Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Putih Pembawa Maut

30 Maret 2016   19:52 Diperbarui: 30 Maret 2016   20:27 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar : kabarmakkah.com"][/caption]

Di senja itu, Sanep tengah bersama-sama dengan penduduk desa mempersiapkan pemakaman ibunda yang baru saja meninggal. Ia sangat sedih, mengapa ibunda yang sangat ia cintai itu begitu saja meninggalkan dunia yang fana ini. Entahlah, Ia pun tak tahu, penyakit apa yang tiba-tiba menyerang, hingga ajal begitu saja menghampiri. Padahal di pagi harinya ia habiskan bercengkrama dengan sang ibunda. Ia tak menyadari, kepergiannya siang ini ke ladang, ternyata meninggalkan sayatan di hatinya. Kesedihan dan rasa kehilangan amat menusuk hingga ke dalam inti jantungnya.

Ia tak mampu menolak apa yang terjadi. Semua di luar kendalinya sebagai hamba Allah. Bahkan jika ia ingat pesan almarhum ayahnya yang sudah lima tahun wafat, tentu masih terang petuah bijaknya "Nak, jangan lupa sholat, karena sholat itu tiang agama. Sebaik-baiknya amal ibadah seseorang kuncinya adalah pada sholatnya. Tahu nggak Nak, kematian itu teramat dekat, tak menunggu tua. Jika sudah waktunya, maka ajal pun akan datang begitu saja, tanpa memberitahu terlebih dahulu.

Benar-benar terjadi apa yang ia khawatirkan, ibu yang amat ia hormati ternyata sudah meninggalkannya. Meninggalkan dunia ini demi kehidupan akhirat yang lebih kekal. Tak terasa air mata menetes, tapi ia berusaha tetap tabah. 

"Bang Sanep, sabar ya Bang! Ini adalah jalan terbaik buat bundanya. Kita doakan agar arwahnya diterima di sisi Allah SWT."

Tiba-tiba ia tersadar, ketika sahabat menepuk pundaknya dan ia berusaha menyeka air matanya itu. Ia agak gugup dan sedikit malu, lantaran selama ini ia termasuk pria yang gagah. Ia tidak pernah mengeluh pada siapapun, termasuk pada sahabatnya itu. Jangankan masalah kematian, masalah apapun tidak pernah ia utarakan, kecuali terhadap ibundanya.

Apalagi ia yakin bahwa takdir itu di sudah ada yang menentukan, seperti rezeki, jodoh dan maut juga sudah ada yang menentukan. Tinggal manusianya yang harus berpasrah kepadaNya. Meski demikian dalam kepasrahan itu semestinya tetap saja berusaha untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Boleh pasrah, tapi harus berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan yang terbaik.

“Kira-kira jam berapa, ibunya akan dimakamkan, Bang? Soalnya pak kaum sudah selesai memandikan, mengkafankan, menyolatkan dan tinggal menguburkan.” Tanya sahabat Sanep.

Memang benar, kondisi jenazah sudah siap untuk diberangkatkan, apalagi para pelayat sudah hadir semua, sebagian tengah bercakap-cakap dan sebagian lagi tengah menyolatkan lantaran tertinggal jamaah pertama. Yang lain lagi tengah melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an, dengan suara agak lirih, mereka membacakan surat Yaasiin sebagai bacaan terakhir penghantar jenazah sebelum diberangkatkan ke peristirahatan terakhir.

“Apakah harus secepatnya dikubur? Tanya Sanep, balik bertanya.

“Ya semestinya sesegera mungkin, Bang. Itu anjuran dari Rasulullah. Apabila jenazah sudah cukup tiga syarat itu, maka hendaknya segera dikebumikan atau dikuburkan. Tidak boleh menunggu terlalu lama.” Sahabat Sanep menjelaskan lebih rinci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun