Dalam pelaksanaannya, setiap satu tugu (keluarga) biasanya membawa tiga sampai lima buah takiran. Meskipun demikian, tapi jumlah itu tidak pernah dibakukan. Uniknya, setelah takiran itu ditata di tengah-tengah jamaah yang melingkar dan dibacakan do'a, selanjutnya setiap orang akan saling tukar-menukar takiran mereka. Semua takiran yang ada dibagi rata sampai habis. Sehingga orang yang mungkin tidak membawa sekalipun juga akan mendapatkan bagiannya.
Sudah barang tentu landasan utama dari tradisi takiran ini adalah sama-sama saling mengikhlaskan dan diniatkan sedekah atas semua makanan yang disuguhkan. Hal ini dilakukan tidak lain karena tujuan membangun relasi kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan dalam dua dimensi, vertikal dan horizontal. Berusaha membangun kesalehan spiritual dan sosial dalam waktu yang bersamaan.
Ah, akhirnya saya pun merasa enak hati dan diluput kebahagiaan, sebab kepulangan saya dari masjid selepas menunaikan salat Idulfitri kali ini tidak dengan tangan yang kosong. Melainkan menggembol dua besek takiran. Padahal saya tidak menenteng satu pun takiran tatkala berangkat menuju masjid. Ah, tuh kan, lagi-lagi saya dibuat senang dan berenak hati bukan kepalang.
Tertanda pemburu takiran grtisan.
Tulungagung, 13 Mei 2021.
Sungguh anugerah yang tak terperikan, syukur alhamdulilah tadi pagi saya masih diberi kesempatan; kemampuan dan kekuatan untuk menunaikan salat Idulfitri di masjid. Masjid yang letaknya memang tidak jauh dari kosan saya. Lebih tepatnya, kurang lebih sekitar 50 meteran saya harus berjalan kaki untuk menuju ke masjid itu.
Bernamakan at-Taqwa orang-orang menyebutkan masjid itu. Masjid yang memang dalam skala ukuran masih dapat dikategorikan kecil namun keberadaannya sangat dielu-elukan oleh warga setempat. Lantas tidak heran jika di setiap perayaan hari besar Islam masjid selalu padat oleh jamaah yang silih berdesak bahkan tumpah ruah hingga ke pelataran.
Begitupun pada perhelatan salat Idulfitri di pagi hari ini, keadaan padat itu sangat tampak jelas tidak dapat dipungkiri. Hal itu kentara dari digelarnya karpet hijau di pelataran masjid guna mengantisipasi jamaah yang membludak.
Selain ukurannya yang terbilang kecil dan menjadi pusar dalam menimba dahaga spiritualitas setiap warga setempat, sisi lain yang saya suka dari masjid At-Taqwa itu ialah adanya upaya pelestarian tradisi takiran.
Istilah takiran sendiri berakar kata dari takir, yang kemudian ditambahi akhiran -an. Secara esensial, takir merupakan singkatan dari gabungan dua kata; takwa dan zikir. Dua sarana yang dipandang sebagai wadah amal seorang hamba dalam menjalankan amar makruf nahi mungkar dan fastabiqul khairat (Rizki Amalia R., 2020: 6).
Sedangkan secara simbolik, takir diartikan sebagai wadah yang terbuat dari daun pisang yang direkatkan kedua sisinya dengan menggunakan lidi. Selain memiliki konotasi yang mencerminkan kesederhanaan, kreativitas dan pelanggengan tradisi lokal warisan leluhur, pada kenyataannya takir juga memiliki pemaknaan secara filosofis.
Dalam pandangan masyarakat Jawa, takir berasal dari kata "nata" karo "mikir" (menata dan berpikir), yang berarti selaiknya dalam menjalani kehidupan yang berkesinambungan harus senantiasa melangkahkan kaki berdasarkan pertimbangan akal pikiran dan nurani kemanusiaan. Sehingga sikap yang tampak di dalam diri adalah waspada, penuh penghayatan, karsa dan penuh kelapangan atas hasil yang hendak didapatkan, (dikutip dari www.campursari.ngawikab.id).