Mohon tunggu...
I Nengah Maliarta
I Nengah Maliarta Mohon Tunggu... Pengacara - Pluralism

Indonesian

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak Angkat dalam Hukum Adat Bali

28 Agustus 2020   11:20 Diperbarui: 28 Agustus 2020   11:19 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Khusus mengenai hak sebagai ahli waris, dalam prakteknya tidak jarang ditemui permasalahan / sengketa yang pada akhirnya terjadi manakala orang tua angkat telah meninggal dunia. Hal tersebut biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keluarga kandung dari orang tua angkat (baik dari keluarga garis ke atas maupun garis ke samping) yang mengklaim berhak atas harta warisan yang meninggal (orang tua angkat). 

Kasus seperti ini pernah terjadi pada Tahun 2000 di salah satu desa di daerah Kabupaten Badung, Bali. Seorang anggota keluarga dari garis ke samping mengklaim berhak terhadap suatu warisan sebidang tanah atas orang yang sudah meninggal yang pada masa hidupnya tidak memiliki keturunan dan kemudian melakukan prosesi meras sentana / mengangkat seorang anak.

Kasus tersebut pada akhirnya naik ke meja hijau, anak angkat dari yang meninggal menggugat pihak yang mengklaim hingga menguasai tanah warisan tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. PN Denpasar pada putusannya mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan penggugat selaku anak angkat yang meninggal adalah ahli waris yang paling berhak atas warisan berupa sebidang tanah tersebut.

Pertimbangan PN Denpasar adalah karena penggugat merupakan anak angkat yang sah dari almarhum yang meninggalkan harta warisan. Pertimbangan tersebut berdasarkan fakta-fakta bahwa penggugat tinggal di pekarangan rumah peninggalan almarhum; nyungsung (menyembah) sanggah/merajan keluarga almarhum; menguburkan dan mengabenkan almarhum; dan penggugat adalah penegen ayahan adat almarhum yang didukung dengan bukti surat keterangan dari kelihan desa adat setempat.

Walaupun putusan PN Denpasar tersebut sempat dibatalkan oleh putusan Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar atas banding yang diajukan oleh tergugat namun pada tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) kemudian memutuskan untuk menguatkan putusan PN Denpasar dan membatalkan putusan PT Denpasar serta mengabulkan kasasi yang diajukan oleh penggugat. 

Putusan tersebut kemudian menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung dengan Nomor 445 K/Pdt.2002 tanggal 24 Februari 2005 yang berbunyi “Orang yang melanjutkan segala kewajiban dari orang yang meninggal sesuai dengan keterangan kepala desa dan banjar adat dan mengabenkan yang meninggal tersebut, terbukti sebagai anak angkat dan berhak mewarisi harta peninggalan”.

Sebagai penutup, Yurisprudensi MA tersebut sejatinya memuat pesan dari majelis hakim yang berupaya untuk mengingatkan agar setiap anak, khususnya anak angkat senantiasa eling (ingat) pada kewajiban (swadaharma), ketika ia sudah memperoleh hak (swadikara) sebagai anak. Serta memberikan pesan bahwa antara hak dan kewajiban seorang anak haruslah seimbang, tidak bisa menuntut hak tanpa pernah menjalankan kewajiban, dan sebaliknya.

Referensi:

  1. https://paduarsana.com/2012/07/26/catur-dresta/
  2. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 445 K/Pdt.2002 tanggal 24 Februari 2005
  3. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 98/Pdt/2001/PT.Dps tanggal 29 Mei 2001
  4. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 76/Pdt.G/2000/PN.Dps tanggal 18 Desember 2000

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun