Setiap kali terjadi konflik internasional, media selalu menulis “PBB mengutuk”, “PBB menyerukan perdamaian”, atau “PBB akan mengirim misi kemanusiaan”. Banyak orang awam beranggapan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah lembaga netral yang berdiri di atas semua negara.
Namun, jika kita telusuri sejarah lahirnya, PBB tidak pernah benar-benar netral. Ia merupakan kelanjutan dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang gagal mencegah Perang Dunia II. Bedanya, PBB dirancang lebih kuat untuk memastikan negara besar punya kendali atas dunia. Kini, peran itu pun makin meredup, karena dunia mulai sadar bahwa PBB hanyalah panggung politik negara besar.
Warisan dari Liga Bangsa-Bangsa
Setelah Perang Dunia I, LBB dibentuk dengan slogan menjaga perdamaian. Namun realitanya, LBB justru menjadi instrumen kolonial. Melalui sistem mandat, negeri-negeri Muslim seperti Palestina, Suriah, dan Lebanon diserahkan ke Inggris atau Prancis dengan label “perwalian internasional”. Padahal hakikatnya tetap saja penjajahan.
Ketika Perang Dunia II meledak, LBB bubar dengan sendirinya. Negara besar menyadari perlu wadah baru yang lebih efektif. Maka pada tahun 1945 lahirlah PBB dengan tujuan menjaga perdamaian, tapi tetap dalam genggaman negara besar.
Struktur yang Tidak Netral
Salah satu bukti PBB bukan lembaga netral adalah Dewan Keamanan. Lima negara pemilik hak veto (AS, Rusia, Cina, Inggris, Prancis) bisa membatalkan resolusi hanya dengan satu kata: veto.
Sejarah mencatat, Amerika berkali-kali menggunakan veto untuk melindungi Israel. Rusia juga menggunakan veto untuk melindungi sekutunya. Akibatnya, konflik besar tidak pernah benar-benar selesai. PBB hanya menjadi panggung legalitas, bukan penyelesai masalah.
PBB dan Dunia Islam
Bagi dunia Islam, kehadiran PBB sering kali lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Sejak tahun 1947, lembaga ini mengesahkan pembagian wilayah Palestina yang memberi jalan lahirnya negara Israel. Puluhan resolusi berikutnya yang membela hak rakyat Palestina nyaris tidak pernah berjalan karena selalu terhalang veto negara besar.
Kasus serupa terjadi di Irak dan Libya. Resolusi PBB justru menjadi pintu masuk intervensi militer, yang akhirnya menghancurkan negeri-negeri Muslim tersebut. Di Suriah, PBB pun berulang kali lumpuh karena setiap resolusi yang diajukan selalu diblokir oleh negara besar sesuai kepentingannya.