Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kikuk Sebelum Acara Dimulai

30 Agustus 2021   19:37 Diperbarui: 30 Agustus 2021   19:56 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dokumentasi Pribadi

"Menyadari di mana letak kekurangan diri itu penting, supaya tahu dari mana kita harus mulai berbenah diri dan mengasah potensi", Dewar Alhafiz.

Tulisan ini melanjutkan pembahasan pada artikel yang berjudul Sepenggal Drama Satu Hari Menjelang Acara Kopdar ke-7 SPK sebelumnya.

Bagian 2:

Beberapa saat sebelum memutuskan bergabung ke dalam Zoom, saya sempat dibuat gupuh dengan dua acara yang saling bertabrakan. Di satu sisi saya kepincut berburu ilmu dan menimba motivasi kepada para tokoh terkemuka yang disajikan dalam kopdar ke-7 SPK, sementara di lain pihak saya memiliki jadwal belajar bersama dengan anak didik saya. 

Tidak dapat dipungkiri, bentrokan antara dua agenda di waktu yang sama itu pula yang membuat saya merasa berat hati untuk memilih. Perasaan berat hati itu bukan semata-mata tentang memilih keinginan yang berapi-api dan bukan soal bujuk rayuan karena datangnya surat undangan, melainkan yang menjadi prioritas pertimbangan saya waktu itu, hanya tentang agenda mana yang sekiranya memberikan kemanfaatan jangka panjang dalam konteks mengasah potensi dan kemaslahatan. 

Tepat di ujung tanduk dilematis itu, akhirnya saya berinisiatif untuk melobi jadwal tatap muka dengan anak didik saya. Dengan alasan, belajar bersama dengan anak-anak bisa saja tetap dilakukan di lain waktu, terlebih jika mengingat agenda itu sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Berbeda halnya dengan agenda kopdar SPK yang sifatnya momentum dan hanya dihelat satu semester sekali. 

Kegupuhan dan upaya melobi jadwal yang saya lakukan tentu hanya bentuk pengorbanan kecil atas satu pilihan yang harus diambil. Sementara di luar sana, saya yakin betul masih banyak kasus pengorbanan besar yang dilakukan oleh para partisipan acara kopdar ke-7 SPK. Misalnya saja, ada partisipan yang harus terlebih dahulu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, merawat keluarganya yang sedang isolasi mandiri di kamar dan mengurusi anak-anaknya sebelum bergabung ke dalam Zoom. 

Sudah barang tentu pengorbanan besar yang mereka lakukan untuk mengikuti agenda kopdar ke-7 SPK itu atas dasar tekad luar biasa dan niat yang sungguh-sungguh dibandingkan saya yang papa. 

Secara tidak langsung hal itu menunjukkan, bahwa selalu ada rupa-rupa cerita di balik keputusan yang harus kita ambil. Ada hierarki kebutuhan yang tidak pernah bisa disamaratakan di antara kita masing-masing.

Sesaat kemudian, jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan, dan saya baru saja meng-klik tautan undangan. Itu artinya, jika saya mengacu pada rundown acara, setengah jam yang lalu acara telah dimulai. Molor maning, molor maning. Etdah, kebiasaan banget si lho bang! 

Sedikit was-was dan menelan ludah pelan-pelan tatkala handphone saya sedang loading memasuki ruang pertemuan virtual versi Zoom. Di halaman depan tampak jelas, pak Arfan (sapaan akrab untuk ketua SPK pusat) sedang menyapa beberapa partisipan yang sudah tertengger, sembari memastikan kehadiran para narasumber. 

Masih terngiang betul dalam ingatan saya, setelah itu pak Arfan asyik bertegur sapa dengan prof. Mulyadhi Kartanegara (sebutan selanjutnya prof. Mulyadhi). Hingga akhirnya, prof. Mulyadhi mulai menceritakan pengalaman panjangnya dalam menggeluti dunia literasi. 

Meski demikian, alih-alih beliau menceritakan pengalaman pribadi tentang sepak terjangnya dalam dunia literasi, namun kesan yang saya tangkap justru beliau sedang warming up, menata jembatan untuk sampai pada materi yang hendak beliau suguhkan. Dan itu cukup membuat saya kikuk. Terlebih, di saat beliau mulai menunjukkan rekam jejak tulisan tangan beliau yang orisinil dan terawat, meskipun tulisan itu pada kenyataannya sudah diterbitkan dalam bentuk buku.

Tidak hanya satu-dua buku draf tulisan tangan yang beliau tunjukkan, melainkan lebih dari itu. Bahkan, beliau hafal betul mana buku versi cetak dan draf tulisan tangannya. Di tangannya, kedua versi buku itu telah kawin-mawin tanpa harus keliru tatkala menunjukkan. Dan itu sungguh luar biasa menurut saya. Meminjam kata Bang Haji Rhoma, "sungguh terlalu!"

Ya, sungguh terlalu. Kata yang tepat untuk mewartakan level di atas luar biasa. Tidak melampaui luar biasa bagaimana coba? Di saat orang lain asyik menikmati menulis dengan mengandalkan kecanggihan teknologi: laptop, notebook, atau pun bentuk gadget lainnya, beliau justru merawat tradisi menulis tangan. Bahkan beliau telah melakoni menulis tangan beratus-ratus hingga ribuan halaman.

Tidak seperti saya, yang lebih doyan belajar menulis mengandalkan kecanggihan. Itu pun semangat menulisnya masih tertatih-tatih, bahkan lebih banyak tersandung berbagai jenis batu alasan yang membuat saya tidak berkembang. Mudah menyerah dan terus goyah. Sempurna sudah kikuk itu meliputi kujur awak. 

Etdah bang, bang. Mbok yo lebih giat ngunu lho. Ndang nerbitne buku solo! Ojo panggah selonjoran wae!

Meskipun demikian, saya masih diberikan kesempatan untuk bersyukur, karena untuk kali ini, kebiasaan molor itu tidak membuat saya ketinggalan mengikuti agenda kopdar ke-7 SPK. 

Tulungagung, 30 Agustus 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun