Infrastruktur Megah, Mentalitas Rapuh
Indonesia baru saja melangkah ke era baru transportasi modern dengan hadirnya Kereta Cepat Jakarta--Bandung (Whoosh). Proyek bernilai triliunan rupiah ini dibanggakan sebagai simbol kemajuan bangsa. Namun, di balik kemegahan itu, muncul berita yang memilukan: kabel grounding kereta cepat dicuri oleh oknum warga.
Pencurian ini memang segera terdeteksi dan pelaku berhasil ditangkap. Barang bukti yang ditemukan berupa puluhan potong kabel grounding serta alat-alat sederhana seperti kunci pas dan cutter. Nilai jual kabel di pasar loak jelas tidak seberapa. Tetapi nilai vitalnya sangat besar: kabel grounding adalah pelindung instalasi listrik, penyalur arus petir, dan penjamin keselamatan operasional.
Tragisnya, pencurian fasilitas publik bukan hal baru. Baut-baut Jembatan Suramadu pernah raib. Tiang listrik sutet di beberapa daerah juga kerap jadi sasaran. Bahkan rel kereta api di Jawa dan Sumatera pernah dicuri untuk dijual kiloan. Semua ini mengindikasikan masalah yang jauh lebih mendasar daripada sekadar kerugian material.
Kemiskinan Material: Hidup yang Menekan
Jika ditanya alasan, pencuri biasanya menjawab: "butuh uang." Inilah wajah kemiskinan material. Hidup yang serba sulit membuat sebagian orang berani mengambil risiko besar demi keuntungan kecil.
Kabel grounding Whoosh dijual hanya ratusan ribu rupiah, padahal nilainya bagi keselamatan bisa miliaran.
-
Kasus pencurian baut Jembatan Suramadu pada 2010 menyebabkan kekhawatiran akan keselamatan pengguna. Padahal harga jual baut itu di pasar besi tua tidak lebih dari Rp50 ribu per buah.
-
Di Lampung dan Sumatera Selatan, PLN mencatat puluhan kasus pencurian kabel dan tiang sutet setiap tahun, yang menyebabkan pemadaman listrik massal.
Kemiskinan material membuat fasilitas publik dipandang bukan sebagai aset bersama, melainkan sebagai "barang dagangan" yang bisa ditukar dengan uang cepat.
Kemiskinan Spiritual: Hati yang Kosong
Namun, alasan ekonomi saja tidak cukup menjelaskan fenomena ini. Pencurian kabel Whoosh juga cermin kemiskinan spiritual.
Hilangnya rasa takut kepada Allah,
Hilangnya kesadaran bahwa harta umum adalah amanah,
Hilangnya empati bahwa satu kabel yang dicuri bisa membahayakan ribuan penumpang kereta.
Inilah kemiskinan spiritual: ketika iman dan moral tidak lagi menjadi rem. Pencuri mungkin tidak sadar bahwa tindakannya bisa memicu kecelakaan besar, merugikan negara, bahkan membahayakan nyawanya sendiri.
Gejala Krisis Sosial
Fenomena pencurian fasilitas publik adalah gejala krisis sosial yang lebih luas. Ia lahir dari:
Distribusi ekonomi yang timpang. Sementara segelintir orang hidup dalam kemewahan, sebagian rakyat kecil harus berjibaku untuk sekadar bertahan hidup.
Rapuhnya pendidikan moral. Banyak orang lebih menghargai keuntungan instan ketimbang menjaga amanah.
Lemahnya kontrol sosial. Di kampung-kampung dulu, mencuri fasilitas umum adalah aib besar. Kini, rasa malu itu perlahan hilang.
Kurangnya kepedulian perusahaan terhadap masyarakat sekitar proyek. Banyak proyek raksasa hadir di tengah kampung miskin. Tanpa program kepedulian sosial (CSR), masyarakat bisa merasa hanya menjadi penonton yang tak mendapat manfaat. Biasanya perusahaan membangun hubungan lewat santunan langsung, beasiswa, atau program pemberdayaan. Ketika CSR berjalan baik, masyarakat merasa dihargai dan diayomi. Hal ini bukan saja mengurangi kecemburuan sosial, tetapi juga menumbuhkan rasa ikut memiliki dan menjaga aset bersama.
Data kepolisian menunjukkan bahwa kasus pencurian kabel dan besi milik negara terjadi ratusan kali setiap tahun, dengan kerugian miliaran rupiah. Pencurian tidak hanya merugikan negara, tetapi juga mengancam nyawa masyarakat luas.
Penutup: Pembangunan Butuh Jiwa
Kasus kabel Whoosh seharusnya jadi alarm keras. Pembangunan fisik tanpa pembangunan jiwa hanyalah ilusi. Negara butuh bukan hanya jalan tol, kereta cepat, atau gedung pencakar langit, tetapi juga manusia yang jujur, amanah, dan berakhlak.
Kemiskinan material harus diatasi dengan kebijakan yang adil: pemerataan lapangan kerja, jaminan sosial, dan pengurangan kesenjangan. Tetapi kemiskinan spiritual hanya bisa diatasi dengan pendidikan iman dan moral yang kuat, baik di keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Jika dua hal ini tidak berjalan seimbang, maka infrastruktur secanggih apa pun akan terus menjadi sasaran tangan-tangan jahil. Sejarah membuktikan: bangsa yang hancur bukan karena kurang jalan tol atau kereta cepat, melainkan karena rapuhnya moral warganya.
Gotong royong, rasa amanah, dan kesadaran bahwa harta publik adalah milik bersama harus kembali ditanamkan. Sebab kemajuan sejati bukan sekadar soal kecepatan kereta, melainkan kedalaman mentalitas bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI