Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kami dan Palestina: Ketika Diam Bukan Lagi Pilihan

27 Juli 2025   17:47 Diperbarui: 21 Agustus 2025   11:08 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ahad pagi itu (27/07/2025), kami membentangkan spanduk. Di jalanan. Di tengah keramaian. Bertuliskan: “Al-Aqsha yang mulia, kami akan terus bersamamu.” Ada juga kalimat tegas: “Umat Islam wajib bersatu bebaskan Al-Aqsha dan Palestina dari entitas Yahudi.”

Kami tahu, dunia tak akan berubah seketika karena spanduk itu. Gaza tak serta-merta terbebas dari penjajahan Zionis. Darah anak-anak Palestina tak langsung berhenti mengalir hanya karena kami berdiri di pinggir jalan. Tapi kami tetap berdiri.Karena kami memilih untuk tidak diam.
Kami teringat kisah burung pipit dalam sejarah Nabi Ibrahim 'alaihissalam. Ketika api besar dinyalakan oleh Raja Namrud untuk membakar Ibrahim, semua makhluk hanya bisa terdiam. Tapi seekor burung pipit kecil, dengan paruh mungilnya, terbang bolak-balik membawa setetes air untuk disiramkan ke kobaran api itu.

Seekor burung lain mencibir, “Apa yang kau lakukan tidak akan memadamkan api itu.”

Dan sang pipit menjawab, “Aku tahu. Tapi kelak, saat Allah bertanya siapa yang berpihak kepada Ibrahim, aku ingin menjadi bagian dari mereka.”

Begitulah kami. Kami bukan penguasa. Kami bukan jenderal. Kami bukan pemimpin negara yang punya kekuatan militer atau akses ke meja-meja diplomasi. Kami hanyalah rakyat biasa—guru, petani, pedagang, santri, dan anak-anak kecil yang belum tahu betul apa itu Zionisme, tapi tahu persis bahwa menyakiti sesama adalah kezaliman.

Kami tahu, sebagian penguasa di dunia Islam mengirim bantuan pangan dan obat-obatan ke Gaza. Tapi dalam waktu yang sama, mereka tetap membuka hubungan dagang, politik, bahkan militer dengan penjajah yang menyembelih rakyat Palestina.

Apa artinya itu?
Ibarat tetangga kita dirampok dan disiksa, lalu kita hanya memberi makanan, sambil tetap berbaik-baik dengan sang perampok. Bukankah itu sebuah penghinaan?

Kami tidak ingin menjadi tetangga semacam itu.
Kami ingin kelak, saat sejarah menoleh ke belakang dan bertanya, siapa yang berpihak kepada rakyat Gaza, maka anak-anak kami, cucu-cucu kami, bisa berkata: “Kami, meski kecil, pernah menjadi burung pipit itu.”

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Maka kami ajak mereka, anak dan cucu, ikut serta. Kami ingin menanamkan keberpihakan. Bahwa membela yang lemah adalah bagian dari iman. Bahwa menangis saja tak cukup jika tak dibarengi aksi nyata—meski hanya sebatas menunjukkan sikap.

Kami sadar, ini bukan akhir. Tapi ini bagian dari perjuangan. Sebab di tengah kebungkaman banyak pemimpin dunia, suara kecil dari rakyat biasa tetap memiliki makna. Sekecil apapun.

Dan kami percaya, suara kebenaran tidak pernah sia-sia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun