Mohon tunggu...
Manggala Putra
Manggala Putra Mohon Tunggu... MAS MGGL

Suka mengamati

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dari Sanksi Akademik Kok Bisa Ditentukan PTUN, Kasus Bebas Sanksi Promotor Desertasi Bahlil

9 Oktober 2025   14:47 Diperbarui: 9 Oktober 2025   14:47 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 189/G/2025/PTUN.JKT dan 190/G/2025/PTUN.JKT terkait gugatan promotor dan ko-promotor sidang disertasi Bahlil Lahadalia menimbulkan gelombang pertanyaan serius. Bukan sekadar soal isi putusan yang memenangkan para penggugat, melainkan juga mengenai kontroversi di balik peran hakim yang seolah lebih berpihak pada kepentingan personal daripada menjaga marwah akademik.

Dalam putusan tersebut, hakim PTUN menyatakan bahwa promotor dan ko-promotor bebas dari sanksi etik yang dijatuhkan Universitas Indonesia (UI). Ironisnya, sanksi yang sebelumnya dianggap penting untuk menjaga standar akademik hanya diganti dengan kewajiban membayar biaya perkara Rp359 ribu. Sebuah angka yang, bila dibandingkan dengan risiko runtuhnya integritas akademik, terasa bagai lelucon pahit.

Keputusan ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah hakim benar-benar mempertimbangkan substansi akademik, atau sekadar terjebak pada formalisme hukum yang kering dan sempit?

Kunci polemik ini sesungguhnya berada di kursi hakim. Alih-alih berdiri tegak sebagai penjaga keadilan substantif, putusan mereka justru terkesan memberi jalan pintas bagi mereka yang semestinya dievaluasi secara serius. Hakim, dalam hal ini, dianggap gagal memahami perbedaan antara sengketa administratif biasa dengan masalah integritas akademik yang menyangkut masa depan dunia pendidikan tinggi.

Putusan ini bisa ditafsirkan sebagai cermin dari lemahnya sensitivitas hakim terhadap etika akademik. Bagaimana mungkin lembaga peradilan yang seharusnya memperkuat tata kelola, justru meluluhlantakkan kerja keras universitas untuk menegakkan standar akademik?

Kasus disertasi Bahlil Lahadalia sejak awal sudah penuh kontroversi: mulai dari masa studi super singkat, predikat cum laude yang dipertanyakan, hingga peran promotor dan ko-promotor yang dianggap melanggar standar etika. Ketika UI berupaya menegakkan disiplin melalui sanksi pembinaan, langkah itu justru dipatahkan oleh hakim PTUN.

Jika putusan seperti ini dibiarkan, maka pesan yang sampai ke masyarakat adalah sederhana: pelanggaran etika bisa dinegasikan lewat jalur hukum, integritas akademik bisa diperdagangkan dengan biaya perkara. Inilah bahaya terbesar dari putusan hakim yang tidak berpihak pada kepentingan publik.

Publik harus mengawal!


Untungnya, Universitas Indonesia tidak tinggal diam. UI resmi mengajukan banding, menegaskan bahwa putusan PTUN tidak bisa menjadi akhir dari cerita. Emir Chairullah, Kepala Subdirektorat Hubungan Media dan Pengelola Reputasi Digital UI, menegaskan banding ini sebagai bentuk komitmen menjaga integritas akademik.

Namun, perjuangan UI tidak bisa berdiri sendiri. Publik, terutama sivitas akademika, harus mengawal proses hukum ini agar banding tidak hanya menjadi formalitas, melainkan juga momentum untuk menagih kembali tanggung jawab hakim.

Hakim bukan hanya pelayan hukum, tetapi juga pelayan keadilan. Dalam kasus ini, keadilan substantif justru diabaikan. Keputusan yang menguntungkan segelintir pihak tetapi mengorbankan reputasi universitas menunjukkan adanya jurang antara teks hukum dan rasa keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun