Upaya menguliti film Tilik menggunakan pendekatan kebudayaan ghibah (rasan-rasan) lebih memotret bagaimana peran Bu Tedjo yang cenderung ditafsirkan sebagai ikon dari hobi ibu-ibu yang doyan melatah atas ketabuan konstruksi sosial.
Dapat diartikan, ketabuan konstruksi sosial di sini sebagai satu kebudayaan umum yang sengaja dibentuk dan dilanggengkan oleh khalayak ramai dalam ruang lingkup daerah tertentu. Misalnya saja 'status lajang tokoh Dian' yang harus dihakimi oleh kebudayan tentang usia berapa perempuan itu harus menikah.Â
Sementara apabila tidak sesuai dengan keumumannya, seakan-akan setiap orang mempunyai hak istimewa untuk mendikte kesadaran diri dan mengatur pilihan tentang kehidupan pribadi setiap personalitasnya. Ada rasa malu akut yang kian menjadi gundah dan resah manakala orang-orang lebih sering mencibirnya di ruang publik.Â
Hal itu terus-menerus membuncah sampai ke ubun-ubun hingga memaksa dan memerkosa hak prerogatif sang korban untuk tunduk dan sesegera mungkin mengambil keputusan sesuai dengan ketabuan konstruksi sosial.Â
Di satu sisi tampak jelas, rasa malu yang tinggi dan beban sosial lebih kentara mencambuk pihak orangtuanya. Seakan-akan cibiran sosial itu 'firman Tuhan' yang wajib dipaksakan orangtua terhadap anak-anaknya meskipun setelah menikah kelak mereka harus menanggung beban besar atas sebab-akibatnya.Â
Secara tidak sadar ketabuan konstruksi sosial yang bersemayam dalam budaya rasan-rasan itu memiliki kontribusi dan kontrol penuh atas ketidakmapanan dalam berumahtangga sekaligus membludaknya jumlah status janda-duda muda yang masih berkepala dua. Kasus perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak sungkan merebak di mana-mana.
Hal yang demikian mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data tersebut dapat dibuktikan dengan upaya penelusuran di google dengan kata kunci angka perceraian dan KDRT yang terjadi di Indonesia.Â
Badan pusat statistik (BPS) 2019 menyebutkan jumlah angka perceraian di Indonesia dari tahun 2015-2018 terus mengalami peningkatan. 2015 sebanyak 353.843 kasus. 2016; 365.654 kasus. 2017; 374.516 kasus dan tahun 2018 menyentuh angka 408.202 kasus (sumber: databoks.katadata.co.id).
Sementara KDRT yang terjadi di Indonesia juga cukup tinggi. Berdasarkan rekapitulasi Komnas Perempuan, pada 2019 tercatat 5.114 kasus KDRT yang paling tinggi terjadi di ruang privat sang isteri. Sayangnya, rata-rata kasus KDRT lebih banyak memilih keputusan bercerai daripada mengandalkan undang-undang hukum pidana (sumber: voaindonesia.com).
Kalau direnungkan secara mendalam, hukum kausalitas rasan-rasan ini memang memiliki peran yang luar biasa dalam mengkonstruk tatanan kehidupan sosial masyarakat.Â
Sayangnya, budaya ini telanjur bias gander, dilekatkan khusus pada perempuan. Padahal laki-laki juga tidak pernah bisa luput dari urusan gosip. Terlebih-lebih, bagi mereka yang suka nongkrong dan ngopi, pasti selalu saja ada hal yang mengharuskannya berlabuh pada pulau rasan-rasan.