Sampai di sini saya mulai curiga, jangan-jangan pola pikir yang digunakan dalam merangkai kalimat tulisan ini pun berjenis kelamin laki-laki. Sudut pandang akut sebagai patriarki.
Saya pikir, sejauh apapun menafsirkan diri sebagai simpatisan ataupun partisipan yang pro terhadap feminisme, laki-laki tetap saja tidak pernah mampu total menjadi feminisme sejati.Â
Yang terjadi justru hanya sekadar upaya menerka-nerka, berusaha memahami kecenderungan rasa karena merasa berada di titik yang sama meskipun sesungguhnya sama sekali berbeda. Toh, perempuan dan laki-laki memiliki hati dan isian kepala yang berbeda.
Adapun ketika seorang lelaki memproklamirkan diri sebagai feminisme sejatinya, yang terjadi di sana tidak lain adalah bentuk permisif terhadap kehendaknya untuk setara semata-mata. Mencekal pikiran liar dan menyisihkan sudut pandang tertentu.
Ah, sampai di sini, saya rasa ada benarnya pula bila dikatakan bahwa manusia lebih sibuk mencari-cari ruang khusus untuk melampiaskan kekesalan dan kejenuhan dalam menghadapi hiruk-pikuk realitas kehidupan sosial yang semakin tidak jelas ini dengan ekstase sosok Bu Tejdo.Â
Jika saya meminjam istilahnya Sigmund Freud, mungkin iya, manusia di masa pandemi Covid-19 ini sedang asyik terjangkit katarsis yang kian akut.
Tulungagung, 19 Oktober 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI