"Dulu saya dan almarhumah istri selalu sekolah negeri, dari SD sampai S1. Tapi semua anak kami, saya sekolahkan di swasta—khususnya sekolah Islam."
Dulu, sekolah negeri selalu jadi pilihan utama keluarga kami. Saya dan almarhumah istri adalah produk asli pendidikan negeri. Dari bangku SD sampai perguruan tinggi negeri, semua kami jalani dengan penuh rasa syukur.
Namun, begitu giliran kami menjadi orang tua, peta pilihan pendidikan berubah total. Saat anak sulung akan masuk sekolah dasar, kami memutuskan untuk menyekolahkannya di sekolah swasta Islam, bahkan saat SMA daftar ke boarding school internasional yang baru buka saat itu. Keputusan ini cukup mengejutkan orang-orang sekitar kami—termasuk kerabat yang tahu bahwa kami bukan tipe keluarga "berpunya".
Mengapa Sekolah Islam?
Saya tidak sedang ingin ikut tren. Tapi memang belakangan ini, sekolah Islam menjadi pilihan utama banyak orang tua. Ada satu rasa aman tersendiri ketika anak diasuh dalam lingkungan beragama, diajari adab sebelum ilmu, dan ditanamkan nilai-nilai tauhid dalam keseharian.
Bagi kami, pendidikan Islam bukan hanya tentang "pelajaran agama", tapi tentang arah hidup. Dan saya yakin, ini yang dibutuhkan anak-anak zaman sekarang—yang hidup di tengah gempuran teknologi, arus budaya instan, dan kemunduran adab.
Boarding School: Antara Harapan dan Kenyataan
Anak sulung saya kami masukkan ke sebuah boarding school internasional yang fasilitasnya—jujur saja—mewah. Tempat tidurnya mirip hotel kelas tiga. Ada water heater di kamar mandi. Lantai keramik mengkilap. Kini, gedung utamanya lantai 5 dan wangi. Saya sempat berpikir, “Ini sekolah atau penginapan?”
Tentu saja bukan karena saya mampu membayar sekolah elite seperti itu. Kebetulan, saat itu sekolah tersebut baru dibuka, dan untuk promosi, masuknya masih bebas biaya sampai tamat. Saya ambil kesempatan itu.
Namun, pada gelombang penerimaan berikutnya, saya kaget. Biayanya naik drastis—bahkan mencapai dua kali UMR kota kami hanya untuk biaya bulanannya. Untunglah anak saya sudah masuk duluan.
Dan meskipun banyak yang mengira kami “berlebih”, kenyataannya kami hanya mengambil peluang baik di waktu yang tepat.