Tanggal 25 Agustus kemarin, ribuan orang turun ke jalan. Mereka marah, bukan tanpa alasan. Lembaga yang seharusnya mewakili suara rakyat justru makin sering bikin rakyat geleng-geleng kepala. Mulai dari tambahan tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, komentar anggota DPR yang menyebut tuntutan bubarkan DPR sebagai “tolol sedunia”, sampai aksi joget-joget di ruang sidang yang viral.
Saya, seperti banyak warga lain, ikut menyimak berita-berita itu dengan rasa campur aduk. Antara heran, geram, sekaligus getir. Bagaimana mungkin, ketika rakyat masih pontang-panting menghadapi harga kebutuhan pokok yang naik, di Senayan justru heboh dengan tunjangan miliaran dan hiburan dalam sidang?Tantiem, Tunjangan, dan Rasa Tidak Adil
Isu tambahan tunjangan rumah Rp50 juta per anggota DPR jelas bikin telinga panas. Jumlah itu setara lebih dari sepuluh kali lipat UMK Jakarta. Belum lagi gaji pokok, tunjangan perjalanan, tunjangan komunikasi, dan berbagai fasilitas lain.
Wajar bila rakyat akhirnya merasa: untuk apa kita punya wakil kalau ujung-ujungnya lebih sibuk memperjuangkan kenyamanan mereka sendiri ketimbang jeritan rakyat di bawah? Maka, ketika massa aksi menyerukan pembubaran DPR, saya kira itu bukan sekadar emosi. Itu puncak kekecewaan yang menumpuk bertahun-tahun.
Dari Joget sampai Ucapan “Tolol”
Kemarahan rakyat juga dipicu oleh sikap anggota dewan yang sulit dipahami logika sehat. Belum lama ini publik dihebohkan oleh aksi joget berjamaah di ruang sidang. Alasannya mungkin untuk cairkan suasana, tapi timing-nya fatal. Saat rakyat menjerit soal ekonomi, di Senayan malah joget.
Lalu, ketika muncul teriakan “bubarkan DPR” dalam demo 25 Agustus, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni merespons dengan menyebut tuntutan itu sebagai “tolol sedunia”. Ucapan itu sontak makin menyulut kemarahan. Sebab rakyat merasa diremehkan, bukan didengar.
Kalau kritik langsung dicap “tolol”, bagaimana bisa lembaga ini menjalankan fungsi representasi rakyat dengan sehat?
Unfaedah dan Jauh dari Aspirasi
Rakyat tidak butuh lembaga perwakilan yang sibuk bersolek dengan fasilitas mewah. Mereka butuh wakil yang berani memperjuangkan harga kebutuhan pokok tetap stabil, akses pendidikan dan kesehatan terjangkau, serta infrastruktur dasar berjalan.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya: DPR lebih sering jadi headline karena kontroversi, bukan prestasi. Joget, ucap “tolol”, dan tambahan tunjangan seakan jadi wajah sehari-hari lembaga yang katanya terhormat.