Belakangan ini, Danantara menjadi topik panas di berbagai media. Dari media sosial hingga warung kopi, orang-orang sibuk membahas lembaga baru ini yang katanya bakal jadi "game changer" bagi perekonomian Indonesia. Namun, di tengah riuhnya pembicaraan, masih banyak masyarakat yang kebingungan. Danantara itu apa sih? Kenapa tiba-tiba muncul? Yuk, kita bahas dengan bahasa bayi.
Mari kita sederhanakan. Bayangkan Indonesia sebagai seorang ibu bernama Tara yang memiliki banyak anak. Anak-anak ini adalah BUMN—perusahaan-perusahaan negara yang menyumbang sebagian pendapatannya untuk Ibu Tara. Dari uang yang dikumpulkan, Ibu Tara harus mengelola rumah tangga, membayar kebutuhan sehari-hari, dan memastikan kehidupan ke depan tetap stabil. Masalahnya, penghasilannya pas-pasan, bahkan cenderung kurang.
Suatu hari, datanglah seorang pria bernama Dana. Dana menawarkan solusi: "Daripada uang dari anak-anak langsung dihabiskan, lebih baik dikumpulkan dan diinvestasikan. Dengan cara ini, uangnya bisa berkembang dan keuntungan yang didapat bisa lebih besar di masa depan." Sederhananya, Dana ingin mengelola uang Ibu Tara agar lebih produktif.
Secara konsep, ini masuk akal. Negara memang butuh strategi investasi yang lebih cerdas agar ekonomi bisa tumbuh lebih cepat. Dengan membentuk Danantara sebagai lembaga investasi superholding, diharapkan dana dari BUMN, penyertaan modal negara, serta aset-aset lainnya bisa dikelola lebih baik dan menghasilkan keuntungan besar. Jika berhasil, ekonomi Indonesia bisa tumbuh 6-7% per tahun, membuka lebih banyak lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tapi, ada satu pertanyaan besar: bagaimana kalau Dana ternyata tidak kompeten atau punya niat buruk?
Dalam skenario terbaik, Dana adalah sosok profesional yang jujur dan transparan. Ia mengelola uang dengan baik, berinvestasi di proyek-proyek menguntungkan, dan akhirnya menghasilkan keuntungan besar bagi Ibu Tara serta anak-anaknya. Namun, dalam skenario terburuk, Dana justru memanfaatkan kepercayaan ini untuk kepentingan pribadi. Uang yang diinvestasikan ternyata tidak dikelola dengan baik, proyek-proyeknya merugi, dan bukannya untung, Ibu Tara justru harus menanggung kerugian besar.
Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia sudah beberapa kali mengalami kegagalan dalam proyek-proyek besar akibat tata kelola yang buruk. Skandal korupsi, mismanajemen, hingga campur tangan politik sering menjadi faktor utama mengapa proyek yang awalnya terlihat menjanjikan justru berujung petaka. Maka, wajar jika masyarakat skeptis terhadap Danantara.
Pemerintah bisa saja meyakinkan bahwa lembaga ini akan dikelola secara transparan dan independen. Namun, kepercayaan publik tidak bisa dibangun hanya dengan janji. Yang dibutuhkan adalah bukti. Danantara harus benar-benar dijalankan oleh orang-orang kompeten, bebas dari kepentingan politik, serta memiliki sistem pengawasan yang ketat.
Jadi, apakah Danantara akan menjadi solusi atau sumber masalah baru? Jawabannya ada pada bagaimana lembaga ini dikelola. Jika serius ingin menjadikannya sebagai game changer, maka harus ada jaminan bahwa uang rakyat tidak disalahgunakan. Jika tidak, kita hanya akan menambah daftar panjang proyek ambisius yang berakhir mengecewakan.
Masyarakat sudah cukup lelah dengan janji-janji manis. Saatnya membuktikan bahwa Danantara bukan sekadar wacana, tapi benar-benar membawa perubahan.