Pernahkah Anda berjalan di sebuah kota besar, melihat gedung pencakar langit yang megah berdiri di samping deretan rumah kumuh? Kontras itu seringkali menggores batin. Di satu sisi ada segelintir orang yang hidup berkelimpahan, di sisi lain ada banyak orang yang berjuang sekadar untuk bertahan hidup.
Fakta ini bukan hal baru. Namun, setiap kali kita menatapnya dengan jujur, rasa miris tetap menyeruak. Ketimpangan sosial di Indonesia seperti luka lama yang terus terbuka, diwariskan dari generasi ke generasi tanpa ada penyembuhan yang tuntas.
Ketimpangan yang Nyata di Sekitar Kita
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data Gini Ratio Indonesia pada Maret 2024 berada di angka 0,388. Angka ini memang turun tipis dibanding periode sebelumnya, tetapi tetap menunjukkan kesenjangan pendapatan yang nyata. Artinya, distribusi kekayaan belum merata: segelintir orang menguasai sebagian besar sumber daya, sementara mayoritas masih berebut remah.
Contoh paling gamblang bisa dilihat di sektor pendidikan dan kesehatan. Anak dari keluarga kaya dengan mudah mengakses sekolah terbaik dan layanan medis modern. Sebaliknya, banyak anak dari keluarga miskin yang harus putus sekolah atau antre panjang di puskesmas dengan fasilitas terbatas.
Kapitalisme: Harga sebagai Penentu
Mengapa ketimpangan ini terus bertahan? Salah satu jawabannya terletak pada logika kapitalisme. Dalam sistem ini, distribusi kekayaan ditentukan oleh harga. Artinya, siapa yang mampu membayar lebih mahal akan memperoleh akses lebih baik terhadap barang maupun jasa.
Konsekuensinya jelas: layanan publik ikut terseret menjadi komoditas. Pendidikan bermutu hanya tersedia bagi mereka yang punya uang. Rumah sakit dengan fasilitas lengkap hanya ramah bagi kantong tebal. Sementara rakyat kecil, yang pendapatannya tak seberapa, harus berjuang dengan pilihan yang terbatas.
Harga juga membuat kekayaan terkonsentrasi pada lingkaran elit. Saat harga kebutuhan pokok naik, rakyat miskin langsung tercekik, sedangkan pemilik modal tetap bisa menangguk untung. Inilah akar dari pepatah pahit: yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Dampak Sosial yang Menggerogoti
Ketimpangan sosial bukan sekadar perbedaan gaya hidup. Ia memunculkan dampak serius bagi kehidupan bangsa. Jurang kaya–miskin yang melebar kerap menjadi pemicu kecemburuan sosial, konflik horizontal, hingga kriminalitas.
Secara psikologis, ketidakadilan ini menumbuhkan rasa putus asa. Banyak orang bekerja keras namun tetap miskin karena sistem tidak berpihak. Dalam jangka panjang, kondisi ini menggerogoti rasa persatuan. Bangsa yang seharusnya berdiri di atas keadilan justru rapuh karena sebagian besar warganya merasa ditinggalkan.
Jalan Keluar dengan Islam Kaffah
Al-Qur’an sudah mengingatkan dengan tegas:
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Ayat ini menegaskan bahaya besar jika kekayaan hanya berputar di lingkaran elit. Konsentrasi harta pada segelintir orang akan melahirkan kesenjangan, kecemburuan sosial, hingga kerusakan tatanan masyarakat. Karena itu, Islam hadir membawa solusi yang menyentuh akar persoalan.
Pertama, Islam menata sistem kepemilikan dengan jelas. Ada kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Sumber daya vital seperti energi, air, dan tambang besar tidak boleh jatuh ke tangan swasta atau segelintir elit. Ia harus dikelola oleh negara agar manfaatnya dirasakan seluruh rakyat.
Kedua, Islam mewajibkan zakat, infak, sedekah, dan wakaf sebagai mekanisme distribusi kekayaan. Instrumen ini bukan sekadar amal sukarela, melainkan kewajiban yang memastikan harta tidak menumpuk hanya pada sebagian orang. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas orang-orang kaya dari harta mereka sesuai kebutuhan orang miskin.” (HR. Thabrani)
Ketiga, Islam menempatkan negara bukan sekadar sebagai wasit, tetapi sebagai penanggung jawab kesejahteraan rakyat. Pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah hak dasar setiap warga negara. Ia tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas yang hanya bisa dinikmati mereka yang mampu membayar mahal.
Dengan prinsip-prinsip ini, Islam memastikan keadilan sosial bukan sekadar slogan, tetapi nyata hadir dalam kehidupan masyarakat.
Penutup: Harapan Akan Keadilan
Ketimpangan sosial adalah luka yang terus menganga. Kita melihatnya setiap hari—di jalan, di layar televisi, bahkan di sekitar rumah kita sendiri. Namun luka itu tidak akan sembuh hanya dengan rasa iba atau sekadar kritik. Ia butuh keberanian untuk kembali pada aturan Allah yang menjamin keadilan bagi semua.
Islam kaffah memberi jalan yang jelas. Jika kita berani menempuhnya, insya Allah jurang kaya–miskin bisa dijembatani, dan setiap anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk hidup layak.
Mari kita hentikan kebiasaan pasrah dan menunggu. Saatnya bergerak bersama, menuntut keadilan yang hakiki, agar anak cucu kita tidak lagi mewarisi luka yang sama. Karena bangsa yang adil bukan hanya lebih kuat, tetapi juga lebih diridai oleh Allah swt.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI