Tahun ajaran baru 2025 menyisakan ironi sekaligus pelajaran besar. Di banyak daerah, sekolah negeri yang dulu menjadi primadona, kini mulai kehilangan peminat. Sementara itu, sekolah swasta berbasis Islam, terutama yang mengusung program tahfiz dan pendidikan karakter, justru penuh sesak sejak sebelum kelulusan diumumkan.
Laporan Gagasan Muria News (25 Juni 2025) mencatat bahwa sejumlah sekolah negeri terancam digabung, bahkan ditutup, karena minimnya pendaftar. Sementara di sisi lain, beberapa madrasah dan sekolah tahfiz bahkan sudah “inden” sejak anak-anak masih duduk di TK. Dulu, sekolah swasta hanya jadi cadangan. Kini, justru jadi tujuan utama.
Iman dan Takwa Bukan Lagi Slogan
Saya berkesempatan meneliti STAT Insan Mulia Garut melalui tesis bertajuk Implementasi Manajemen Strategis Kinerja Guru demi Peningkatan Mutu Pendidikan. Hasilnya sungguh mencengangkan. Lulusan sekolah ini tidak hanya unggul dalam hafalan belasan juz, tetapi juga dalam akhlak, kedisiplinan, dan semangat belajar.
Semua itu lahir dari strategi yang menempatkan iman dan takwa sebagai dasar operasional nyata—bukan sekadar visi di dinding. Setiap unsur manajemen pendidikan dibangun untuk mencetak manusia seutuhnya. Guru ditata kinerjanya secara Islami, kepala sekolah menjadi teladan ruhiyah, dan anak-anak hidup dalam budaya belajar yang terjaga dari pengaruh negatif dunia digital.
Orang Tua Tak Lagi Cari Sekolah, Tapi Cari Lingkungan
Hari ini, banyak orang tua tidak lagi sekadar mencari sekolah yang unggul dalam nilai akademik, tapi mencari lingkungan pendidikan yang mendukung pembentukan karakter dan keselamatan ruhiyah. Kekhawatiran terhadap bahaya gawai, pergaulan bebas, serta lemahnya pengawasan membuat mereka memilih sekolah berbasis pondok, meski berbayar.
Sekolah yang membatasi penggunaan HP, memperkuat ibadah, dan membangun kedekatan spiritual, kini justru menjadi primadona. Apalagi bila disertai sistem pengawasan dan pembinaan akhlak yang konsisten. Mereka memilih bayar lebih mahal, demi pendidikan yang lebih bermakna.
Ketika Pilihan Tidak Tersedia
Namun, tidak semua orang tua punya pilihan. Masih banyak keluarga yang hanya bisa menyekolahkan anaknya di sekolah negeri karena keterbatasan ekonomi. Bukan karena tidak ingin pendidikan berbasis nilai, tetapi karena tidak punya alternatif.
Bagi mereka, sekolah gratis adalah satu-satunya jalan. Bahkan membeli sepatu baru pun kadang harus menunggu panen. Maka, memondokkan anak atau menyekolahkan ke madrasah unggulan, sering hanya jadi impian. Kondisi ini memperlihatkan bahwa akses terhadap pendidikan bermutu masih belum adil.