Malam kemarin saya mendapat giliran mengisi pengajian rutin setiap malam Senin. Jadwal saya datang sekitar tujuh minggu sekali, sehingga setiap kali berdiri di hadapan jamaah, saya selalu merasa ada beban sekaligus amanah. Malam itu, suasana lebih hidup karena saya sengaja mengangkat tema yang sedang hangat: aksi massa di jalanan, wajah hedonis sebagian elit, dan bagaimana Al-Qur’an menyinggungnya dalam ayat yang tajam.
Saya bacakan firman Allah:
“Dan apabila Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”
(QS. Al-Isrā’ [17]:16)
Ayat ini saya jadikan pintu masuk untuk menggugah jamaah: bahwa kehancuran sering bermula dari ulah mereka yang hidup mewah, berkuasa, dan abai terhadap kebenaran.
Aksi Massa dan Wajah Kontras Negeri
Fenomena aksi massa beberapa waktu terakhir tidak muncul begitu saja. Ia dipicu oleh perilaku elit politik yang kian hedonis, arogan, bahkan songong di hadapan rakyat. Bagai daun kering tersentuh api, kemarahan publik pun mudah menyala.
Di satu sisi, rakyat turun ke jalan dengan suara serak, menuntut hak dan keadilan. Namun di sisi lain, layar kaca dan media sosial justru menampilkan pesta pora selebritis politik, pejabat bergelimang harta, dan gaya hidup mewah yang dipamerkan tanpa rasa malu.
Bukankah inilah wajah negeri yang sedang ditegur oleh Al-Qur’an? Dua dunia berjalan sejajar: satu dunia penuh keluh kesah, sementara dunia lain dipenuhi pesta dan kemewahan.
Azab dari Kisah Para Nabi
Saya sampaikan kepada jamaah bahwa Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci untuk dibaca, tapi cermin peringatan sejarah. Kita mengenal kaum Nabi Luth yang dihancurkan karena menyimpang dari fitrah. Kita tahu kisah kaum ‘Ād dan Tsamūd yang diberi kemakmuran namun kufur nikmat. Kita membaca Fir’aun yang sombong, menindas rakyat, hingga Allah menenggelamkannya. Dan kita tahu Namrud yang congkak di hadapan Nabi Ibrahim, hingga hilang ditelan sejarah. Semua kisah itu nyata, dan pola keangkuhan itu masih berulang dalam wajah elit masa kini.
Legetang: Azab Lokal yang Membekas