Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meraba Sepenggal Cerita di Hari Rabu

13 Agustus 2020   08:21 Diperbarui: 13 Agustus 2020   08:17 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Agenda saya hari ini lumayan merayap. Mulai dari berangkat kerja pukul delapan, mampir ke toko kain Bintang Mas sampai dengan rapat perdana pengurus Sahabat Pena Kita (SPK) Tulungagung.

Seperti biasanya, setiap pagi saya akan memacu si kuda besi matic dengan kecepatan enam puluh. Dengan kecepatan itu saya mampu melewati jarak tempuh sekitar 4 km dalam kurun waktu 20 menit. Termasuk di dalamnya, terhitung lima kali berhenti di lampu merah.

Loh kok banyak banget? lampu merah mana saja si itu? Oke, kita sebutkan satu persatu. Pertama, lampu merah perempatan Tirto. Kedua, lampu merah Bis Guling. Ketiga,  lampu merah perempatan Jepun. Keempat, lampu merah perempatan Tamanan. Sedangkan yang terakhir ialah lampu merah perempatan Gleduk.

Oh... iya, kebetulan hampir mau dua mingguan ini di perempatan lampu merah Tamanan ada pembatas pengalihan jalur menuju daerah Trenggalek-Ponorogo. Selain di sana, pembatas pengalihan jalur juga ditemukan di perempatan lampu merah Gleduk.

Pemasangan pembatas pengalihan jalur itu diterapkan tidak lain karena memang ada perbaikan jembatan penghubung antara wilayah kali Ngrowo bagian Barat dan Timur. Sebagai dampak nyatanya, telah beberapa hari terakhir ini jembatan-jembatan penghubung alternatif dipenuhi antrean motor.

Kebetulan di daerah Pinka terdapat dua jembatan alternatif yang ada di sisi Selatan dan Utara. Jembatan yang letaknya di sisi Selatan memiliki lebar kurang dari satu meter, sehingga untuk melintasi jembatan itu  diberlakukan satu arus secara bergantian.

Sementara untuk melintasi jembatan yang ada di sisi Utara dibutuhkan keberanian dan ketenangan. Bagaimanapun jembatan yang terbuat dari baja yang digantung disempurnakan dengan lebar kurang-lebih satu meter itu lebih sering memberi sensasi yang menegangkan. 

Bagaimana tidak coba? Tatkala beberapa pengendara motor melintasinya kadangkala jembatan itu bergoyang-goyang dan itu lumayan membuat bulu roma berdiri.

Meski demikian, dalam pandangan saya, penggunaan kedua jembatan alternatif itu dapat dimaksimalkan dengan baik, terlebih lagi, ada beberapa suka relawan yang berusaha mengatur lalulintas.

Ya, pemandangan itulah yang dalam kurun waktu seminggu ini saya nikmati. Selebihnya, seperti biasanya. Hampir di setiap sudut taman dan track jogging di sepanjang pinggir kali Ngrowo itu dipenuhi keromantisan orang-orang yang berpasangan.

Setelah menunaikan salat Dzuhur di mesjid Al-Azhar, saya langsung memutuskan untuk menuju toko Bintang Mas. Salah satu toko distributor berbagai kain aksesoris. Mulai dari karpet, kain flannel, kain satin, kain boneka dan lain sebagainya. Kebetulan, kali ini saya bertugas membeli kain boneka yang berwarna merah hati (red; merah maroon).

Oh... Iya,  selain menulis, salah satu aktivitas lain yang saya geluti akhir-akhir ini ialah menjadi penjahit. Biasanya saya membuat srempang jikalau ada orderan. Padahal, sebelumnya saya tidak pernah menekuni dunia jahit-menjahit, namun entah Ilham dari mana saya jadi bisa menjahit.

Rasa-rasanya dulu itu pernah juga mengikuti pengolahan hasil pertanian di Balai Pelatihan Kerja, bukan menjahit. Tapi entahlah. Memang akhir-akhir ini saya lebih suka mengupgrade kemampuan diri dengan hal-hal yang baru. Ya... Seperti menjahit itu salah satunya.

Tak lama kemudian, kain yang saya pesan telah saya temukan. Saya pun langsung menghampiri seorang karyawan toko dan menandaskan ingin membeli kain tersebut sepanjang setengah meter dengan panjang 1 meter.

Beberapa saat kemudian, barang yang dicari itu telah berhasil saya masuk ke dalam tas. Spontanitas, motor pun saya tunggangi dan penjaga parkir telah siaga melepas kepergian saya.

Si kuda besi matic itu kini menjadi andalan saya untuk menuju warkop Om Dedy. Tempat di mana saya dan kawan-kawan akan menghelat rapat perdana terkait ke arah mana pengelolaan SPK Tulungagung.

Arah-arah yang dishare di grup cukup jelas dan mudah diterka. Sebab, bagaimanapun rute itu pernah saya ketahui sebelumnya. Namun memang saya belum sama sekali menginjakkan kaki ke sana. "Oke, berarti ini pertama kali ke sana. Jangan sampai tersesat!", Gerutu dalam angan.

Kurang lebih 15 menit kemudian, akhirnya saya sampai di warkop Om Dedy dan di sana ternyata telah ada Prof. Na'im, yang sedang asyik memintal bincang dengan Mrs. Zahra. Namun, saya tak tahu-menahu tentang persoalan apa yang sebenarnya menghanyutkan kesadaran beliau berdua.

Sontak saya pun jadi malu, efek molor saat kuliah dulu nyatanya masih kebawa-bawa sampai hari ini, mendarah daging telah lama. Padahal biasanya, dulu tatkala kuliah, kalau datangnya telat, dan kebetulan dosennya killer, mesti tidak diizinkan masuk.

Untungnya, kedatangan saya ke warkop Om Dedy bukan kebutuhan menggugurkan kewajiban kuliah, melainkan ngaji filsafat kehidupan yang isinya fokus pada cerita tentang Nabi-nabi.

Oke, kini di tempat itu sudah ada tiga orang peserta rapat yang kumpul. Saya, Mrs. Zahra dan Prof. Na'im. Sementara mas Dedy selaku suami Mrs. Zahra duduk berjejer berada tepat di samping istrinya.

Perlahan-lahan, kami mulai sibuk mengisi kekosongan waktu menunggu kedatangan teman-teman pengurus yang lain dengan menumpahkan cerita pengalaman hidup yang sesekali diselingi dengan menengok notifikasi di smartphone masing-masing.

Terutama, harus saya akui, bahwa pada sesi ini Prof. Na'im lebih banyak menguasai jalan percakapan. Tentu semangat beliau dalam bercerita dilatarbelakangi oleh segudang pengalaman hidup yang luar biasa dan menginspirasi. Ma'af-ma'af saja, urusan umur di sini juga sangat mempengaruhi. Sesuatu hal yang tak dapat disembunyikan dan ditutupi.

Setelah beberapa saat kemudian, akhirnya mbak Anis Zuma datang didampingi oleh sang adik, Choirudin. Setahu saya, mereka berdua sama-sama jebolan Bidikmisi IAIN Tulungagung, dan memiliki prestasi yang luar biasa dalam hal akademik di kampus. Karena itulah mereka dapat beasiswa. Eh, ma'af keceplosan.

Kini, teman ngobrol pun bertambah dua orang. Namun, di tengah-tengah keasyikan berbagi cerita pengalaman itu muncullah mas Fami Muhammad. Salah seorang senior tatkala di pondok Panggung dan di kampus. Hampir-hampir kedatangan mas Fami memecah kegelisahan kami yang telah beberapa saat menunggu. Setidaknya ini semacam aufklarung yang menjanjikan, agenda rapat akan segara dimulai.

Ah, namun sayang seribu sayang, dua orang pengurus tidak dapat hadir di agenda rapat perdana ini. Kabarnya Ning Jazil sedang berhalang untuk hadir dan mas Thoriq sedang diliput rasa kebahagiaan sejati menyambut kedatangan sang buah hati.

Baiklah, akhirnya kami pun memutuskan untuk memulai rapat meskipun tanpa personil yang lengkap.

Akhir kata, untuk Ning Jazil, saya do'akan semoga waktunya di lapangkan. Sementara untuk om Thoriq, semoga buah hatinya sehat selalu dan dijadikan anak yang soleh/sholehah, berbakti kepada orangtuanya, agama, nusa dan bangsa. Pesan saya, didiklah ia untuk menjadi seorang penulis.

Tulungagung, 13 Agustus 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun