Mohon tunggu...
Dja Doel
Dja Doel Mohon Tunggu... -

...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penyakit Itu Ternyata Menular: Dari Sampah ke ...

7 Juni 2012   00:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:19 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari yang lalu saya sedang berjalan melewati sebuah jembatan, tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti dan si anak yang dibonceng turun lalu membuang kantong kresek hitam ke sungai. Secara spontan saya lalu nyeletuk: "Lho kok dibuang ke sungai". Serempak si anak dan bapaknya menoleh ke saya dan memandang dengan pandangan marah yang membuat saya berdiri diam tertegun. Mereka lalu pergi begitu saja tanpa rasa bersalah sama sekali, rupanya si bapak sedang mengantar anaknya ke sekolah karena si anak memakai seragam SD.

Sambil terus berjalan berbagai macam perasaan dan pikiran berkecamuk di diri saya. Sesudah agak reda, pikiran saya akhirnya terfokus ke dua hal:


  1. Si bapak mengajari anaknya berbuat salah. Di sekolah si anak diajari perilaku baik seperti: "Jangan buang sampah sembarangan", "Kebersihan adalah sebagian dari iman", "Bersih itu sehat", tetapi semua itu menjadi sia-sia karena di luar sekolah, orang tua mengajari sebaliknya.
  2. Si bapak mengajari si anak menjadi orang bebal. Si anak pasti mengalami kebingungan antara ajaran di sekolah dan kenyataan di luar sekolah. Ini akan menimbulkan suatu dilema sikap hidup bahwa ajaran kebaikan tidaklah harus dilaksanakan. Bahwa aturan dan peraturan boleh dilanggar. Sikap bebal ini akan membuat orang meskipun tahu bahwa sesuatu itu buruk, dia tetap melakukannya. Dan meskipun sesuatu itu baik, dia tetap tidak mau melakukannya karena tidak adanya kesadaran.


Akibat kejadian ini saya mulai teringat lagi kejadian-kejadian serupa sebelumnya. Dimana saya pernah menegur seorang ibu berseragam dinas karena membuang botol minuman ke semak-semak padahal tak jauh dari dia ada tempat sampah, dan dia hanya melihat saja ke saya dengan pandangan kosong. Juga dimana saya sering melihat orang membuang sampah dari mobil mewah ke jalan raya. Lapangan yang berubah menjadi tempat sampah sehabis dipakai acara. Bahkan mahasiswa yang calon penerus bangsa inipun banyak yang menyisakan sampah, setiap kali habis mengadakan acara. Dan akhirnya ke diri saya sendiri yang terkadang juga suka membuang sampah sembarangan.

Saya perokok, biarpun bukan perokok berat. Puntung rokok selalu saya buang ke tempat sampah. Tetapi terkadang kalau tempat sampah tidak ada, sedangkan di depan mata tampak banyak puntung rokok berserakan, akhinya tergoda juga untuk ikut membuang ke sana. Pembenarannya: tambah satu puntung lagi kan tidak berpengaruh banyak. Bahkan seringkali jika merokok beramai-ramai, saya sering ditegur teman: "Untuk apa cari tempat sampah, buang aja di situ, nanti kan ada yang nyapu". Kesimpulan saya: Lingkungan yang bebal akan membuat orang ikutan bebal. Bebal ternyata menular.

Nah, jika bebal menular, maka saya curiga bahwa menularnya bukan hanya dari orang ke orang, atau dari lingkungan ke orang, tetapi juga dari satu sikap hidup ke sikap hidup lainnya. Bebal menular ke segala arah, horisontal maupun vertikal. Mula-mula biasa membuang sampah sembarangan, berkembang biasa melanggar aturan lalu lintas, dan terus berkembang sesuai kebutuhan dengan pembenarannya masing-masing. Koruptor kelas kakap kemungkinan besar dulunyapun juga orang baik-baik yang akhirnya tertular penyakit bebal, dan sekarang dialah yang sibuk menularkan penyakit tersebut.

Kata bebal mengingatkan saya kepada keledai. Katanya, keledai punya sifat bebal, jika didorong maju dia malah ingin mundur dan sebaliknya. Agar dia mau maju maka harus dipaksa, atau dimanipulasi yaitu pura-pura didorong ke belakang agar mau maju. Masalahnya, manusia bukanlah keledai, sekali dua kali mungkin masih bisa dimanipulasi, tetapi lama kelamaan pasti akan tahu dan tidak bisa dimanipulasi lagi. Jadi menurut hemat saya, maaf jika salah, untuk melawan sifat bebal manusia satu-satunya jalan adalah dengan cara dipaksa. Himbauan akan percuma saja, mereka tidak akan peduli. Ini berarti bahwa setiap peraturan harus ditegakkan secara tegas tanpa kompromi, karena kompromi justru akan menghambat pencapaian output yang diinginkan.

Kembali ke kebiasaan buang sampah sembarangan, jika perkara yang mendasar ini saja pemerintah tidak bisa mengendalikan, bagaimana mungkin bisa menyelesaikan masalah yang lebih pelik, seperti korupsi itu misalnya. Sistem pembuangan sampah seharusnya dibuat se-efektif dan efisien mungkin, sehingga tidak ada alasan susah buang sampah lagi. Peraturan dan hukuman buang sampah sembarangan dipertegas, termasuk sosialisasinya dipergencar, sehingga tidak ada alasan tidak tahu lagi. Polisi, sekuriti, dan para atasan diberi tugas tambahan untuk mengawasi sampah di lingkungannya masimg-masing. Dan ada baiknya mencontoh kota Surabaya yang bisa membersihkan sempadan sungai dari segala macam bangunan, agar sungainya menjadi bersih indah lagi. Tidak kalah dengan indahnya sungai-sungai di luar negeri yang sering kita lihat dari TV.

Marilah kita perangi bersama penyakit bebal ini. Dimulai dari saling mengingatkan untuk tidak membuang sampah sembarangan. Mari kita budayakan lagi pola hidup sehat bersih tanpa sampah. Karena mungkin dengan membereskan perkara kebebalan di kebiasaan buang sampah, maka perlahan-lahan kebebalan di sektor lain-lainnyapun bisa dibereskan, termasuk korupsi itu tadi.

Mohon maaf jika ada salah kata

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun