Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Jangan Pernah Katakan "Blondo" Jika Ingin Membuat Minyak Goreng

26 Maret 2022   21:44 Diperbarui: 31 Maret 2022   15:48 1435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi santan alami dari sebutir kelapa segar. (sumber: SHUTTERSTOCK/HOMELESSCUISINE via kompas.com)

Beberapa pekan ini dunia persilatan eh dunia perdapuran masih heboh dengan langkanya minyak goreng, meskipun akhir-akhir ini keberadaan minyak goreng sudah mudah didapatkan dengan harga yang lumayan meroket. 

Salah satu bahan pokok bagi ibu-ibu rumah tangga ini sedikit banyak memancing perhatian saya untuk membagikan cerita betapa kelangkaan minyak goreng sudah bukan hanya menjadi buah bibir, melainkan sesak dada (maksudnya sakit hati) lantaran berkali-kali mencari harus ngantri, dan ketika sudah ada barangnya ternyata harganya sudah setinggi awan.

Seperti ghalibnya, di mana masalah terjadi di tanah air, maka di setiap daerah tentu merasakannya. Sama seperti ketika di satu wilayah menyatakan langka minyak goreng, ternyata di lain tempat juga merasakan hal demikian.

Begitu pula apa yang terjadi dengan kondisi dapur di rumah kami, sering pula mengalami kelangkaan bahan pokok karena tanggal tua. Bukan hanya minyak makan atau minyak goreng yang langka, karena beras atau cabai pun ikut menghilang seiring semakin menipisnya persediaan uang dalam dompet sang nyonya.

Namun, saat ini bukan untuk membahas kelangkaan salah satu dari sembilan bahan pokok ini, akan tetapi menyiasati kelangkaannya dengan cara jitu agar masakan masih terasa nikmat dan lezat.

Membuat minyak goreng berbahan kelapa

Selayaknya ibu-ibu lainnya-khususnya di perdesaan- kebiasaan mereka memanfaatkan kebun belakang rumah dengan memanfaatkan hasil tanaman yang sudah ada. Seperti pohon kelapa memang masih banyak ditemui. 

Meskipun kerusakan dan kematian parah pada pohon kelapa pernah dialami para petani disebabkan kemarau panjang yang pernah menerjang, keberadaan pohon kelapa masih bisa kita temui. 

Pada saat kelangkaan minyak goreng berbahan sawit terjadi, maka keberadaan buah kelapa sungguh sangat membantu membuat alternatif minyak goreng.

Nah, setelah sekian lama menikmati mudahnya membeli minyak goreng yang berbahan kelapa sawit, pada akhirnya ketika kelangkaan terjadi, para ibu turut kelabakan dan dibuat gugup. 

Dalam batinnya mungkin berkata: "Oalah pak pak, minyak goreng kok nggak ada. Mau beli ngantrinya seperti ular. Kalau nggak ngantri pasti nggak kebagian." Seperti itulah kesan yang saya tangkap dari pembicaraan mereka ketika mendiskusikan persoalan sembako yang sangat-sangat krusial bagi ibu-ibu rumah tangga ini.

Makanya, ketika ada yang berkomentar negatif karena ibu-ibu sulit mencari minyak goreng, mereka secara ketus langsung menjawab, "ya wajar anda tidak merasakan kesusahan, lah wong dari kecil sudah hidup enak."

Dan kita abaikan saja silang pendapat mengapa minyak goreng itu langka. 

Kembali ke laptop. 

Bahwa kelangkaan minyak goreng ini turut memicu semangat untuk hidup lebih irit. Yang biasanya setiap hari bisa bikin gorengan atau masakan oseng-oseng, karena langka terpaksa membuat olahan tanpa minyak.

Seperti apa yang dilakukan ibunya anak-anak, ketika mendapatkan kelapa dari tempat orang tuanya ia pun memanfaatkannya untuk membuat minyak goreng. Caranya sangat mudah, pertama, kupas kelapa dan sabutnya dibuang atau dijadikan bahan bakar ditemani oleh batok kelapanya. 

Setelah kelapa bersih dari sabut dan batoknya, kemudian kelapa itu dicuci dan diparut dengan rasa bahagia. Sebab kalau ketika marut wajah cemberut dan hati susah, akibatnya tangannya ikut kena parut dan berdarah. Hati sudah sakit karena minyak langka ditambah tangan yang terluka bukan karena cinta, tapi tajamnya duri-duri parut.

Setelah kelapa itu diparut, maka langkah selanjutnya memerasnya dengan lembut selembut salju, sampai santan tercipta, lalu buanglah ampasnya. Ampas ini bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak (ayam) dicampur bekatul atau langsung disawurkan di hadapan ayam-ayam yang kelaparan.

Jika ingin menghemat biaya dalam mengolah, maka ada baiknya jangan menggunakan kompor gas atau kompor listrik, tapi gunakanlah tungku kayu bakar.

Disamping hemat bahan bakar, tentu melatih ibu-ibu berolahraga dengan memanfaatkan kayu-kayu yang banyak berserak di kebun. Ingat, bukan kebun tetangga lho ya?

Ketika tungku sudah dipenuhi api merah nan panas, langkah selanjutnya adalah terus mengaduk-aduk santan itu sampai air santan tertinggal minyak dengan sisa-sisa pengolahan yang sering disebut "blondo". Di desa kami blondo ini banyak disukai anak-anak karena  gurih. 

Setelah setengah jam lebih, wajan pun di turunkan dan apinya dimatikan. Setelah beberapa saat endapan dan minyaknya dingin, barulah kita bisa memeras atau  memisahkan antara endapan dan minyak tadi.

Dari hasil pengolahan beberapa butir kelapa akan dapat menghasilkan minyak yang berkualitas dan aroma yang khas. Terkait berapa liter hasilnya tergantung jenis dan kondisi kelapa ketika diolah. 

Jika buah kelapa merupakan jenis yang bagus dengan daging tebal dan kelapa juga sudah tua (tidak ketuaan), maka bisa dipastikan minyaknya juga banyak. Tapi kalau jenis kelapa kecil dan tipis daging buahnya, kemungkinan besar hasilnya juga sedikit.

Pantangan menyebutkan kata "blondo" ketika mengolah kelapa menjadi minyak

Boleh jadi adat atau budaya memiliki kesamaan di beberapa daerah. Seperti ada hal-hal yang dilarang ketika mengolah sesuatu. 

Seperti tidak boleh mengatakan "blondo" ketika membuat minyak makan. Entah ini hanya mitos atau apa, yang pasti masyarakat desa dari kalangan suku Jawa, masih banyak yang memegang tradisi dan menghindari pantangan ini.

Sebab banyak kejadian siapa saja yang mengolah minyak kelapa, ternyata di dalam pembuatan selalu mengatakan "blondo" maka yang dihasilkan adalah endapan "blondo" tadi. Sedangkan minyak makan yang diharapkan justru lebih sedikit.

Percaya atau tidak mitos ini masih sangat dipercaya oleh ibu-ibu di desa. Dan kepercayaan turun temurun ini menjadi aturan tidak tertulis yang memang harus  dijaga.

Membuat olahan pepes ternyata juga lebih endes atau lezat.

Suatu ketika kami memelihara lele di kolam ikan belakang rumah. Karena punya peliharaan sendiri tentu kami sangat sering mengolah ikan-ikan berkumis ini menjadi hidangan beraneka rupa. Kadang dibuat sambal lele dengan cabai merah, lele santan bumbu ketumbar, atau dipepes dengan daun kemangi dan bumbu yang gurih.

Cara memasak dengan pepes menjadi alternatif jika merasa ingin membuat kreasi masakan tanpa menggunakan minyak. Sebab di dalam tubuh ikan sendiri hakekatnya menyimpan minyak yang fungsinya juga menambah aroma lebih gurih.

Dengan bumbu-bumbu yang sudah dipersiapkan, ikan lele yang sudah dibersihkan tersebut dibungkus dengan daun pisang, kemudian dikukus sampai matang. 

Lewat cara ini masakan lele ternyata tak kalah lezatnya. Bahkan rasa daging lele benar-benar sangat mendominasi dibandingkan dengan digoreng atau diolah dengan cacra berbeda. 

Sedangkan bagi anak-anak muda, lele-lele tersebut biasanya dibakar dengan bumbu seadanya. Rasanya juga tak kalah gurihnya.

Yang pasti, minyak makan atau minyak goreng adalah bahan dasar yang wajib ada dalam kegiatan masak memasak. Apalagi bagi pelaku usaha yang kebanyakan bergerak di bidang usaha kuliner, dengan menggunakan minyak makan sebagai salah satu bahan pengolahnya. 

Mereka akan sangat merasakan kelangkaan ini. Tapi bagi ibu-ibu yang sudah terbiasa dengan barang langka, tidak mau larut dalam kepusingan dan kebingungan karena minyak makan hilang dari pasaran, karena ada banyak cara yang dilakukan agar bahan makanan sehat itu tetap bisa diolah dan dinikmati dengan lezatnya.

NB: Semoga harga minyak makan seperti harga semula, agar beban kebutuhan anggaran belanja tidak membengkak. Kenapa? Sebab gaji pun hanya pas-pasan. 

Jika harga bahan pokok melonjak sedangkan gaji tidak ada perubahan, tentu kita semua akan merasakan susahnya juga.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun