam, Nina selalu berdoa agar bisa kembali diberikan jendela kamarnya. Jendela itu seperti surga yang dimilikinya selain bersama Ibu. Jendela yang memberikan semangat penuh harapan. Jendela yang menawarkan kehidupan. Seperti daun-daun yang bergerak seirama hembusan angin.

"Ibu, berikan aku jendela," Nina merajuk.

"Jika kamu merindukan cahaya, tatap saja mata Ibu. Jika kamu butuh kehangatan, peluk saja ibu."

"Ibu, aku ingin cahaya matahari."

"Jika begitu, Nina akan mengubur harapan Ibu."

Nina hanya diam. Ibu lalu pergi sambil menahan air matanya. 

Bertahun-tahun, Ibu menahan harapan yang sama seperti Nina. Namun tubuh Nina tidak mampu bersentuhan dengan cahaya matahari. Kangker kulit membuat tubuh Nina tidak mampu bersentuhan dengan cahaya terindah itu. Tubuh yang tumbuh tanpa sinar matahari. Lemah tak berdaya.  

Begitulah, cahaya. Rindu telah bersemayam di hati  Nina dalam kesendirian di dalam ruang yang begitu pengap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun