Fenomena viral puasa Tarwiyah di media sosial bisa dipahami lebih dalam dengan mengaitkannya dengan teori semantik dalam bahasa Arab dan teori psikologi sosial. Meskipun kedua bidang ini berasal dari disiplin ilmu yang berbeda, keduanya memberikan wawasan yang relevan dalam memahami bagaimana suatu amalan agama, seperti puasa Tarwiyah, bisa menarik perhatian dan diterima oleh masyarakat luas--terutama generasi muda--dalam konteks sosial yang lebih modern
Semantik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna kata dan simbol dalam bahasa. Dalam konteks agama Islam, bahasa Arab memiliki peran yang sangat penting dalam memahami esensi setiap amalan atau ajaran. Kata-kata dalam bahasa Arab sering kali memiliki makna yang sangat dalam dan penuh nuansa. Dalam hal ini, kata "Tarwiyah"sendiri berasal dari akar kata (ra-wi-ya) yang memiliki arti "memperoleh kesegaran" atau "menyegarkan". Dari sisi semantik, istilah ini mengandung konotasi positif yang mengarah pada penyegaran jiwa dan rohani, serta pengampunan dosa.
Menurut Muhammad Abduh(1990) dalam bukunya Tafsir Al-Manar, setiap kata dalam bahasa Arab yang digunakan dalam teks-teks agama memiliki nilai semantik yang dalam, yang jika dipahami dengan benar akan membawa pemahaman yang lebih mendalam terhadap ibadah. Dalam konteks puasa Tarwiyah, makna semantik yang terkandung dalam kata Tarwiyah---yaitu penyegaran---dapat diterjemahkan sebagai upaya spiritual untuk membersihkan hati dan memperbaiki diri. Hal ini berhubungan dengan konsep bahwa ibadah dalam Islam bertujuan untuk meningkatkan kualitas spiritual seseorang, bukan hanya sebagai aktivitas fisik semata.
Dalam ajaran Islam, puasa Tarwiyah seperti yang disebutkan dalam hadis adalah amalan yang bisa memberi pengampunan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Konsep semantik ini menekankan pada pemahaman bahwa puasa ini tidak sekadar ibadah fisik, melainkan sebuah ritual yang menyegarkan kembali hubungan seorang hamba dengan Sang Pencipta. Ketika puasa ini diperkenalkan melalui media sosial, makna semantik ini menjadi lebih mudah dipahami dan dibagikan, yang berpotensi membuat masyarakat lebih terhubung dengan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.
Namun, jika pemahaman ini hanya sebatas pada pengulangan kata atau amalan tanpa penghayatan, maka puasa ini akan kehilangan makna yang sebenarnya. Dalam hal ini, penting bagi para konten kreator di media sosial untuk tidak hanya menyampaikan "gambaran" tentang puasa Tarwiyah, tetapi juga menjelaskan makna yang terkandung dalam ibadah tersebut, agar orang tidak hanya berpuasa karena "tren", tetapi juga karena mereka memahami nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.
Dari perspektif psikologi sosial, fenomena viral puasa Tarwiyah di media sosial bisa dilihat sebagai refleksi dari kebutuhan sosial individu untuk terhubung dengan kelompok atau komunitas tertentu. Dalam teori psikologi sosial, konsep identitas sosial yang dikemukakan oleh Henri Tajfel dan John Turner menjelaskan bahwa individu seringkali mencari identitas diri mereka dalam kaitannya dengan kelompok sosial yang lebih besar. Media sosial, sebagai salah satu wadah komunitas digital, memungkinkan individu untuk membentuk dan meneguhkan identitas sosial mereka dengan mengikuti tren atau amalan tertentu, seperti puasa Tarwiyah.
Menurut Tajfel dan Turner (1986) dalam teori Identitas Sosial, individu merasa memiliki rasa keterikatan yang kuat terhadap kelompok sosialnya. Media sosial memungkinkan proses ini terjadi dengan cepat, di mana konten yang memuat puasa Tarwiyah dapat menyebar dalam waktu singkat dan mengundang banyak orang untuk terlibat. Partisipasi dalam tren ini memberikan individu rasa "terhubung" dengan komunitas Muslim yang lebih besar, bahkan meskipun mereka mungkin tidak memiliki pemahaman mendalam tentang keutamaan puasa tersebut.
Melalui partisipasi dalam tren puasa Tarwiyah, individu merasa menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar, dan hal ini memperkuat sense of belonging atau rasa memiliki, yang merupakan kebutuhan dasar manusia menurut teori psikologi sosial. Puasa Tarwiyah menjadi salah satu cara untuk menunjukkan kesetiaan terhadap nilai-nilai agama dalam ruang publik, terutama di platform-platform media sosial.
Selain itu, fenomena ini juga bisa dipahami dalam kerangka teori konformitas sosial. Konformitas adalah kecenderungan individu untuk mengikuti norma atau perilaku yang berlaku di dalam kelompok. Ketika banyak orang di media sosial mengunggah tentang puasa Tarwiyah, individu-individu lain yang terpapar konten tersebut merasa terdorong untuk melakukan hal yang sama. Hal ini juga berkaitan dengan teori sosial media yang menyatakan bahwa media sosial memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi perilaku dan sikap individu. Dalam hal ini, orang-orang mungkin berpuasa Tarwiyah bukan hanya karena mereka benar-benar memahami keutamaan ibadah tersebut, tetapi juga karena adanya tekanan sosial atau dorongan untuk "tidak ketinggalan" dan menunjukkan identitas keagamaan yang sesuai dengan tren.
Namun, di sisi lain, adanya konformitas ini juga berisiko mengurangi ketulusan dan pemahaman mendalam dalam beribadah. Jika seseorang hanya melaksanakan puasa Tarwiyah karena dorongan sosial atau untuk mengikuti tren di media sosial, maka makna ibadah itu sendiri bisa hilang. Dalam konteks ini, psikologi sosial mengingatkan kita tentang bahaya "pamer religiusitas" atau "social conformity bias"---di mana individu melakukan sesuatu bukan karena niat yang tulus, tetapi lebih untuk mendapatkan pengakuan atau status sosial. Robert Cialdini (2001) dalam bukunya Influence: The Psychology of Persuasion menjelaskan bagaimana tekanan sosial bisa mempengaruhi perilaku individu, bahkan dalam konteks yang berkaitan dengan keagamaan.
Menurut Ganat, S. A. (2024) Â seorang psikolog sosial di Journal of Social Psychology, media sosial memiliki peran signifikan dalam membentuk perilaku kelompok dan identitas sosial individu. Ia menulis: "Media sosial menciptakan dinamika kelompok yang lebih besar, di mana individu merasa perlu untuk mengikuti atau berpartisipasi dalam tren sosial yang sedang berlangsung, bahkan jika mereka tidak sepenuhnya memahami latar belakang atau nilai dari tren tersebut." Hal ini sangat relevan dengan fenomena viral puasa Tarwiyah, di mana banyak orang yang mengikuti tren ini tanpa menggali lebih dalam mengenai tujuan spiritual dari ibadah tersebut.