Yang paling tragis, rakyat Timur Tengah sering menjadi korban. Konflik berkepanjangan, perang yang tak berujung, dan instabilitas politik hanyalah akibat dari perebutan pengaruh itu. Sementara minyak terus mengalir ke Barat, darah dan air mata tetap mengalir di tanah Arab.
Allah sudah memperingatkan:
 "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia..."
(QS. Al-Mumtahanah: 1)
Ayat ini mengingatkan agar umat Islam tidak tertipu oleh wajah manis kekuatan asing. Mereka mungkin tersenyum, menyebut diri sahabat, namun sejatinya sedang berebut menguasai kita.
Penutup
Pertarungan antara Amerika dan Inggris di Timur Tengah ibarat permainan catur panjang. Di depan publik keduanya tampak sebagai sekutu, namun sesungguhnya saling berebut kendali. Dunia internasional pun menyadarinya, hanya saja banyak rakyat awam masih melihat permukaan, seolah tak ada konflik kepentingan di balik kerjasama itu.
Pertanyaannya: sampai kapan umat Islam rela menjadi bidak dalam permainan ini? Selama kita pasif dan hanya menjadi penonton, pertarungan "kawan tapi lawan" itu akan terus berlangsung. Dampaknya jelas, negeri-negeri Muslim terus menjadi ajang konflik, sumber daya dirampas, dan generasi tercerabut dari jati dirinya.
Umat Islam sejatinya bukan bidak yang bisa digeser sesuka hati, melainkan pemain utama di panggung sejarah. Kesadaran ini menuntut keberanian untuk melepaskan diri dari logika penjajahan modern dan kembali pada visi besar yang mempersatukan. Pilihannya kini jelas: tetap dimanfaatkan dalam permainan orang lain, atau bangkit mengambil kendali untuk menentukan arah sendiri dengan bermartabat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI