Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru SLB Negeri Metro

Suka membaca, traveling, nonton film, menulis, ngobrol ngalur ngidul, suka makan masakan istri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasus Kyai Mim dan Sahara, Ketika Bijak Bukan Hanya dalam Imajinasi Semata

14 Oktober 2025   15:00 Diperbarui: 14 Oktober 2025   15:32 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Kyai Mim dan istri yang tengah berada dalam acara podcast bareng Deni Sumargo  (akurat.co)

Ada yang beberapa hari ini ramai di jagat media sosial, Kasus seorang Dosen di salah satu universitas di Malang, Jawa Timur serta mahasisiwi S3 yang juga bermukim--ngontrak di sebuah rumah di wilayah yang sama.

Kedua insan yang tengah bersitegang ini kedapatan adalah seorang Kyai, sang Kyai dikenal dengan sebutan Yai Mim. Sosok yang amat sederhana, santai, namun ternyata menurut netizen bukanlah orang sembarangan.

Lalu, siapa sosok yang tengah berseteru dengan sosok Kyai sekaligus dosen ini? Ialah Sahara, yang saat ini diketahui tengah berkuliah S3 dengan profesi keluarga memiliki jasa rental mobil pribadi. Yang menurut informasi yang beredar pula, kedua ini adalah bertetangga, tapi karena persoalan tanah yang dihibahkan kini menjadi sorotan dari berbagai pihak, bahkan sampai ke manca negara. 

Apa yang begitu membuat berita ini ramai di media sosial, hingga kedua belah pihak sama-sama menayangkan rekaman ponselnya demi membuktikan  siapa yang bersalah. 

Apakah murni karena persoalan tanah hibah yang disalah gunakan? Yang menurut berita pula, tanah yang seharusnya digunakan untuk fasilitas jalanan umum, nyatanya malah digunakan untuk urusan pribadi. 

Dan anehnya, ketika tanah itu sudah sama-sama disepakati untuk fasilitas umum, kini menjadi persoalan panjang yang menyeret kedua ke delik penghinaan dan pencemaran nama baik. Bahkan karena sudah melebar ke ranah publik, salah satu pihak kini mendapatkan serangan "cyber" dari para netizen yang mendukung Kyai Mim. 

Saya tidak berniat membela salah satunya, tapi bagaimana kejadian ini ditarik kembali ke ranah nilai-nilai sosial dan toleransi. Sebuah nilai yang terus diajarkan pada anak cucu serta generasi muda kita. Bagaimana kita mesti menjaga sikap untuk tidak "sekarepe dewe" atau berusaha memonopoli fasilitas yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan bersama.

Pertama, kita memang berbeda latar belakang, maka tak elok untuk menjadi sama

Pelajaran penting yang dapat saya tarik dari persoalan di atas adalah bahwa ada kecenderungan setiap orang untuk diperlakukan sama. Bahkan karena sikap yang dianggap arogan, pihak Sahara merasa memiliki kuasa karena mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat di wilayah itu. Maka, karena mendapatkan dukungan tersebut, sosok mahasiswi S3 ini merasa ia bisa mengatur segalanya, dan sudah barang tentu bisa melakukan apa yang diinginkan. Padahal dalam dunia yang beragam suku ini, sikap untuk menang sendiri bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan.

Seperti ketika ingin menggunakan fasilitas umum semisal jalanan desa, semestinya tidak semena-mena dan merasa memiliki kuasa atas jalanan itu. Bahkan sampai menganggap itu sebagai hak pribadi.

Padahal sebagai sikap yang bijak, semestinya jalanan desa yang seharusnya memang diperuntukkan untuk mobilitas masyarakat setempat ya semestinya tidak dialihkan pada hal yang berbeda. Ini yang menjadi pemicu, mengapa perselisihan bisa terjadi.

Semua hal terkait fasilitas umum, seyogyanya tetap diperuntukkan bagi masyarakat umum, dan tidak digunakan untuk fasilitas pribadi.

Seperti apa yang terjadi dari kasus antara kedua belah pihak tersebut. Jika tidak ada aksi pengambilalihan jalanan yang sejatinya milik Kyai Mim yang telah dihibahkan, maka menggunakannya untuk kepentingan pribadi adalah kesalahan.

Belum lagi dalam budaya kita ada yang namanya bermusyawarah untuk mufakat, bukannya lebih tepat jika semua dimusyawarahkan dengan baik tanpa ada unsur tekanan dari salah satu pihak. Apalagi membawa-bawa nama latar belakang suku yang sejatinya itu bermula dari masalah pribadi.

Orang yang tidak seharusnya terlibat dalam pusara masalah, pada akhirnya tertarik pada masalah itu hingga turut mengecam dan memusuhi mereka yang sama-sama satu suku.

Salahnya lagi, pihak-pihak yang dituakan bukannya menengahi dan menyelesaikan masalah itu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, justru seolah-olah menyerang salah satu pihak (Kyai Mim) yang notabene orang baru yang telah dengan sukarela menghibahkan tanah tersebut.

Kedua, menyebarkan pengaruh negatif demi mendapatkan dukungan secara frontal tapi tak masuka akal

Apa yang saya pahami dari video-video yang beredar adalah, pihak Sahara secara simultan dan tersistematis berupaya menyebarkan konten-konten provokatif dengan cara melecehkan secara verbal. Pembulian seorang perempuan yang usianya jauh lebih muda terhadap seorang pria yang dapat dikatakan bisa menjadi seorang ayah, merupakan tindakan yang sungguh jauh dari nilai-nilai kesopanan dan kesantunan.

Penyebaran konten negatif terkait aksi pembullyian yang terus menerus diekspos di media sosial merupakan langkah yang tidak cerdas jika melihat dari sisi betapa pendidikannya sudah sangat tinggi. Pendidikan yang sejatinya bisa membentuk kepribadian seseorang menjadi sosok yang berbudi luhur dan tinggi nilai kesopanan dan kesantunan dalam berbicara. 

Secara nilai sosial, hal ini tentu jauh dari nilai-nilai kepatutan, bahkan dapat dibilang sudah sangat keterlaluan. 

Meskipun misalnya apa yang diekspos tersebut hanyalah konten, tentu konten ini bisa dianggap melecehkan dan sudah jelas melangar UU ITE. Selain itu ini adalah hal yang memalukan yang secara tidak langsung bisa mempengaruhi pemirsa yang sengaja atau tidak sengaja mengikuti persoalan ini.

Semisal anak-anak yang belum memahami kasus ini pun dapat terseret pada aksi permusuhan yang ia sendiri tidak tahu apa masalahnya. 

Bahkan jangankan anak-anak yang saat ini mulai memberikan reaksi negatif, orang dewasa pun telah masuk dalam pusara permusuhan dan konflik yang mengarah pada salah satu suku atau latar belakang dari salah satu sosok yang tengah bermasalah.

Dunia internet bukanlah tempat yang tepat untuk menumpahkan segala energi negatif yang tengah dihadapi, karena dampaknya akan sangat berbahaya dan bisa merambah ke banyak sisi dan bisa berbuah konflik horizontal.

Pada mulanya netizen begitu saja mendukung Sahara ketika menayangkan aksi guling-guling Kyai Mim, tapi pada akhir cerita, netizen kini berbalik arah dan justru membela sang Kyai yang dianggap telah menjadi korban.

Ketiga, Jangan pernah mengambil yang bukan haknya

Sedikit kembali pada persoalan mengapa Sahara dan Kyai Mim ini berkonfilk, yaitu akibat diserobotnya tanah hibah yang diperuntukkan untuk jalanan. Bahwa pada mulanya jalan itu adalah milik Kyai Mim, karena ingin memberikan akses bagi masyarkat yang ingin lewat. Selain itu ingin memberikan kemudahan pada sosok Kyai ini agar bisa bermobilisasi tanpa hambatan.

Semula tidak ada masalah yang muncul, karena jalanan itu memang diperuntukkan untuk hal yang memang seharusnya.

Belakangan persoalan tersebut mulai mencuat gara-gara jalanan tersebut dipagari dan ingin dibuat usaha lain. Bahkan jalanan yang seharusnya bisa bebas berlalu-lalang, justru karena parkir yang tidak seharusnya, akhirnya yang menghibahkan tanah tersebut justru tidak mendapatkan aksesnya.

Pemilik tanah yang semula ingin mendapatkan akses jalan yang mudah, eh tiba-tiba menjadi sulit keluar, gara-gara jalanan digunakan untuk memarkir kendaraan. Bahkan jika dilihat dari tayangan video yang beredar, Sahara dan suaminya merupakan pengusaha rental mobil, yang notabene waktu keluar masuk mobil pun tidak dapat ditentukan waktunya, dan itu sungguh sangat mengganggu kenyamanan Kyai Mim.

Maka dari itu, jika kita memang sosok yang ingin menjaga toleransi meskipun dengan berbeda latar belakang, semestinya tetap mengedepankan asas kepatutan. Apakah patut jalanan yang seharusnya dipakai untuk berlalu-lalang, justru digunakan pada hal yang bersifat pribadi dan itu sangat mengganggu kepentingan pengguna jalan lain.

Jika kita ingin menjadi pengusaha, perlu diingat bahwa tidak semua hal bisa kita anggap wajar, jika usaha itu justru merugikan orang lain.

Penutup

Sebagai masyarakat yang dididik dengan etika dan budaya sopan santun, permusuhan dan konflik tersebut sebenarnya sungguh sangat memalukan. 

Dua orang yang seharusnya bisa berkontribusi pada masyarakat sekitar, ternyata dikotori dengan hal-hal yang yang tidak layak dicontoh. Apalagi jika ranah pribadi telah menyeret pada ranah sosial yang terus menyebar di dunia maya. Satu orang yang bermasalah, akhirnya menyebarkan video-video yang tidak baik yang akhirnya dikonsumsi banyak orang. Yang efeknya bisa merusak tatanan sosial yang telah kita bangun bersama.

Untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak, bahwa kejahatan apa pun di masyarakat, bakalan akan mendapatkan sanksinya. Bahkan tidak hanya di dunia, karena di akhirat saja bakalan mendapatkan balasannya.

Salam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun