Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Bakat Terpendam Menjadi Tukang Palak

7 Juli 2021   14:15 Diperbarui: 7 Juli 2021   17:30 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dokumentasi Pribadi

Bagian 1: Bukan Pemalakan Biasa


Tepat Sabtu, 3 Juli 2021 saya mendapati buku terbaru Kang Eka Kurniawan telah nangkring di status WhatsApp salah seorang teman. "Akhirnya tanda tangan idola berada di genggaman", demikian cuit status itu membumbui cover buku dengan judul "Sumur" yang terpampang dalam postingan teman saya (selanjutnya sebut saja Kak Ina).

Mendapati hal itu, tangan saya lantas gatal untuk merajut iba dan kecemburuan. "Curang. Aku kok enggak dibelikan si Kak?", saya mengomentari story WhatsApp Kak Ina. Lagian kenapa Kak Ina yang lebih dulu memilikinya? Padahal jauh-jauh hari saya sempat kepincut melihat postingan buku tersebut langsung di beranda Facebook penulisnya, Eka Kurniawan.

Tatkala itu, terbersit rasa ingin meminangnya namun belum saja kesampaian. Satu keinginan yang berdiri tegak di atas isian dompet yang melulu merasa kehausan. Seakan-akan rasa ingin itu telah lebih dulu tahu diri dengan menaruh rasa iba sebelum pikiran saya benar-benar mengambil satu keputusan. Kehalusan rasa ingin itu telah lebih dulu mengharu biru mengendus ketandusan dahaga yang terus meronta-ronta.

Lantas, komentar kecemburuan tersebut terus berlanjut hingga akhirnya berhasil memojokkan Kak Ina sebagai korban pemalakan saya. Tentu, soal mojok-memojokkan dan pemalakan itu sebenarnya tidak disengaja, bahkan rasa-rasanya bukan bakat saya. Tapi, entah kenapa, isi chatting saya malam itu mengarah ke sana dan berhasil meluluhkan rasa Iba Kak Ina untuk membelikan karya terbaru dari Kang Eka.

Awalnya kealotan proses chatting itu begitu terasa. Seperti kasus pada umumnya, perempuan selalu ingin ditraktir oleh lelaki kenalannya, entah teman, sahabat, atau gebetannya. Sementara relasi kita dalam kasus ini sebagai teman semata. Namun, keluluhan itu tampak di depan mata tatkala penegasan saya layangkan kepadanya. "Kenapa si perempuan itu maunya ditraktir terus? Sekali-kali nraktir (bayarin) kan tidak apa-apa", balas chat saya kepadanya.

Tujuh menit berselang Kak Ina dan saya lebih intensif saling berbalas chat. Kak Ina menjawab, "iya si benar enggak apa-apa." Dua menit selanjutnya ia menambah chat, "alamat mana?". "Untuk?", saya membalas chatnya. "Katanya mau buku", sambung Kak Ina satu menit kemudian. "Sebentar", tulis saya.  "Tunggu sampai lima menit kalau enggak hangus ", respon Kak Ina.

Secepat kilat menyambar, saya langsung meneruskan chat yang memuat alamat-yang pernah saya kirimkan saat memesan kitab Misykat al-Anwar dan buku Manusia Rohani Meditasi-meditasi Ibnu'Atha'illah-kepada Kak Ina. "Kalau ini saja gercep", tukas Kak Ina.

Detik berganti menit, chatting pun berlanjut dengan memastikan provinsi, mengirimkan bukti pembelian dan pengiriman. Waktu itu saya lihat pengiriman barang menggunakan jasa SiCepat Reguler. Dan ternyata, Kak Ina benar-benar mengirimkan buku gratisan. Padahal awalnya saya hanya guyon, akan tetapi pada kenyataannya bakat terpendam saya sebagai tukang palak itu benar-benar menghasilkan.

Entah darimana bakat premanisme itu datangnya. Apakah itu warisan dari para leluhur, karib kerabat, tetangga atau mungkin hasil daripada persilangan pergaulan yang kawin-mawin tanpa sepengetahuan saya. Atau mungkin tertuai dari pengetahuan saya yang cekak.

Namun karena itu pula saya malah berpikir; Apakah saya memang harus meneruskan (mengasah) bakat malak ini? Atau memang menjadi tukang palak adalah jalan ninja saya untuk mendapatkan buku gratisan? Ah, lagian siapa coba yang mau menolak buku gratisan? Sungkan, tapi menolak rezeki yang datang ke hadapan itu bukan tabiat yang sengaja dalam diri saya selipkan.

Ohya, Kak Ina sendiri adalah perempuan tulen yang lahir di Pandeglang Banten, yang kuliah di salah satu kampus yang ada di Sumatera dan bekerja sebagai supervisor di salah satu PT. Selain itu, ia juga masih menyempatkan bahkan dengan sengaja menceburkan diri untuk menjadi bagian aktif dari KMO (komunitas menulis oline).

Melalui KMO inilah saya dan teman-teman yang lain mulai berkenalan dengannya. Perannya sebagai Penanggungjawab (PJ) kelompok 27 Aksara Rasa menjadikan saya lebih sering chatting dengannya. Tentu isi dari chat itu fokus membahas bagaimana alur pelatihan menulis di KMO berlangsung. Meski terkadang ada sedikit gula yang tak lupa kami larutkan. Setidaknya, melalui chatting itu ada kesan dan pesan khusus yang dapat diambil dari pengalaman yang dishare Kak Ina.

Sebutkan saja semua itu dengan proses pengemongan. Pengemongan dalam rangka saling mengenal satu sama lain di antara setiap anggota kelompok. Setelah saling mengenal, maka sangat dimungkinkan akan tumbuh rasa saling menerima, memahami dan memupuk rasa kekeluargaan. Atas dasar itu pula, saya pikir proses pengemongan ini sangat penting. Anggap saja itu adalah anak tangga untuk sampai pada langkah berikutnya.

Intensitas chatting itu pun terus meningkat seiring tugas yang harus ditunaikan setelah saya ditunjuk sebagai seseorang yang dituakan dalam kelompok 27 Aksara Rasa. Tidak habis pikir, kenapa harus saya? Padahal selain saya, masih banyak anggota kelompok yang lebih tua dan matang dalam hal pengalaman serta wawasan. Akan tetapi, apalah daya, saya tidak bisa menciderai kepercayaan dan amanah yang telah diberikan.

Lantaran intensitas chat dan kepercayaan itu pula terkadang kita saling lempar guyonan yang lumayan menggelitik dan menghibur; entah itu di grup ataupun secara personal. Sudah barang tentu semua itu secara formalitas penting dilakukan untuk membangun keakraban di antara sesama penjabat struktural. Sebab ke mana arah kapal pesiar itu akan mengelana sangat ditentukan visi dan kebulatan tekad yang sama.

Ah, masa iya demikian? Yang jelas tampak dalam sinisme, bukankah itu alibi logis untuk menyembunyikan modus desideratif saya?

Bersambung...

Tulungagung, 7 Juli 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun