Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membangunkan Geliat Gotong Royong yang Mulai Pupus

10 Juli 2020   08:24 Diperbarui: 10 Juli 2020   19:26 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan gotong royong memperbaiki rumah penduduk (Dokumentasi pribadi)

 

Suatu ketika, tetangga menyambangi rumah, ia meminta tolong saya untuk membantu memperbaiki rumahnya yang mulai rusak. Sebagian kayu-kayu atap sudah lapuk. Tanpa beribu tanya, saya pun mengiyakan.

Di pagi harinya, saya mendapati puluhan orang sudah berada di rumah tetangga yang kebetulan di samping rumah. Orang-orang yang biasanya sibuk bekerja di sawah atau pekerja bangunan, ternyata mereka mau meluangkan waktu untuk sama-sama membantu tetangganya memperbaiki rumah yang mulai menua itu.

Dalam benak saya, saya kira gotong royong sudah tidak ada lagi, karena setiap orang sudah merasa mampu untuk melakukan sendiri. Ternyata anggapanku keliru, karena seperti apa yang saya lihat, di antara mereka masih mau meluangkan waktu membantu tetangganya yang tengah butuh bantuan.

Selama ini, dalam kaca mata saya, setiap orang menilai kehidupan ini semata-mata karena uang. Yap. Uang di abad ini adalah segala-galanya. 

Apapun saat ini sepertinya dinilai dengan uang, tidak ada yang namanya free alias gratis. Tidak hanya pada pekerjaan besar yang mesti mengeluarkan fulus yang besar pula, karena pekerjaan kecil pun sudah dikomersialkan. 

Lihat saja, ketika Anda ingin ke toilet, Anda harus membayar minimal seribu rupiah. Padahal sebelum-sebelumnya kalau sekedar pipis saja bisa gratis, apalagi di dalam fasilitas umum.  

 

Kegiatan gotong royong dalam memperbaiki rumah penduduk (Dokumentasi pribadi)
Kegiatan gotong royong dalam memperbaiki rumah penduduk (Dokumentasi pribadi)

Saat ini, banyak hal sudah dianggap menguntungkan. Jadi seolah-olah setiap orang akan berfikir bahwa tidak ada makan siang gratis. Padahal jiwa bangsa ini adalah jiwa penuh toleransi, tenggang rasa (tepo seliro) dan saling bantu-membantu atau gotong royong.

Ketika gotong royong masih tersisa
Gotong royong adalah aktivitas yang melibatkan banyak orang demi menyelesaikan persoalan di sekitar kita. Setiap orang bahu membahu membangun atau memperbaiki fasilitas umum atau pribadi sebagai bentuk saling tolong menolong di antara sesama masyarakat.

Sama seperti pada 1991, ketika orangtua bermigrasi dari satu kota ke sebuah perdesaan. Sejak awal kehadiran keluarga kami disambut dengan sangat baik oleh masyarakat di sana. 

Sukadana Ilir (Lampung Timur) kala itu masih sangat tertinggal dari segi pembangunan. Nampak rumah-rumah masih banyak yang geribik dan atap masih rumbia (alang-alang).

Namun yang membuat kami terkesan adalah meskipun kami adalah pendatang baru (dari kota) ternyata masyarakat di desa itu menerima kami dengan sangat ramah. Bahkan meskipun kami tidak mempunyai tempat tinggal karena harus membangun rumah dulu, kami mendapatkan tempat menetap sementara dari salah satu penduduk di sana.

Ada wajah penuh ketulusan yang memancar dari masyarakat desa itu. Dan kami yakin, kala itu, di semua desa masih hidup rukun dan menjaga sikap toleransi dengan sesama warga.

Ketika kami memulai pondasi rumah, hampir semua masyarakat sekitar membantu membangunkan rumah kami tanpa meminta bayaran sepeser pun. Padahal jika mereka meminta upah pun sejatinya kami mampu membayar. 

Beruntungnya, penduduk sekitar sama sekali tidak meminta tarif atas tenaga yang mereka sumbangkan. Hanya kopi manis, jajanan sekadarnya dan makan siang dan sore setelah selesai bekerja. Itu semua dilakukan dengan ikhlas tanpa meminta balasan yang berupa materi tadi. 

Padahal jika dihitung menurut itung-itungan bu Mentri Keuangan kami harus mengeluarkan badget puluhan juta demi menyelesaikan rumah baru kami.

Itu untuk pekerjaan rumah yang ternyata nilai gotong royong dan kepedulian masyarakat masih terasa. Rasa-rasanya zaman itu setiap orang saling membutuhkan dan saling ingin membantu saudaranya.

Semangat gotong royong itu berlanjut tidak hanya ketika membangun rumah, karena di setiap lini kehidupan hampir tidak lepas dari sentuhan tangan-tangan bersih dari masyarakat desa. 

Semua ingin terlibat dalam pekerjaan meskipun tidak mendapat upah. Karena dalam pikiran mereka, kalau masih membantu dengan tenaga, maka tenagalah yang mesti dikeluarkan.

Selain pekerjaan rumah, dalam kegiatan bercocok tanam, merawat tanaman dan membangun fasilitas umum pun selalu menjadi perhatian masyarakat desa. Seperti ketika kami ingin menanam jagung, semua orang terlibat dalam kegiatan tersebut secara bergantian. 

Bahkan sampai panen, setiap orang bahu membahu turut membantu terselesainya pekerjaan itu. Nampaklah kebahagian terpancar dari wajah-wajah masyarakat desa.Wajah yang selalu merindukan semangat gotong royong di dalam kehidupan mereka.

Ketika Asa Membangunkan Semangat Gotong Royong Masih Terasa
Era saat ini, ketika semua serba modern dan dilakukan menggunakan mesin, ketika semua pekerjaan selalu memiliki target keuangan dan keuntungan yang besar, dan ketika setiap tetes peluh dianggap bernilai materi, rasa-rasanya sangat sulit membangun kembali semangat gotong royong.

Kondisi ini sebenarnya tidak keliru, karena zaman ini semua orang merasa memiliki kesibukan, pekerjaan dan aktivitas yang menuntut dikerjakan lebi cepat. Dan karena pekerjaan itu mereka mendapatkan upah yang terbilang cukup. 

Apalagi di zaman ini, setiap orang ingin memanfaatkan waktu yang ada dengan kegiatan yang menghasilkan uang, materi menjadi salah satu tujuan terpenting dalam aktivitas kehidupan manusia. 

Maka jangan heran, untuk mencari orang yang mau terlibat dalam pekerjaan kita saat ini amat sulit, lantaran mereka juga memiliki kesibukan yang sama. Jika didapati seseorang yang menganggur, hakekatnya para penganggur pun membutuhkan uang untuk bertahan hidup.

Satu sisi, semangat gotong royong ingin kita bangun kembali. Tapi di sisi lain, setiap orang memiliki kebutuhan dan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masing-masing.

Namun, ketika sedikit bergeser dari fakta kehidupan bahwa saat ini slogan "time is money" masih berlaku, nyatanya sekaya dan sehebat apapun kita, suatu saat membutuhkan sentuhan tangan orang lain.

Ketika orang yang memerlukan materi yang cukup pun, sejatinya tidak akan pernah lepas dari uluran tangan-tangan baik di sekitarnya. Uluran tangan-tangan dari hati yang ikhlas untuk saling membantu saudaranya.

Seperti ketika kita membanggakan materi yang seolah-olah bisa menolong kita kapanpun, nyatanya, uluran tangan orang lain masih sangat diperlukan. 

Fakta di lapangan, ketika seorang pengendara mobil mewah mengalami kecelakaan di jalan raya, apakah para korban bisa bangkit sendiri dan menuju rumah sakit untuk berobat? Kan tidak. Tentu orang-orang di sekitarnyalah yang bersedia membantunya untuk sekedar mengatarkan atau meneleponkan aparat kepolisian atau pihak medis bahwa terjadi kecelakaan dan ada korban jiwa.

Ini real, tidak ada yang bisa menjamin bahwa harta kita bisa menolong sepenuhnya kehidupan kita. Karena bukan harta yang menjaga kita, karena faktanya kitalah yang mati-matian yang menjaganya. Meskipun hakekatnya orang-orang yang pedulilah yang sebenarnya harta kita yang paling berharga.

Bergerak membantu kesusahan tetangga
Seperti apa yang saya sampaikan di awal tulisan ini, bahwa zaman dahulu, kita masih bisa menemui gotong royong di masyarakat kita. 

Masyarakat yang bahu membahu menolong orang-orang di lingkungannya meskipun tanpa dibayar sekalipun. Hanya air dan makanan ala kadarnya sebagai pendukung gerak tubuh di kala bekerja.

Seperti kemarin, lingkungan kami bergerak membantu salah satu masyarakat yang ingin memperbaiki rumah mereka. Meskipun hakekatnya tidak ada satu orang pun yang dalam kondisi menganggur, lantaran setiap orang harus bekerja untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.

Namun, di sini semangat untuk gotong royong nampaknya masih terasa, setiap orang tergerak untuk mengulurkan tangannya demi menyelesaikan pekerjaan tetangganya sendiri.

Karena hakekatnya setiap pekerjaan itu akan terasa lebih ringan jika diselesaikan dengan bersama-sama. Di satu sisi mengurangi biaya pekerjaan, di sisi lain mengikat simpul masyarakat yang berbudaya. Masyarakat Indonesia yang sejak nenek moyang diciptakan saling membantu saudaranya. Meskipun harus mengorbankan waktunya sendiri, nyatanya setiap orang suatu saat pasti membutuhkan batuan orang lain.

Semoga saja, nafas budaya dari tanah negeri ini selalu ada dan tak terkikis oleh modernisasi dan komersialisasi di segala bidang. Sehingga bangunan bangsa yang berdiri kokoh saat ini tidak ambruk hanya karena hal-hal yang bersifat kepentingan individual dan materi semata.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun