Indonesia telah berkomitmen untuk mengakuisisi 60 drone TB3 angkatan laut, yang saat ini diproduksi secara lokal bekerja sama dengan produsen drone Turki Baykar dan perusahaan teknologi pertahanan Indonesia Republikorp---menunjukkan bahwa operasi kapal induk yang berpusat pada UAV sudah tertanam dalam strategi pengadaan Jakarta.
Dengan mengintegrasikan platform-platform ini ke dalam pusat kendali dan peluncuran terapung, TNI-AL dapat mencapai pengawasan terus-menerus, kemampuan tanggap cepat, dan peningkatan kewaspadaan domain maritim di perairan yang disengketakan---terutama di Laut Natuna/Laut China Selatan, bagian dari ZEE-nya yang berulang kali terjadi masalah dengan armada penangkap ikan dan milisi maritim Malyasia, Vietnam dan Tiongkok.
Dalam jumpa pers awal tahun ini, Kepala Staf TNI-AL Laksamana Muhammad Ali menyoroti kebutuhan operasional yang mendesak untuk kapal semacam itu, dengan menyatakan, "Tampaknya kita membutuhkan kapal induk untuk operasi militer non-tempur," seperti dikutip kantor berita pemerintah ANTARA.
Pernyataan ini diperkuat oleh Juru Bicara Kementerian Pertahanan Indonesia, Frega Wenas, yang menjelaskan bahwa platform tersebut terutama akan digunakan untuk mendukung logistik kemanusiaan, pengintaian udara, dan tanggap bencana maritim.
"Sebagai negara kepulauan yang sering dilanda bencana alam, kapal induk semacam itu akan berfungsi sebagai platform untuk mempercepat pengiriman bantuan secara lebih efektif," ujar Frega, seraya menekankan bahwa kapal tersebut bukan kapal induk serang konvensional, melainkan aset pendukung multiperan yang dirancang khusus untuk operasi STOVL dan helikopter.
Konsep ini mencerminkan doktrin maritim Turki yang terus berkembang dengan TCG Anadolu dan sejalan dengan tren global dalam memanfaatkan kapal induk ringan untuk misi yang berpusat pada drone, terutama di wilayah di mana kapal induk konvensional mahal atau sensitif secara politis.
Menurut publikasi pertahanan Jane's, sumber angkatan laut Italia juga mengindikasikan bahwa paket Garibaldi dapat mencakup kemungkinan transfer hingga 30 jet AV-8B Harrier II---yang masih beroperasi di beberapa angkatan laut dan mampu diluncurkan dari tempat peluncuran ski milik kapal induk---meskipun aspek ini masih bersifat spekulatif dan bergantung pada analisis kelayakan.
Kesepakatan tersebut, jika terealisasi, akan secara signifikan meningkatkan potensi serangan angkatan laut sayap tetap (FW) Indonesia dan menyediakan solusi kekuatan udara sementara hingga pesawat udara tempur tak berawak (UCAV) yang lebih canggih, seperti KIZILELMA atau MIUS milik Turki, tersedia untuk diekspor.
Dengan panjang 180,2 meter dan bobot penuh mendekati 14.000 ton, Garibaldi awalnya dilengkapi dengan sistem pertahanan udara termasuk rudal permukaan-ke-udara Albatros (Aspide) dan dua senjata Oto Melara 40 mm, meskipun perbaikan kemungkinan akan membuang sistem lama ini dan menggantinya dengan sensor dan modul perintah baru yang dioptimalkan untuk operasi pesawat tak berawak.
Kapal ini dapat dengan nyaman mendukung satuan udara campuran drone TB3, helikopter NH90 atau AW101, dan berpotensi platform tilt-rotor atau lift vertikal untuk logistik cepat, evakuasi medis, dan misi ISR* di seluruh kepulauan Indonesia dan sekitarnya.