Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebuah Keputusan untuk #BahagiaDiRumah

23 Mei 2016   18:35 Diperbarui: 23 Mei 2016   18:42 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
10 Kiat Sederhana Bahagia di Rumah

Tujuh tahun lalu, saya mulai tinggal di rumah. Iya, saya memulai “karir” baru sebagai Ibu Rumah Tangga. Rasanya benar-benar tak sebebas merpati karena sebelumnya saya adalah seorang perempuan lajang, mandiri, dan bekerja. Pernikahan telah mengubah hidup saya secara total. Tapi ini bukan sebuah drama, namun lebih kepada sebuah pilihan hidup yang sudah ada di depan mata saya.

Waktu itu saya memutuskan resign dari kantor untuk mengikuti suami yang bekerja di luar negeri. Akan sangat egois jika saya tetap tinggal di Indonesia untuk tetap bekerja kan? Awalnya, tinggal di rumah ini saya rasakan sebagai cuti kerja. Tapi lama-kelamaan saya bosan. Seperti tidak ada “challenge” dan hal baru yang membuat saya bersemangat. 

Saya pun menjadi gelisah. Bayangkan, saya terbiasa di kantor dengan berbagai deadline perilisan produk, kemudian saya harus tinggal di rumah tanpa ada pekerjaan sama sekali! Rasanya sungguh luar biasa. Bingung dan tidak tahu mau apa. Sementara waktu itu juga saya masih di tahap “semangat 45” untuk melakukan sesuatu yang bisa saya lakukan. Saya merasa “energi” ini harus saya salurkan kemana?

Kalau diingat-ingat bagaimana saya menyalurkan “energi” tersebut untuk membunuh waktu dan kebosanan, saya ingin tertawa sendiri. Bagaimana tidak, saya habiskan waktu dengan belajar memasak. Hanya berbekal resep dari google karena lupa membawa buku resep dari Indonesia. Saya bereksperimen di dapur dan hasilnya sungguh aduhai alias gagal. Ingin membuat donat tapi yang jadi adalah roti goreng! Hahaha... Suami saya bukannya senang, tapi malah saya dimarahi karena saya boros menghabiskan uang belanja dengan ekperimen-eksperimen yang hampir tak pernah sukses selama hampir setahun. Suami saya berpikir untuk praktis saja dan tidak usah terlalu berambisi bisa masak. Mungkin juga ART saya waktu itu juga sebal ya, karena tiap hari cucian perkakas dapur bertumpuk-tumpuk.

Itu belum seberapa, karena saya juga mencoba merajut, membuat bunga, dan menanam sayur. Hasilnya tidak bisa dikatakan sukses. Bahkan suami saya tertawa ketika melihat saya belajar merajut. Sepertinya bukan saya banget gitu! hehe.. Karena itulah, saya mulai berpikir kembali dan menimbang-nimbang untuk kembali bekerja sesuai ilmu yang saya punya. Saya sadar sepenuhnya akan kemampuan saya. Hal itu karena dari kecil saya adalah anak yang “textbook” dan kutu buku. Jadi untuk urusan rumah tangga boleh dikatakan nol besar.

Setahun setelah menikah, saya hamil. Pilihan untuk kembali bekerja tetap ada dalam benak saya. Saya pun sudah berdiskusi dengan suami. Bahkan, saya beli buku-buku tes masuk CPNS.  Di usia kehamilan 32 minggu, saya balik ke Indonesia untuk melahirkan. Setelah saya melahirkan, 11 hari kemudian suami balik lagi ke luar negeri untuk bekerja. Waktu itu kami membuat kesepakatan “bayangan” bahwa saya tinggal di Indonesia dan dia tetap kembali untuk bekerja. Suami pun mengijinkan saya jika memang ingin bekerja. Bahkan siap memberi fasilitas kepada saya.

Setelah lampu hijau tersebut, saya pun bersiap untuk melamar kerja. Di usia anak saya 3 bulan, saya mendapat panggilan interview kerja. Rasanya senang sekali. Namun, perasaan itu kemudian berubah menjadi sebuah pusaran kebingungan. Bersamaan dengan itu, suami memberi tahu bahwa akan menjemput saya dengan segera. Saya sudah katakan bahwa saya berat untuk ikut kembali. 

Bayangkan, saya harus kembali tinggal di Afrika! Dua tahun sebelumnya tinggal disana membuat saya cukup stres. Dan sekarang enak-enaknya tinggal di negara sendiri kemudian diminta balik kesana huhuhu... Tapi jika suami sudah meminta seperti itu, bijak kah saya untuk hanya memikirkan diri saya? Saya pun berpikir kembali bagaimana rumah tangga saya ini akan saya jalani. Apakah tepat jika tinggal berbeda negara dan benua? Apakah suami saya bahagia? Apakah anak saya juga bahagia?

Dalam menghadapi pusaran kebingungan itu, akhirnya saya hanya berpikir untuk melakukan apa yang harus saya lakukan. Terkadang saya tidak mampu untuk berpikir dan memilih. Apakah saya akan kembali ikut suami dan bersama menjadi sebuah keluarga kecil? Saya benar-benar galau akan menjalani hidup yang seperti apa kala itu. Akhirnya saya pun pasrah dan mulai melengkapi berkas untuk pengurusan paspor dan visa si kecil.

Suatu pagi, dengan ditemani ibu saya dan si kecil, saya berangkat ke kantor imigrasi. Pagi itu juga saya ada jadwal interview kerja. Diantara kegalauan itu, saya lakukan apa yang bisa saya lakukan. Sampai di kantor imigrasi, saya segera mengurus semua keperluan. Tiba-tiba handphone saya berbunyi. Deg! Saya gelisah seketika. Nomor yang terpampang di layar handphone adalah nomor kantor yang mengundang saya untuk interview kerja. Sedetik. Dua detik. Saya harus mengangkat perangkat komunikasi itu.

“Hallo.. selamat pagi..”, sapa saya di telepon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun