Sebuah Jumat yang Menggetarkan
Jumat itu, selepas khutbah, jamaah Masjid Darut Taubah berkumpul di ruang kantor masjid. Nasi kotak dibagikan. Sederhana, tanpa sendok dan piring, semua menyantap dengan tangan. Namun, suasana hangat kebersamaan terasa menguatkan hati.
Khatib tadi membahas hadis Rasulullah ﷺ: “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Jika ia mendapat nikmat, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ditimpa musibah, ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim)
Beliau menambahkan, kesulitan sekecil apa pun—bahkan duri yang menusuk kaki—dapat menggugurkan dosa seorang muslim. Pesan ini begitu menenangkan, seakan menjadi penghibur di tengah hidup yang makin berat.
Namun, setelah doa usai, obrolan di meja nasi kotak membawa kami pada kisah getir: seorang ibu yang nekat mengakhiri hidupnya bersama anak-anaknya.
Luka di Balik Tragedi
“Seandainya beliau lebih kuat iman, mungkin musibah itu bisa dihindari,” ujar Ketua DKM lirih.
Saya menarik napas dalam-dalam. “Betul, Pak Haji. Itu benar untuk sisi pribadi. Tapi kita tidak bisa berhenti di sana. Dari sisi sistem, tragedi ini adalah bukti gagalnya pemimpin menjaga rakyatnya.”
Kabar beredar, suami korban terjerat judol (judi online) dan pinjol (pinjaman online). Dua racun sosial itu kini merajalela, menghancurkan keluarga, menguras harta rakyat kecil, dan ironisnya, seakan dibiarkan leluasa.
Bayangkan, rakyat bawah yang sudah susah mencari nafkah, dipaksa bergulat dengan pinjol berbunga mencekik dan judi online yang merampas sisa rezeki mereka. Di titik itu, kesabaran pribadi yang diajarkan khatib memang jadi benteng. Tetapi bagaimana mungkin rakyat terus diminta sabar, sementara pintu-pintu kesengsaraan tidak ditutup oleh negara?
Saat Pemimpin Abai
Islam menempatkan pemimpin sebagai ra‘in—seorang penggembala yang wajib melindungi gembalaannya. Rasulullah ﷺ bersabda: