Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Bu Tejo, Tradisi Rasan-rasan, Diskriminatif hingga Citra Anak Zaman

19 Oktober 2020   14:46 Diperbarui: 19 Oktober 2020   15:03 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kurang lebih tiga bulan yang lalu jagat maya dihebohkan dengan boomingnya film pendek berjudul 'Tilik'. Salah satu film karya anak bangsa yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo, Ravacana Film yang bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Film Tilik sendiri sebenarnya telah diproduksi semenjak 2018. Namun entah karena alasan apa, kemudian film itu menjadi trending topik dan bahan pembicaraan yang empuk kalangan netizen di dua tahun berikutnya. 

Upaya menerka-nerka alasan pun kian tumpah ruah ke permukaan. Film Tilik yang nangkring di kanal YouTube Ravacana Films akhirnya menyedot berjuta-juta pasang mata yang tercekik rasa penasaran. Jika diperhatikan, kian hari viewernya terus melesat hingga menyentuh angka 23 juta kali ditonton. (Satuan kalkulasi viewer hari ini).

Belum lagi ditambah dengan jumlah viewer repost film Tilik pada akun YouTube lain yang berusaha memanen hasil keboomingan tersebut. Seperti biasanya, akan selalu ada tangan-tangan jahil yang hendak mencari keuntungan instan di balik hasil kerja keras orang lain. 

Persoalan terkait copyright dan pembajakan liar atas satu karya sudah barang tentu menjadi kebudayaan kurang baik sekaligus tumbuh subur di negeri ini. Satu persoalan runyam yang belum benar-benar teratasi secara tuntas selama ini.

Kita yang tak punya kuasa apa-apa biarlah pura-pura lupa sejenak terkait hak cipta. Toh, di sini kita hanya akan memotret kausalitasnya semata-mata.

Keboomingan film Tilik tersebut merebak luas pada intensitas postingan di berbagai kanal media sosial lain. Mulai dari Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, laman blog hingga menjadi topik hangat di beberapa koran elektronik. 

Meskipun demikian, intensitas postingan terkait film Tilik di berbagai kanal itu telah mengalami reduksi dengan variasi bebas yang dapat dikategorikan. 

Misalnya saja unggahan di Facebook, Twitter, WhatsApp dan Instagram lebih cenderung mengandalkan babakan percakapan tertentu dan qoute-qoute tokoh utama dalam film Tilik, Bu Tedjo. Sehingga yang muncul adalah wujud kalimat dan potongan adegan singkat. 

Sementara yang tertengger di halaman blog dan koran elektronik lebih memainkan peran penting pada deskripsi rangkaian kalimat percakapan dalam adegan. Pada tingkatan tertentu, bahkan opini-opini dan sudut pandang dalam upaya menguliti sekaligus mencari makna film Tilik lebih terasa berpusat di blog. 

Dari sekian banyak sudut pandang yang sempat mewarnai kontestasi wacana reeksitensi film Tilik tersebut ialah menggunakan pendekatan budaya ghibah (red; rasan-rasan dalam istilah Jawa). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun