M. Alfahrezi Phonna
NIM. 240802123
Email: 240802123@student.arraniry.ac.id
Prodi Ilmu Administrasi Negara
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh.
Dosen Pengampu: Sri Mawaddah, M.A.
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh.
Abstract
This article discusses the scholars' discussion on the strength of hadith qauli and hadith fi'li as sources of law. In the study of hadith science, hadith is placed as the second source of law after the Qur'an, and has an important position for Muslims as a guide and foundation of values in behavior. Hadith includes the words, deeds, decrees, and moral and physical characteristics of the Prophet. In the context of the study of hadith science, there is still discussion and scholars are not unified in determining the strength or quality of qauli hadith with fi'li hadith as a source of law. This article is written with a conceptual approach whose data is obtained from the literature, by means of a book survey. The results of the discussion and analysis show that there are three groups in the discussion about the strength of the qauli and fi'li traditions of the Messenger, namely the inkar sunnah group which only considers the legality of the unwritten fi'li traditions of the Messenger as a source of law. Then the majority of scholars view the quality and power of the qauli and fi'li traditions as equal. While a small number of scholars consider the fi'li hadith to be no stronger than the qauli hadith as a source of law.
Keywords: Hadith Science, Hadith Strength, Qauli and Fi'li Hadith, Legal Basis.
Abstract
Artikel ini membahas tentang diskusi para ulama mengenai kekuatan hadis qauli dan hadis fi'li sebagai sumber hukum. Di dalam kajian ilmu hadis, hadis ditempatkan sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran, serta memiliki kedudukan penting bagi umat Islam sebagai pedoman dan landasan nilai di dalam berperilaku. Hadis mencakup perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat akhlak dan fisik Rasulullah Saw. Dalam konteks kajian ilmu hadis, masih ada diskusi dan ulama belum padu dalam menetapkan kekuatan atau kualitas hadis qauli dengan hadis fi'li sebagai sumber hukum. Artikel ini ditulis dengan pendekatan konsep yang datanya diperoleh dari kepustakaan, dengan cara survei book. Hasil pembahasan serta analisis bahwa terdapat tiga kelompok dalam diskusi tentang kekuatan hadis qauli dan fi'li Rasul Saw, yaitu kelompok inkar sunnah yang hanya memandang legalitas hadis fi'li Rasul yang tidak tertulis sebagai sumber hukum. Kemudian kelompok jumhur ulama memandang kualitas dan kekuatan hadis qauli dengan hadis fi'li sama. Sementara sebagian kecil ulama menilai hadis fi'li tidak lebih kuat dari hadis qauli sebagai sumber hukum.
Kata Kunci: Ilmu Hadis, Kekuatan Hadis, Hadis Qauli dan Fi'li, Dasar Hukum
PENDAHULUAN
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang secara hierarkis menempati posisi kedua setelah Alquran. Hadis juga merupakan salah satu sumber hukum Islam memiliki peran penting dalam memberikan arahan bagi cara berbuat dan bertingkah laku kepada umat Muslim. Menimbang posisinya yang begitu penting, maka pemahaman terhadap konsep hadis, bentuk atau jenisnya, serta pemahaman terhadap kualitas serta kekuatan hadis menjadi sangat penting untuk dipahami oleh umat Islam.
Secara konseptual, makna hadis bukan hanya dipahami dalam bentuk perkataan Nabi Muhammad Saw (qauliyyah) namun mencakup pula perbuatan (fi'liyyah), ketetapan (taqririyyah), serta sifat nabi sebagai makna hadis yang umum diketahui menjadi sumber utama hadis nabi yang tersebar dewasa ini. Hadis merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki kedudukan tinggi setelah Alquran. Di dalam tradisi keilmuan Islam hadis dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan bentuknya, di antaranya hadis qauli (ucapan Nabi Muhammad Saw) dan hadis fi'li (perbuatan Nabi Muhammad Saw). Dua bentuk hadis ini berperan besar dalam proses pengambilan hukum Islam (istinbath al-ahkam), namun terdapat perbedaan tingkat kekuatan/kualitas dan implikasi hukumnya bagi pengambilan hukum dari hadis Nabi Saw.
Hadis qauli merupakan seluruh hadis yang diucapkan Rasulullah Saw di berbagai kesempatan dan untuk berbagai tujuan. Dalam konteks hukum, maka yang dimaksud dengan hadis qauli adalah seluruh perkataan Rasulullah Saw yang dapat dijadikan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum syarak. Adapun hadis fi'li ialah seluruh perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, yang sifatnya dapat dijadikan contoh teladan, dalil untuk penetapan hukum syarak atau pelaksanaan satu ibadah. Dalam hal ini hadis qauli sering dianggap memiliki kejelasan yang lebih tinggi dalam upaya menetapkan hukum, karena berupa pernyataan eksplisit dari Nabi Saw. Dalam berbagai disiplin ilmu seperti fikih dan usul fikih, hadis qauli ini digunakan sebagai dasar hukum dalam menetapkan kewajiban, larangan, maupun rekomendasi dalam kehidupan umat muslim. Sementara, hadis fi'li memberikan wawasan mengenai praktik Rasulullah Saw yang menjadi teladan bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah dan muamalah.
Namun, di dalam sejarah pemikiran Islam, para ulama memiliki pandangan yang beragam mengenai kekuatan hadis qauli dan fi'li. Perbedaan ini muncul karena hadis fi'li kadang tidak memberi indikasi yang jelas apakah perbuatan Rasulullah Saw dilakukan sebagai bagian dari kebiasaan budaya atau sebagai tuntunan hukum yang bersifat wajib atau sunnah. Oleh karena itu, dalam analisis hukum Islam, perlu ada kajian mendalam mengenai metodologi pemahaman dan penerapan kedua bentuk hadis ini.
Kajian terhadap hadis qauli dan fi'li menjadi semakin penting dalam konteks masa kontemporer, di mana berbagai isu-isu keagamaan dan sosial sering kali membutuhkan rujukan hukum Islam yang kuat. Misalnya, di dalam persoalan ibadah seperti shalat atau puasa, hadis fi'li memainkan peran penting dalam memberikan contoh konkret tentang bagaimana Nabi Saw melaksanakan ibadah tersebut. Sementara itu, dalam aspek sosial seperti muamalah dan kepemimpinan, hadis qauli sering kali menjadi landasan normatif yang lebih eksplisit. Dalam konteks ini pula, metodologi penafsiran hadis juga berperan penting dalam menentukan kekuatan hadis di dalam pengambilan hukum. Ulama Usul Fikih maupun Ulama Hadis telah mengembangkan berbagai metode dalam memahami hadis qauli dan fi'li, termasuk pendekatan mafhum mukhalafah (pemahaman tersirat pada teks) dan taqyid wa takhsis (pembatasan dan spesifikasi hukum). Dengan adanya metode pemahaman terhadap kekuatan hadis qauli dan hadis fi'li, maka hadis tidak hanya dilihat secara tekstual tetapi juga kontekstual, sehingga memberikan pemahaman hukum yang lebih akurat dan relevan dengan perkembangan zaman. Selain itu, tingkat keberlanjutan dan kesinambungan suatu hadis dalam praktik umat Islam dewasa ini menjadi indikator kekuatannya dalam pengambilan hukum.
Hadis qauli dan fi'li yang terus diamalkan sepanjang sejarah Islam dapat menjadi bukti bahwa suatu perbuatan memiliki landasan hukum yang kuat. Sebaliknya, apabila suatu hadis qauli dan fi'li hanya ditemukan dalam beberapa riwayat terbatas serta tidak diamalkan secara luas, maka kekuatannya di dalam pengambilan hukum perlu ditinjau lebih lanjut. Peran hadis dalam pengambilan hukum Islam juga tidak terlepas dari aspek otentisitasnya. Ulama hadis melakukan upaya verifikasi ketat terhadap setiap hadis yang digunakan sebagai sumber hukum. Oleh karena itu, baik hadis qauli maupun fi'li harus melewati proses seleksi berdasarkan kaidah sanad (rantai perawi) dan matan (isi hadis) agar dapat dijadikan hujjah yang valid dalam hukum Islam. Sebab, dalam ragam diskusi mengenai kualitas dan kekuatan hadis qauli dan fi'li, masih menyisakan persoalan, yaitu adakalanya dalam satu persoalan hukum, hadis qauli lebih diunggulkan ketimbang hadis fi'li, dan sebeliknya dalam keadaan tertentu dan kondisi hukum tertentu, hadis fi'li justru harus diunggulkan dari pada hadis qauli, baik dalam persoalan ibadah maupun di dalam bidang muamalah secara umum.
Diskusi mengenai kekuatan hadis qauli dan fi'li di dalam pengambilan hukum ini tidak hanya bersifat akademis tetapi juga mempunyai implikasi praktis bagi umat Islam dalam memahami hukum agama. Dengan memahami perbedaan dan kekuatan antara hadis qauli dan fi'li, ummat Islam dapat lebih bijak di dalam mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan yang benar dan otentik. Dalam tulisan ini, akan dianalisis secara mendalam bagaimana hadis qauli dan fi'li berkontribusi di dalam pengambilan hukum Islam serta sejauh mana kekuatan masing-masing hadis dapat dijadikan dasar hukum. Atas dasar itu, artikel ini hendak mengulas bincang dan bersifat analitis terkait kekuatan hadis qauli dan hadis fi'li dalam pengambilan hukum.
METODE DAN DATA
Dalam artikel ini, metode yang digunakan ialah metode kualitatif, sementara itu pendekatan yang digunakan ialah conceptual approach, yaitu pendekatan di mana masalah yang diteliti didekati dengan teori-teori dan konsep-konsep, yang tujuannya ialah untuk dijadikan dasar analisis ataupun batu pijak dalam menganalisis permasalahan penelitian.Adapun jenis penelitian ini termasukpenelitian kepustakaan (liberary research) yang mana data diperoleh melaluisurvei books, dengan menelusuri buku-buku, kitab yang memberi penjelasan terhadap permasalahan yang dibahas di dalam artikel ini.
PEMBAHASAN
A.Konsep Hadis
Hadis memiliki kedudukan penting bagi umat Islam, yakni sebagai landasan nilai di dalam berperilaku. Tidak sebatas itu, hadis dalam posisinya sebagai sumber hukum, juga menjadi penjelas Alquran, penguat, pembatas dan penentu hukum Islam. Karena itu, pemahaman terkait konsep hadis sangat penting. Untuk memahami konsep hadis, maka pada pembahasan ini akan dikemukakan peristilahannya, berikut dengan bentuk-bentuk hadis dari sisi penyampaiannya dari Rasulullah Muhammad Saw.
Secara etimologi/lughawi, hadis sering diidentikkan dengan makna sunnah, secara bahasa bermakna jalan yang dilalui baik terpuji maupun tercela. Termasuk didalamnya tradisi yang telah dipraktikkan, meskipun tidak baik. Sementara makna sunnah dalam konteks ilmu hadis yaitu segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat, perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw. Makna sunnah juga sering disandingkan dengan makna hadis, secara bahasa berarti baru. Ada juga yang memaknainya sebagai sesuatu yang dibicarakan dan dinukil atau dikutip, atau sesuatu yang sedikit maupun banyak.
Menurut definisiterminologi/ishtilahiterdapat beberapa makna hadis yang diulas oleh para ulama. Di antaranya dipahami dari definisi yang dikemukakan oleh Mahmud Thahhan, bahwa hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw,[1] baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (diamnya), maupun sifatnya.[2] Definisi ini umum dipahami dalam ilmu hadis, dan banyak ulama yang menjelaskan definisi serupa dalam kitab ilmu hadis yang mereka tulis. Dalam penjelasan Nuruddin 'Atar, bahwa makna hadis secara istilah juga memiliki kesamaan dengan makna khabar dan atsar. Atas dasar itu Nuruddin 'Atar menyebutkan bahwa ulama ahli hadis (muhaddisin) memahami makna hadis, atsar, dan khabar dalam makna yang sama. Hal ini dapat dipahami dalam penjelasan berikut:
Â
: : : .[3]
Intinya: Ketiga istilah ini yaitu, istilah hadis, khabar dan atsar, digunakan oleh para Muhadditsin dalam arti yang sama yaitu: Apa-apa yang dinisbatkan/disandarkan pada Nabi (saw) melalui perkataan, perbuatan, ketetapan (diamnya), karakteristik moral atau etika, atau yang disanarkan kepada para sahabat atau tabi'in. Â
Penjelasan makna hadis tersebut telah digeneralisasi kembali oleh Ibn Ma'n Al-Quraizhi, yaitu sebagai berikut:
1.Maknahadis yang disandarkanpada Nabi Muhammad Saw berbentuk perkataan (qauli), yaitu sunnah lisan, misalnya hadis qauli yang menyebutkan mengenai amal perbuatan tergantung pada niat (innamal a'mal binniyat).
2.Maknahadis yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw berbentuk perbuatan (fi'li),yaitu sunnah fi'liyyah (perbuatan), seperti perbuatan Nabi Muhammad Saw yangmenyukai dabba', termasuk sunnah fi'liyyahbahwa Nabi Saw meriwayatkan menyangkut perbuatan-perbuatan dalam salat, perbuatan-perbuatan dalam zakat dan perbuatan dalam puasa, dan perbuatan-perbuatan dalam haji, yang semuanya itu termasuk dalam sunah fi'liyyah.
3.Maknahadis yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw berbentuk ketetapan (taqrir), yaitusunnah taqririyyah, yaitu di ketika suatu perbuatan terjadi di hadapan Nabi Saw atau pada masa beliau lalu turun wahyu dan Nabi Saw menyetujui, lalu kemudian wahyu menyetujuinya, tidak mengingkari atau mengubahnya, maka hal itu menjadi ketetapan hukum atas perbuatan tersebut.
4.Maknahadis yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw yang berbentuk shifah khuluqiyyah, yaitu semua akhlak dan kepribadian dari Rasulullah Saw. Misalnya di dalam riwayat Aisyah ra., yang ditanya tentang akhlak Rasulullah Saw, dan Asiyah pun menjawab bahwa akhlaknya Nabi adalah Alquran.
5.Maknahadis yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw yang berbentuk shifah khalqiyyah, yaitu sifat atau bentuk fisik Rasululllah Saw,tidak tinggi dan tidak pula pendek, jika beliau berdiri di antara orang-orang yang tinggi, beliau lebih tinggi dari mereka, dan beliau mempunyai wajah yang putih, wajahnya bagaikan cahaya rembulan. Artinya sifat khalqiyyah berkenaan dengan sifat-sifatciptaan Allah Swt.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa dari sisi penyampaiannya, hadis memiliki minimal lima bentuk, yaitu hadis qauli, hadis fi'li, hadis taqrir, hadis sifat khuluqiyyah, hadis sifat khalqiyyah. Makna hadis seperti ini sebetulnya merupakan konsep yang dikembangkan oleh ulama ahli hadis. Sebab, ahli hadis menganggap semua aspek yang ada di dalam diri Nabi dan berasal dari Nabi, baik perkataan hingga sifat fisiknya, maka semuanya dianggap sebagai hadis, sehingga dianggap ibadah sekiranya seseorang (muslim) mengikutinya. Namun demikian, berbeda dengan pandangan ahli fikih, yang hanya berhubungkan makna hadis yang punya relasi kuat dengan hukum syarak, selain itu hadis dipahami hanya pada masa setelah kenabian saja.[1]
Â
Muhammad 'Ajjaj Al-Khathib sebagaimana dikutip Manna' Al-Qaththan, makna hadis menurut ahli fikih dan ushul fikih adalahperkataan, perbuatan, penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah Saw setelah kenabian. Adapun sebelum kenabian, tidak dianggap sebagai hadis, karena yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekwensinya, dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. Menurut Raghib Al-Sirjani, sunnah nabawiyyah atau hadis di dalam pengertian umumnya adalah semua yang meliputi perkataan, perbuatan, dan juga ketetapan Nabi Muhammad. Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh Al-Qaradhawi bahwa sunnah atau hadis mencakup semua perkataan, perbuatan serta ketetapan Rasul Saw.Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hadis pada dasarnya semua aspek yang ada di dalam diri Rasulullah Saw, yang dapat diidentifikasi dan diperoleh dari perkataan dan perbuatan, maupun ketetapan dan sifat-sifat yang terdapat pada akhlak dan dalam fisik Rasulullah Saw.Â
Berdasarkan konsep hadis di atas, maka para ulama membagi hadis yang terkait langsung dengan sumber hukum umat Islam ke dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu hadis qauli, hadis fi'li, dan hadis taqriri.
1.Hadis Qauli
Hadis qauli adalah hadis yang berkaitan dengan perkataan atau lisan dari Nabi Muhammad Saw. Hadis qauli juga disebut dengan hadis perkataan Nabi Saw.[1]Padakonteks ini, terdapat banyak hadis qauli yang tersebar di dalam berbagai kitab hadis, bahkan dapat dikatakan hadis-hadis yang dimuatdi di dalam kitab hadis (Al-Bukhari, Muslim, Abi Dawud dan lainnya) umumnya di dalam bentuk hadis qauli. Di antara contoh hadis qauliialah terkait perkataan Rasulullah yang menyebutkan bahwa amal perbuatan itu tergantung niat. Kemudian perkataan Rasulullah Saw., yang memberi informasi tentang keadaan air laut yang suci arinya, dan halal bangkai ikan yang ada di dalamnya. Â
2.Hadis Fi'li
Hadis fi'li ialah hadis yang berkaitan dengan perbatan atau tindakan dari Nabi Muhammad Saw. Hadis fi'li ini disebut juga dengan hadis perbuatan Nabi Saw. Pada konteks ini, hadis-hadis yang memberi informasi tentang perbatan Rasulullah dalam berbagai kegiatan, semuanya termasuk dalam hadis fi'li. Hadis fi'liialahsegala suatu yang disandarkan kepada Nabi Saw berupa perbuatannyayang sampai kepada kita.[1] Contoh hadits fi'limengenai shalat adalah sabda Nabi Saw yang memberi penjelasan tentang perintah untuk shalat sebagaimana Rasulullah shalat. Misalnya, hadis-hadis yang membicarakan tentang tata cara Rasulullah Saw dalam shalat, seperti bertakbir awal shalat, tindakan Rasulullah Saw dalam mengangkat tangan saat takbir, tata cara pada saat membaca ayat, rukuk, sujud, serta lainnya. Begitu juga perbuatan-perbatan Nabi Muhammad Saw mengenai tata cara berwuduk, dan tata cara manasik haji dan perbuatan Nabi Saw lainnya. Â
3.Hadis Taqriri
Hadis taqriri adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah Saw berbentuk ketetapan Nabi. Hadis taqririadalah diamnya Rasul Saw,dari mengingkari perkataan atau perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau ataupun pada masa beliau serta hal tersebut diketahuinya. Hal tersebut adakalanya dengan penyataan persetujuan beliau atau penilaian baik dari beliau, atau tidak adanya pengingkaran beliau dan pengakuan beliau.Perkataan atau perbuatan Sahabat yang diakui atau disetujui oleh Rasul Saw, hukumnya sama dengan perkataan atau perbuatan Rasul Saw sendiri. Demikianjuga taqrir terhadap ijtihad sahabat dinyatakan sebagai hadis ataupunsunnah seperti taqrirRasul Saw terhadap ijtihad para sahabat tentang pelaksanaan shalat asar pada waktu penyerangan kepada Bani Quraizah, berdasarkan sabda beliau yang dimuat di dalam riwayat hadis.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa hadis dari sisi penyampaian di dalam diri Rasulullah, atau penerimaan hadis dari cakupan makna hadis mempunyai 3 (tiga) bentuk umum, yaitu perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah Saw. Namun dari aspek lain, bukan berarti sifat akhlak dan sifat fisik tidak termasuk dalam maksud hadis. Sifat fisik dan sifat akhlak Nabi Saw juga disebut hadis, akan tetapi yang terkait langsung dengan sumber rujukan hukum, maka umumnya ialah berasal dari perkataan atau lisan Rasulullah Saw yang memberi informasi hukum, kemudian perbuatan Nabi Saw, dan ketetapan Rasulullah Saw terhadap suatu masalah hukum.
A.Kekuatan Hadis Qauli dan Fi'lisebagai Dasar Islam
Secara konseptual, kedudukan di antara hadis qauli maupun hadis fi'li mempunyai posisi yang sama-sama setara, artinya keduanya dijadikan sebagai sumber dan landasan dalam berhukum. Hanya saja, terdapat diskusi yang cukup alot dalam menilai masalah hukum yang dasar hukumnya pada hadis qauli dan hadis fi'li. Di dalam hal ini, sebagian pakar, menyatakan bahwa kekuatan satu hadis yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum hanyalah dalam bentuk hadis fi'li, hadis fi'li ini sendiri hanyalah dalam bentuk perbuatan yang tidak dibukukan dalam bentuk kitab hadis. Hal ini misalnya dikemukakan Ahmad Shubhi Manshur, dan para tokoh pengingkar sunnah (inkar sunnah) lainnya. Pengertian hadis atau sunnah menurut mereka hanyalah praktik syariat yang dilakukan Nabi Saw, sehingga tidak memasukkan makna hadis dalam bentuk qauli atau perkataan Rasulullah Saw.Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa kekuatan hadis hanya berbentuk fi'li Rasulullah Saw, dan hadis fi'li yang dimaksud bukanlah hadis fi'li yang telah tertulis dalam kitab-kitab hadis, akan tetapi perbuatan hanya yang diamalkan oleh Rasulullah yang tidak dicantumkan dalam kitab-kitab hadis.
Pendapat di atas tentu mempunyai kontradiksi serta bersifat ambigu, karena tidak mungkin suatu fi'li Rasulullah Saw yang tidak dibukukan. Pasti semua perbuatan Nabi Muhammad Saw yang sampai kepada umat Islam saat ini, semuanya terekam di dalam kitab-kitab hadis. Oleh karena itu, kekuatan hadis yang hanya melihat pada hadis fi'li di dalam diri Rasulullah Saw cenderung kurang relevan dengan makna hadis yang dimuat dan dipahami oleh kalangan ulama hadis maupun ulama fikih.
Berbeda dengan pandangan di atas, jumhur ulama hadis maupun ulama fikih atau fukaha justru menilai kekuatan hadis qauli maupun hadis fi'li sama-sama kuat. Sekiranya suatu masalah hukum hanya ditetapkan dalam bentuk fi'liyah Nabi, maka kedudukannya sama dengan hadis qauliyyah Nabi. Jika ada indikasi dari perbuatan atau perkataan Nabi yang mengisyaratkan anjuran yang kuat, maka memberi indikasi wajib. Sementara, jika terdapat perbuatan atau tindakan Nabi, atau perkataan Nabi yang memberikan indikasi anjuran atau perintah untuk meninggalkan, maka hal tersebut memberi indikasi haram. Abdu Majid Khon menyatakan bahwa para ulama (maksudnya jumhur ulama hadis dan ulama fikih) tidak membeda-bedakan di antara sunah atau hadis qawliyyah dan amaliyahatau fi'liyyah asalkan sama shahih.
Berbeda dengan pandangan di atas, ada pula ulama, seperti Ibn Hazm Al-Zahiri yang berpendapat bahwa hadis qauli lebih kuat ketimbang hadis fi'li. Artinya, sekiranya terdapat hadis qauli yang memuat perintah maka ia bermakna wajib untuk dilaksanakan. Sementara jika ada hadis fi'li berupa perbuatan yang dilakukan Rasulullah Saw dan tidak didukung dengan hadis qauliyah maka hukumnya hanya sebatas sunnah.
Terkait dengan pandangan yang ketiga, sebagaimana dikemukakan Ibnu Hazm, dalam pendapatnya menyebutkan bahwa kekuatan hukum yang berasal dari perbuatan Nabi hanya sebatas sunnah, bukan wajib.
: . .[1]
Â
Pada perbuatan: Dan perbuatan-perbuatan dari Nabi Muhammad Saw itu menunjukkan pada hukum sunnah, bukan hukum wajib. Kecuali ada petunjuk yang menunjukkan adanya perintah di dalamnya.
Â
Pendapat ini juga dikemukakan oleh ulama kalangan Malikiyyah, bahwa kualitas atau kekuatan hadis fi'li itu hanya mengarah pada sesuatu yang disunnahkan dan bahkan dalam beberapa keadaan hanya dalam bentuk yang mubah.Contohnya adalah tentang hadis fi'li di mana Rasulullah Saw pernah mengadakan walimah al-'ursypesta perkawinan dalam perkawinan. Rasulullah Saw., memberikan contoh dengan perbuatannya, bahwa pernikahan Rasul Saw juga dilakukan dengan adanya walimah al-'ursy. Salah satu riwayat hadisnya merujuk kepada riwayat hadis Muslim dari Abi Bakar bin Abi Syaibah, intinya menyatakan bahwa Rasulullah Saw mengadakan walimahatau pesta pernikahan dengan kurma susu kering dan minyak samin, lalu dibentangkannya tikar yang terbuatdari kulit di atas tanah, dan dihidangkan susu kering dan minyak samin maka orang-orang merasa kenyang pada waktu itu.Hadis lainnya adalah riwayat al-Bukhari dari Muhammad bin Yusuf yang intinya menyebutkan bahwa Rasulullah Saw mengadakan walimah terhadap sebagian dari isteri-isterinya, yakni dengan dua Mud gandum. Kedua riwayat ini pada dasarnya menyebutkan hadis fi'li Rasulullah Saw mengenai pelaksanaan pesta di dalam pelaksanaan pernikahan.
Dilihat dari kekuatan hadis, maka hadis fi'li tersebut tidak dapat dihukumi wajib, artinya melaksanakan walimah ursy---meski Rasulullah Saw melaksanakannya---adalah tidak wajib, melainkan sunnah. Kecuali ada dalil hadis qauli yang memberikan ketetapan perintah wajib. Jika hanya merujuk pada dua hadis fi'liyyah di atas, maka hukum walimah al-'urstidaklah wajib. Sebab perbuatan (fi'liyyah) nabi tidak bisa dijadikan landasan untuk menghukumi wajib, tetapi hanya sekedar sunnah.
Mengikuti pendapat tersebut, maka dua hadis fi'liyyah atau perbuatan Rasulullah Saw yang melaksanakan walmah al-'urs seperti telah disebutkan di atas pada prinsipnya tidak mengandung makna wajib. Artinya, hanya dengan menggunakan dua dalil sunnah fi'liyyah terakhir tidak dapat menjadi hujjah hukum wajib melaksanakan walmah al-'urs. Akan tetapi, ada petunjuk dalil sunnah lainnya yang mengandung makna perintah, yaitu riwayat Muslim. Oleh sebab itulah, masalah pelaksanaan walmah al-'urs di samping ada perbuatan Rasul Saw, juga didukung dengan hadis qauliyyah-nya yang memerintahkan walimah al-'urs.
Demikian juga di dalam konteks hadis fi'li Rasulullah mengenai shalat. Mengikuti konsep awalnya, maka jika shalat hanya merujuk kepada praktik Rasulullah Saw, tanpa ada dukungan dalil hadis qauli, apalagi dalil Alquran, maka shalat belum tentu dihukumi wajib, tetapi kemungkinan bisa dihukumi sunnah. Namun, karena ada beberapa hadis qauli Rasulullah Saw yang memerintahkan shalat secara langsung melalui lisannya, serta didasari pula oleh dalil pokok dalam Alquran yang memerintahkan untuk mendirikan shalat (aqimu al-shalah: dirikanlah shalat), maka hukum shalat adalah menjadi wajib bagi umat Islam sebab didukung dengan hadis qauli.
Mengacu kepada uraian di atas, dapat dipahami bahwa kedudukan dan kekuatan hadis qauli lebih kuat ketimbang hadis fi'li. Contoh lainnya adalah hadis fi'li Rasulullah Saw yang menikahi lebih dari empat istri (dalam beberapa catatan ada yang menyebut hingga 9 istri, ada juga yang menukilkan 10, 11, 12, 13 hingga 15 istri). Perbuatan atau fi'liyyah Rasulullah menikahi perempuan lebih dari empat tidak berlaku bagi umat Islam, sebab terdapat batasan dalam beberapa hadis qauli Nabi maupun dalam Alquran yang hanya membatasi hanya empat istri. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa ketentuan hadis fi'li tidak lebih kuat dari hadis qauli. Dengan kata lain, hadis qauli di dalam konteks sumber hukum Islam lebih kuat dibandingkan dengan hadis qauli.
PENUTUP
Mengacu kepada uraian di atas, maka dapat disimpulkan; Pertama, bahwa sunnah atau hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Alquran. Hadis dalam peristilahan ulama dipahami sebagai semua yang berasal dari Nabi Saw, baik berupa perkataan atau perbuatan, ketetapan, maupun berupa sifat fisik maupun sifat akhlak Rasul Saw. Kedua, para ulama masih berbeda pandangan mengenai kekuatan hadis qauli (perkataan Nabi) dengan hadis fi'li (perbuatan Nabi) sebagai sumber hukum. Secara umum, ada tiga peta kelompok pemahaman mengenai kekuatan kedua hadis tersebut. Sebagian menyatakan bahwa memandang legalitas hadis fi'li Rasul yang tidak tertulis sebagai sumber hukum. Pandangan ini berasal dari kelompok inkarsunnah. Kemudian kelompok jumhur ulama memandang kualitas dan juga kekuatan hadis qauli dengan hadis fi'limemiliki leval yang sama. Sementara sebagian kecil ulama menilai hadis fi'li tidak lebih kuat dari hadis qauli sebagai sumber hukum. Hadis fi'li terkadang tidak dapat diamalkan kecuali jika adanya dukungan atau petunjuk dari dalil hadis qauli.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern di dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2012.
Abi 'Abdillah Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Riyad: Bait Al-Afkar Al-Dauliyyah Linnasyr, 1998.
Abi al-Hasan al-Tibrizi, Al-Kafi fi Ulul Al-Hadis, Yordania: Dar al-Asariyyah, 2008.
Abu Al-Husain Muslim Al-Hajjaj Al-Qusyairi, Shahih Muslim, Riyad: Dar Al-Salam, 2000.
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Amanda Rizkia Annur, dkk., "Hadis Sebagai Ajaran dan Sumber Hukum Islam". Jurnal Religion: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya". Vol. 1, No. 2, 2023, 550-558: diakses melalui situs: https://maryamsej ahtera.com/index.php/Religion/index, tanggal 15 Juni 2025.
Diakses melalui: https://www.google.com/search?q=++%3A++++++++%3, tanggal 15 Juni 2025.
Ibn Hazm Al-Andalusi, Nabzah Al-Kafiyyah fi Ahkam Ushuluddin, Tahqiq: Muhammad Ahmad Abd Al-Az'z, Beirut: Dar Al-Kutb Al-'Ilmiyyah, 1985.
Imanuddin, "Aktivitas Raslullh Saw di Ruang Domestik: Kajian Historis Peranan Rasulullah Saw dalam Membantu Tugas-Tugas Rumah Tangga", Jurnal Takammul: Jurnal Studi Gender dan Islam serta Perlindungan Anak, Vol. 11, No. 2, 2022, hlm. 13-27. Diakses melalui: https://jurnal.ar-raniry.ac.id/inde x.php/takamul/article/view/14713/pdf, tanggal 15 Juni 2025.
Mahmud Al-Thahhan, Taisir Mustalah Al-Hadis, Terj: Abu Fuad, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010.
Mahmud Syaltut, al-Islam: 'Aqidah wa Syari'ah, Mesir: Dar Al-Syuruq, 2001.
Manna' Al-Qaththan, Mabahis fi Ulum Al-Hadis, Terj: Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.
Muhammad Ibnu Sa'id Ibnu bin Ma'an Al-Quraizhi, Al-Mustashfa fi Sunan Al-Mushthafa, Beirut: Dar Al-Kutb Al-'Ilmiyyah, 2012.
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Nurlisma, "Hadits dan Sunnah: Naqd Ulum Al-Hadis". Azkia: Jurnal Aktualisasi Pendidikan Islam Vol. 19. No. 2, 2023, 53-62, https://doi.org/10.58645/jurnalazkia.v19i2.425, tanggal 15 Juni 2025.
Nuruddin 'Atar, Manhaj Al-Naqd fi 'Ulum Al-Hadis, Damaskus: Dar Al-Fikr, 1981.
Raghib Al-Sirjani, Maza Qaddam Al-Muslimun li Al-'Alam, Terj: Sonif, Masturi Irham dan Malik Supar, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019.
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata'amal Ma'a Asl-Sunnah Al-Nabawiyyah, Terj: Muhammad Al-Baqir, Bandung: Karisma, 1993.
Yusuf Al-Qaradhawi, Madkhal li Ma'rifah Al-Islam, Terj: Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI