Tata kelola global jelas mempengaruhi kepentingan semua negara. Dalam dunia yang berada dalam situasi bahaya sekarang, tidak ada negara yang bisa bertindak sendiri. Globalisasi telah menghubungkan kita jadi dekat satu sama lain. Jadi tata kelola global sekarang membutuhkan pemikiran baru dan konsep untuk membebaskan diri dari belenggu geopolitik. Harus diupayakan agar tata kelola global lebih bermanfaat untuk kondensasi konsensus global, untuk menghadapi berbagai tantangan yang komplek di dunia ini.
Mengapa upaya ini perlu dipikirkan dan dicari jalannya? Kejadian-kejadian di banyak belahan dunia yang memprihatinkan yang sedang berlangsung sekarang ini tidak boleh kita biarkan terus terjadi.....
Namun sebenarnya pada tahun 1990, politisi Jerman Willy Brandt pernah mengajukan konsep “tata-kelola global” dengan tujuan yang menaruh harapan dengan dibawah pengakuan nilai-nilai umum, dunia bisa menghindari konflik dan perang, dengan menggunakan “hukum untuk memerintah atau mengatur dunia,” ibaratnya seperti “hukum yang memerintah atau mengatur negara.”
Tapi setelah beberapa dekade telah lewat dan globalisasi juga telah meningkat, namun laju tata-kelola global belum juga ada kemajuan.
Pernyataan dan tindakan Presiden baru AS Donald Trump yang tampaknya cendrung ke arah proteksionisme perdagangan. Akan menjadi suatu yang sulit untuk tata kelola global. Demikian yang dikhawatirkan oleh banyak analis dan pengamat.
Dapat dikatakan banyak orang merasa kebingunan dan kehilangan sekarang, banyak yang kehilangan kepercayaan pada arah ekonomi global yang sedang berkembangan ini. Tidak lepas dari pengelola pemerintahan Indonesia sekarang yang harus terus memantau dari perkembangan yang akan diambil permerintah Trump dalam waktu-waktu dekat ini.
Pada 16 Januari 2017 lalu, Presiden Jakowi saat memberikan pengarahan pada rapim TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur juga minta TNI antisipasi atas perubahan militer AS di era Trump.
Selain itu juga menyinggung soal pentingnya memiliki platform perdagangan. Menurut dia, banyak negara sudah punya platform perdagangan masing-masing. Jokowi mengatakan Indonesia harus punya platform dengan identitas perdagangan Indonesia.
"Hampir semua negara sekarang ini menyiapkan platformnya masing-masing, ada ritel platform, logistik platform, yang kalau kita sendiri tidak memiliki platform yang asli Indonesia sangat sulit sekali mengendalikan arus barang,"
Para analis menghendaki agar antisipasi atas kebijakan ekonomi Trump yang cenderung anti-mainstream mengundang kekhawatiran akan berdampak buruk terhadap berbagai negara, termasuk Indonesia. CORE Indonesia menggaris-bawahi beberapa hal yang patut direspon secara tepat untuk mengantisipasi kebijakan pemerintahan Trump ini. Misalnya sisi fiskal, sisi kebijakan perdagangan AS dan lainnya.
Antisipasi Tiongkok
Demikian juga dengan negara kekuatan ekonomi yang sedang berkembang sekarang --- Tiongkok tampaknya juga terus memantau dan telah berantisipasi dengan perkembangan ekonomi dan geoplitik yang akan terjadi secara global pada “era Trump” ini.
Pada 15 Januari 2017, Presiden Tiongkok Xi Jinping melakukan kunjungan pertama dalam tahun ini ke Swiss. Dalam kunjungan ini menghadiri Pertemun Forum Ekonomi Dunia 2017 (the World Economic Forum Annual Meeting 2017), ini menjadi pemimpin pertama Tiongkok yang hadir dalam Forum Davos ini.
Banyak analis dan pengamat yang percaya bahwa Tiongkok sangat menghargai Forum Davos karena sangat mendukung globalisasi ekonomi. Kehadiran Presiden Xi ini mengkespresikan kepercayaan Tiongkok kepada masyrakat internasional.
Pada 17 Januari2017, Xi Jinping menekankan pada Froum Ekonomi Dunia bahwa Tiongkok tetap tegas berkomitmen untuk mempromosikan globalisasi, agar ekonomi mengarah ke tujuan yang baik, membuat model pertumbuhan yang penuh dengan vitalitas, model kerjasama yang terbuka, saling menguntungkan. Model tata kelola rasional yang seimbang, model pengembangan yang general/umum, untuk secara tegas membangun kesadaran akan nasib yang sama, serta mengambil tanggung jawab bersama-sama, bekerjasama mempromosikan pertumbuhan global.
Berkenaan dengan pidato presiden Xi diatas, Peter Mouler, Presiden Komite Internasional Palang Merah menanggpi dengan memberi komentar: “Nah.. ini yang saya sukai dengan pidato Presiden Tiongok Bahwa pada dasarnya dia mengatakan bahwa Anda tidak harus memerangi globalisasi, dan berilusi bahwa Anda bisa mengontrol, Anda dapat mengatur, Anda dapat mengelola, Anda bertanggung jawab untuk dapat mencoba untuk menemukan solusi untuk isu-isu global. Tapi menentang globalisasi akan sia-sia.”
Lebih lanjut dikatakan “ Hal kedua , dimana dia (Presiden Xi) benar-benar menekankan nadanya, apa yang saya dengar di setiap sudut ruang ini di Davos adalah: pengakuaan bahwa segala sesuatunya tidak bisa dilakukan sendiri.”
Bagaimana globalisasi ekonomi dapat berkembang ke arah yang lebih baik?
Pada18 Januari 2017 di Swiss, Xi Jinping menerima undangan untuk mengunjungi Kantor PBB di Jenewa. di Palace of Nation, Xi Jiping memberikan Keynote speech (pidato kunci) dengan judul “Creating Community of Common Destiny” (共同构建人类命运共同体) “Menciptakan Komunitas Dengan Takdir Umum” yang merupakan usulan Tiongkok untuk tata kelola global.
Presiden Xi menyerukan untuk mempromosikan bersama proses besar untuk menciptakan komunitas nasib yang sama, dan bersikeras melakukan upaya konsultasi melalui dialog, saling membangun dan berbagi, kerjasama yang saling menguntungkan, komunikasi dan saling bertukar pikiran, penghijauan dan proyek yang menekan karbon rendah, mebangun keterbukaan, dapat diterima, dunia yang bersih dan indah dengan perdamaian abadi, keamanan umum, dan kesejahteraan bersama.
Xi menekankan “ Menciptakan Kominitas dengan Takdir Umum untuk mencapai keadaan yang saling menguntungkan dan berbagi. Ini yang menjadi sikap dan solusi Tiongkok.”
Memang terlihat setelah Presiden Xi Jinping berkuasa, Tiongkok secara aktif terlibat dalam tata kelola global telah menjadi ciri unik utama diplomasi Tiongkok. Misalnya ia mengusulkan jangka panjang yang sangat obyektif untuk menciptakan komunitas dengan nasib umum bersama. Dan membangun suatu bentuk baru yang saling menguntungkan untuk kerjasama hubungan internasional---sedikitnya secara moral, dia menciptakan masyarakat yang lebih baik dibandingkan dengan apa yang telah diciptakan Barat sebelumnya.
Banyak dari prinsip-prinsip tertentu akan muncul dalam kerangka kerja utama tata kelola global, seperti prinsip yang berpusat di sekitar PBB.
Bila kita berkilas balik setelah berakhinya P.D. II, lahirnya PBB bertujuan untuk mencegah lahirnya perang lain, tetapi yang jelas terlihat sekarang masyarakat internasional tidak menuju ke tren perdamaian abadi dengan keberadaan PBB ini.
Setelah Perang Dingin berakhir, AS menjadi dominasi dalam penanganan hubungan intersional, AS selalu berpegangan pada prinsip untuk kepentingannya sendiri, bahkan memandang PBB hanya sebagai simbol kejujuran dan keadilan (fairness and justice), dan digunakan sebagai alat untuk dirinya, melemahkan otoritas dan efektivitas PBB dari waktu ke lain waktu atau berulang-ulang kali.
Namun setelah memasuki melenium dan abad baru, dunia telah berkembang dalam arah yang semakin multi-polarisasi, situasi internasional menjadi makin rumit dan terjadi percepatan globalisasi ekonomi, hal ini tidak hanya membuat kelompok-kelompok internasional lebih “sempurna”, yang juga menampilkan peran mereka secara jelas dalam urusan global, yang mendorong pembentukan eksistensi antar-ketergantungan antara negara dan ekonomi, bilamana salah satu anggota negara telah dirugikan.
Xi Jinping mengatakan, bahwa saat ini, urusan global semakin menuntut konsultasi bersama antara negara-negara, dan mendirikan mekanisme internasional, mengikuti peraturan internasional, dan mencari keadilan internasional telah menjadi konsensus di antara sebagian besar negara.
Bagaimana untuk mengelola global secara effektif? Tiongkok dan banyak negara meyakini PBB bisa memainkan peran sangat penting.
PBB sebagai organisasi internasional antar-pemerintah yang paling representatif dan berwibawa di dunia, sudah lebih dari 70 tahun sejak PBB didirikan telah menjadi tempat internasional penting bagi masyarakat internasional untuk membahas isu-isu yang menjadi perhatian bersama, mencapai konsensus dan merumuskan kode etik.
Tapi dengan tren internasional yang tumbuh variabel, terjadilah kebingunan yang semakin meningkat, tantangan yang dihadapi PBB saat ini jauh lebih rumit daripada saat pertama kali didirikan.
Setelah memasuki abad baru, PBB telah menghadapi sejumlah isu-isu regional dan global, dimana otoritas PBB ditantang, karena posisi PBB dan perannya saat ini telah memudar.
Pada tahun 2016, konflik regional terus tumbuh lebih parah. Korut beberapa kali melakukan uji coba rudal nuklir, dan Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi sanksi “terberat dan paling komprehensif,” berakibat posisi militer memburuk di Semenanjung Korea.
Pada bulan Juli 2016, Korsel memutuskan untuk mengizinkan AS mengerahkan anti-rudal THAAD, tindakan ini mengarah pada perubahan geopolitik yang besar.
Pada tahun 2007, kita masih bisa melihat adanya harapan melihat sebuah resolusi untuk krisis Ukraina. Saat itu, di Timur Tengah, perang terus berkobar di Syria dan Irak, dimana konflik terus menerus berlangsung antara kekuatan militer pemerintah yang komplek, militer militan anti-pemerintah, militan Kurdi dan kelompok-kelompok ekstrimis.
Di latar-belakangi kampanye kompetisi dan permainan intrik antara kekuatan ekstra-regional dan regional. Dalam banyak isu ini, masyarakat internasional sangat prihatin dengan negara-negara ini dengan sistem PBB mereka mencoba untuk menemukan solusi melalui cara lain.
Aturan Global Dibuat Barat
Apa yang menjadi tantangan untuk mengelola dunia? Beberapa negara Barat maju sedang memimpin untuk membuat peraturan, dan menempatkan negara-negara lain dalam posisi pasif untuk mematuhi atau menghormati aturan-aturan ini. Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip sejati untuk mengelola dunia.
Bila kita memperhatikan berita dunia mungkin bisa menemukan laporan insiden internasional dalam beberapa tahun terkahir ini, seperti organisasi ekstrimis, krisis Ukraina, dan situasi di Timur Tengah, tapi PBB jarang disebut, sementara berbagai organisasi regional dan internasional justru telah meningkat kepermukaan.
Ambil salah satu contoh seperti yang kita semua dengar adalah suara Eropa, AS dan Rusia yang membicarakan Ukraina, dan bahkan melakukan negosiasi damai yang diadakan di Minks ibukota Belarus.
Kita harus mengakui bahwa sifat politik internasional saat ini masih merupakan politik kekuasaan. Lalu apa konsekuensi dari politik kekuasaan? Itu tidak lain adalah kekuatan yang membuat keputusan dan yang memiliki kekuasaan---dan itu adalah negara-negara Utama.
Akibatnya untuk krisis Ukraina, negara-negara Barat yang dipimpin AS hanya menjatuhkan sanksi berulang kali kepada Rusia.
Pada 16 Januari 2017, mantan Wakil Presiden AS Joe Biden mengunjungi Ukarina, dan bertemu dengan Presiden Ukraina – Petro Poroshenko. Joe Biden mengatakan bahwa hari itu ia akan mendesak pemerintah baru AS yang akan datang (Trump) untuk terus mendukung Ukraina, dan menyerukan kepada masyarakat internasional untuk menentang perilaku Rusia yang “invasionary” (ingin menginvasi).
Lebih lanjut Biden mengatakan: “Bersama-sama dengan mitra Uni Eropa dan G7, kita akan lebih menjelaskan bahwa sanksi harus tetap dilakukan terhadap Rusia sepenuhnya. Saya menekankan ini sepenuhnya, untuk meng-implentasikan komitmen ini berdasarkan perjanjian Minsk.
Uni Eropa dan G7 yang disebutkan Biden telah mengambil tindakan sangat melebihi dari tanggung jawab untuk kelola global. Perkembangan kelompok-kelompok internasional semacam ini tidak bisa tidak dapat bersaing dengan PBB dan memberi tekanan pada PBB.
Dalam sistem PBB, dana IMF juga menjadi contoh. AS memiliki hak veto di IMF. Selama krisis finasial AS tahun 2008, dimana krisis berasal dari AS. AS ingin menggeser krisis dengan secepat mungkin, dan benar-benar berharap negara-negara berkembang seperti Tiongkok untuk memainkan perannya.
Pada bulan Nopember 2010, IMF meloloskan RUU untuk reformasi hak pungutan suara yang memutuskan untuk meningkatkan kuota dan hak suara negara ekonomi berkembang dari Tiongkok dan India.
Apa hasil dari penyesuaian ini? Di masa lalu, sebelum penyesuaian, Tiongkok menduduki peringkat ke-enam dalam kuota IMF, dan kemudian dengan tiba-tiba melompat ke posisi ke-tiga. Tapi masih masalah lain yang ada disitu? Misalnya AS berada di tempat pertama, dan kuotanya tidak pernah berubah, untuk mengubah kuota tidak mungkin, karena AS memiliki hak veto.
Lalu siapa yang ke-dua? Yang kedua adalah Jepang, dan yang ke-tiga adalah Tiongkok. Masalahnya mengapa Jepang yang ke-dua? Sedangkan pada tahun 2015, perekonomian Tiongkok dua kali lipat dari Jepang. Jadi untuk ekonomi, Tiongkok lebih besar dari Jepang, tapi saham dan hak suara atau kuota Tiongkok di IMF lebih rendah dari Jepang.
Kekuatan ini dan kekuatan sistemik ini masih belum cukup. Dalam kenyataannya, Barat memiliki semacam sistemik hegemoni di banyak sistem internasional. Selain dari hegemoni sistemik ini, konflik antara kekuatan utama juga salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi PBB dalam pengelola global.
Di Eropa, krisis Ukraina menyebabkan ketegangan antara AS, Eropa dan Rusia meningkat. Di Asia, pertentangan antara Tiongkok dan AS, Jepang terjadi karena perselisihan atas isu-isu Laut Timur dan Laut Tiongkok Selatan.
Tiongkok dan Rusia merupakan representasi dari kekuatan yang baru berkembang, sementara AS, Eropa dan Jepang representasi dari negara maju. Kontrakdiksi dan konflik antara Tiongkok dan Rusia dan AS, Eropa dan Jepang mau tidak mau akan mempengaruhi kerjasama dalam tata kelola global dan regional.
Jadi konsekuensi dari ini menyebabkan dunia menjadi tidak setara, karena tujuan dari tata kelola mereka adalah untuk mempertahankan posisi pemberi arah dan kepemimpinan mereka sendiri, sehingga tidak akan berinteraksi dengan negara-negara lain sama-sama, ini menunjukkan maunya melihat negara lain berada di bawahnya, dan mau menang sendiri dalam banyak urusan internasional.
Hubungan internasional berbeda dengan hubungan domestik, hubungan internasional harus setara, terlepas apakah dia itu sebuah negara besar atau kecil, kuat atau lemah, justru tujuan dari “Piagam PBB” adalah membuat aturan-aturan ini. Jadi karena maunya melindungi posisi kepemimpinannya. Kenyataan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB yang menyatakan semua negara adalah setara.
Hasil yang kedua, terjadi semacam keberhasilan menjadi terhenti, yang menyebabkan mekanisme tata kelola global tertinggal atau menghalangi adanya invovasi dalam tata kelola global.
AS adalah salah satu pendiri PBB, juga penyedia biaya operasional terbesar PBB. Bisa dikatakan posisi AS dan peran dalam PBB adalah sesuatu yang tidak dapat dibandingkan dengan negara lain.
Tapi dalam berpartisipasi dalam peristiwa penting PBB, AS telah berulang kali menantang otoritas PBB. Mantan Menlu AS John Bolton mengatakan : “Tidak ada PBB. Dunia hanya memiliki sebuah organisasi internasional yang mendengarkan perintah dari negara adidaya. Jika PBB sesuai dengan kepentingan kita (AS), kita akan meggunakannya. Ketika tidak sesuai dengan kepentingan kita, kita menghindari dan meninggalkan itu.”
Pada 21 April 2016, mantan Menlu Hilarry pernah mengatakan selama dalam acara yang diselenggarakan TV ABC “Good Morning America” mengenai saat pungutan suara bagi AS untuk melancarkan Perang Irak, ketika itu Hillary sebagai senator telah menjadi target politik terbesarnya.
Hillary mengatakan: “Penyesalan saya terbesar karena saya voting atau memberi suara untuk memberikan kewenangan Presiden Bush di Irak. Itu tidak akan merubah dan melupakan dari pikiran saya dengan apa yang dia katakan. Dan saya menyesal tentang itu. Saya sudah mengatakan bahwa itu adalah sebuah kesalahan.”
Pada bulan Maret 2003, tanpa otorisasi dari PBB, dan ditentang oleh tiga anggota tetap Dewan Keamanan PBB—Tiongkok, Rusia dan Prancis, AS tetap saja bergegas melancarkan Perang Irak. Perbuatan jahat AS yang unilateral, hegemonik menyebabkan otoritas PBB, organisasi terbesar internasional ini, telah mengalami tantangan dan dipermalukan yang tidak pernah terjadi sebelumnya sejak berakhirnya Perang Dingin.
AS justru menganggap kepentingan diri yang utama ketika membuat keputusan suatu kebijakan. Jika menganggap PBB berguna, maka akan digunakannya. Jika tidak dapat digunakan dan tidak menguntungkan AS, maka PBB akan dikesampingkan dan bertindak sepihak.
Peristiwa-peristiwa terjadi pada tahun baru 2017 baru mulai, dalam rentang waktu satu bulan, beberapa serangan bom mobil menghantam ibukota Irak dan kota-kota lainnya, menyebabkan puluhan orang tewas. Bahkan hingga sekarang setelah perang dimulai 14 tahun lalu, warga-warga yang tak berdosa selalu dihinggapi ketakutan dalam hidupnya.
Pada kenyataanya, masyarakat internasional merasa prihatin akan keadaan ini, tetapi Amerika tidak coba meng-refleksi diri mereka sendiri. Alasan untuk meluncurkan Perang Irak yang palsu hanya alasan yang dibuat-buat untuk mulai perang. Tapi kenyataannya, akhirnya tidak bisa membuktikan itu, akibatnya haus membayar mahal dan mendapat kritikan dari masyarakat internasional.
AS tidak saja tidak mau bercermin pada dirinya sendiri, juga melakukan lagi plot serupa di Syria beberapa tahun setelah itu. Dibawah protes keras Tiongkok dan Rusia serta tanpa otorisasi dari PBB, militer AS ikut campur tangan di Syria dengan mendukung militan anti-pemerintah dalam upaya untuk menggulingkan pemerintahan Bashir al-Assad, tapi pada akhirnya itu menyebabkan meningkatnya “ISIS” dan membuat rakyat Syria jatuh dalam kesengsaraan.
AS terlalu kuat. Langkah-langkah masyarakat internasional untuk menjatuhkan sanksi atau menghukum itu terbatas. Tapi sering terjadi bisa menggunakan PBB untuk menghukum negara-negara lain yang tidak mematuhi resolusi PBB, tapi kita bisa melihat jarang melihat AS dihukum ketika melanggar atau tidak mematuhi resolusi PBB. Bahkan tidak pernah melihat.
Akibat dari prilaku AS ini, menyebabkan peran PBB untuk memainkan peran semakin berkurang dalam menghadapi konflik besar. Dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun sejak berakhirnya Perang Vietnam, AS telah melancarkan 3 kali pendudukan militer yang resmi mendapat otorisasi PBB, sedang yang lainnya berupa hegemonik militer, unilateral atau bilateral operasi militer.
Melihat tindakan AS dalam beberapa tahun terkahir ini, mudah unutk dapat dilihat jika AS bisa mendapatkan otorisasi PBB, mereka akan melancarkan perang atas nama PBB, seperti Perang Teluk, Perang Afganistan dan Perang Libya, jika tidak bisa mendapatkan otorisasi PBB, bisa menggunakan NATO untuk membuka jalan, seperti Perang Kosovo dan Perang Irak.
Menghadapi pelanggaran terbuka dari AS atas “Piagan PBB” dan konvensi PBB, jelas PBB terlihat tidak berdaya.
Selama ini AS melihat dunia seakan mereka berada diatas, dan berusaha sebagaimana bisa mempertahankan posisi hegemonik? Sehingga ingin menggunakan tata kelola global dan kadangan-kadang ingin memamerkan peran PBB, tapi peran PBB yang tidak memperlalukan sama dengan anggota PBB lainnya. AS ingin mempertahankan posisi “kepemimpinannya.”
Pada 4 Januari 2017, sehari setelah Sekjend PBB Antonio Guterres secara resmi menjabat, ia menelpon Trump secara resmi. Trump mengatakan bahwa pemerintahan baru membutuhkan untuk melakukan beberapa reformasi dan perubahan untuk memastikan bahwa setiap sen dollar AS yang diberikan kepada PBB digunakan secara effektif.
Memang kini AS membayar jumlah terbanyak untuk biaya operasi pemeliharaan harian PBB yang mahal, hingga sekitar 22% dari biaya oeprasional PBB. Hal ini yang juga membuat pusing AS bagaimana untuk bisa menekan biaya operasional ini.
Tapi ini juga dikarenakan AS sekarang berada dalam relatif lemah, tidak sepercaya diri seperti sebelumnya, sehingga tampaknya lebih hati-hati pada pengeluaran ini. Jika tidak sesuai dengan permintaan, AS akan menolak untuk memberikan uangnya.
Mulai 20 Januari 2017, AS memasuki era Trump. Inti pemikiran kebijakan luar negeri Trump “America First,” yang berarti menempatkan kepentingan AS dan Keamanan AS pertama. Jadi bisa diprediksi dalam proses diplomatik AS, PBB akan tidak diragukan akan terpinggirkan.
Dunia memerlukan suatu tantanan dunia demi ketertiban. Tata kelola global perlu adanya “konsultasi bersama, untuk saling membangun dan saling beragi,” satu-satunya pilihan yang tepat adalah semua pihak untuk berkonsultasi dan ber koordinasi pada semua isu-isu internasional, agar mencapai saling menguntungkan melalui kerjasama.
Kunci dari tata kelola global adalah mengklarifikasi siapa yang diatur, apa yang diatur, bagaimana mereka mengatur. Ada yang berpandangan, PBB merupa kombinasi dari berbagai negara yang setara, dan banyak kegiatan internasional harus dilakukan dalam rangka PBB. Ini akan menjadi prasyarat untuk tata kelola global.
Kini kemanusiaan dalam periode perkembangan utama, terjadi revolusi dan penyesuaian besar, tetapi juga dalam periode yang penuh tantangan dan resiko yang terus meningkat. Rencana Tiogkok seperti yang dikemukan oleh Presdiden Xi untuk menciptakan sebuah komunitas dengan nasib umum, untuk mencapai keuntungan yang saling berbagi. Membangun tantanan internasional yang adil, rasional menjadi tujuan manusia yang tanpa lelah terus mencari.
Dalam situasi baru ini, kita perlu bersikeras untuk kedaulatan kesetaraan, dan mempromosikan persamaan hak, kesetaraan kesempatan dan kesamaan aturan bagi semua negara.
Tata kelola global mempengaruhi kepentingan semua negara. Dalam semua bahaya dunia saat ini, tidak ada negara yang dapat bertindak sendiri---globalisasi telah menghubungkan kita lebih dekat bersama. Jadi kita membutuhkan tata kelola global baru dan konsep untuk membebaskan diri dari belenggu dari geopolitik.
Kita harapkan dalam lima tahun ke depan kepemimpinan Sekjen PBB baru Antonio Guterres dapat membawa suatu angin baru bagi dunia.
Sucahya Tjoa
12 Pebruari 2017
Sumber: Media TV dan Tulisan Dalam dan Luar Negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H