Mohon tunggu...
maken awalun
maken awalun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengatasi "Politik Ketakutan" Intoleransi Beragama

2 Juni 2018   23:24 Diperbarui: 2 Juni 2018   23:27 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Salah satu masalah yang sering menjadi perhatian kita sebagai bangsa adalah masalah tolernasi beragama. Beberapa waktu terakhir ini publik Bumi Pertiwi Indonesia kembali menyaksikan kekerasan yang dilakukan para teroris terhadap sebagian warga negara yang tidak berdosa.

Akibat tindakan teror ini, sebagian warga publik mengalami kematian, trauma dan rasa takut yang akut. Keadaan anomali sosial dan psikologis ini mengakibatkan, di satu pihak, munculnya gejala segregasi sosial namun juga, di lain pihak, muncul semacam perasaan "ketakutan" dalam relasi dan komunikasi sosial di antara warga publik. 

Mengapa keadaan anomali sosial dan psikologis ini terjadi dalam publik Indonesia? Bagaimana kita menyikapi situasi anomali sosial dan psikologis tersebuh agar warga publik bisa hidup secara damai? Sebagian ahli dan peneliti mengungkapkan kepada kita bahwa akar persoalan utama terletak pada aroma intoleransi beragama pasca-kebenaran yang dimediasi dan didukung secara penuh oleh mainstraim media, khususnya media online.

Sikap intoleransi keagamaan itu sedemikian akut karena telah telah memasuki ranah privat melalui penanaman ideologi radikal berbasis keluarga.  Bahkan segelinitir institusi pemerintahan (politik) dan pendidikan pun katanya telah terjamah ciri intoleransi dan radikalisme. Semuanya ini "seakan" menambah beban "ketakutan" publik, terlebih menjelang Pemilu 2019, mengenai sebuah kehidupan bersama yang damai dan sejahtera sebagaimana dicita-citakan oleh Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Syukurlah sebagai bangsa kita berhasil melewati ketakutan dan pesimisme itu dengan membangun kembali jalinan persaudaaraan sebagai putra-putri bangsa. Kita tidak takut tapi optimis dalam menangkal semua gerakan radikalisme itu. 

Walaupun demikian, sebagai sebuah fenomena sosial, "ketakutan" publik harus tetap dicerna secara ilmiah dan kritis guna mencari solusi terbaik bagi kehidupan bersama. Perhatian pokok tulisan ini adalah bagaimana kita menyikapi "ketakutan" publik itu sebagai sebuah kekuatan (power) untuk mencapai kehidupan koeksistensial dan sosial yang damai. Dengan kata lain, ketakutan publik dapat menjadi sebuah kekuatan yang mengubah realitas sosial dan menghidupkan kebersamaan. Warga publik itu sendirilah yang menjadi aktor utama untuk mengatasi "politik ketakutan" (politics of fear) itu sendiri.

Untuk membahas pokok gagasan di atas, tulisan ini berpijak pada gagasan filsuf wanita dan feminis Martha C. Nussbaum. Dalam analisis filsuf Amerika ini, ketakutan itu hadir dalam diri kita karena disebarkan melalui dan dengan kekuatan media sosial. Akibatnya, sesama manusia, khususnya kaum minoritas (di Eropa dan Amerika) mengalami keterisolasian atau lebih tepat diisolasi dari sesamanya.

Nussbaum mengkritisi bahwa fungsi sosial-politik media di Eropa dan Amerika sering menambah ketakutan publik dalam menyebarluaskan ketakutan yang berlebihan terhadap kaum minoritas agama tertentu sehingga tercipta segregasi dan keterisolasian sosial. Untuk itu, Nassbaum mendorong warga publik untuk melepaskan diri dari ketakutan yang negatif. Ketakutan harus dibangun kembali sebagai "jalan pembebasan" yang bisa mengarahkan warga publik kepada koeksistensi yang damai.

Profil Martha C. Nussbaum

Martha C. Nussbaum adalah seorang filsuf wanita yang lahir di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 6 Mei 1947. Ayahnya, George Craven merupakan seorang ahli hukum di Philadelphia sedangkan ibunya, Betty Warren, adalah seorang designer interior. 

Dalam sebuah wawancara dengan Harry Kreisler di Universitas Barkeley, 4 September 2006, mengenai Women's Rights, Religious Freedom and Liberal Education, Nussbaum menggambarkan sosok ibunya sebagai seorang wanita yang tidak bahagia. Namun, ia mengakui bahwa dari ibunyalah ia belajar bagaimana seorang wanita mengorbankan karier untuk kebahagiaan keluarga. Nassbaum mengungkapkan: 

"My mother was a very unhappy woman. She had given up a career as an interior decorator and she was very bored and unhappy. She was a very loving woman and I feel that she was a great source of love and emotion. In fact, once I wrote a philosophical dialogue that my parents figure in, and she's the one who speaks for the emotions. But I also learned that women who are forced to give up their careers don't always have happy lives, and that was important to me." (http://globetrotter.berkeley.edu/people6/Nussbaum/nussbaum-con1.html)

Setelah menamatkan pendidikan di Baldwin School Bryn Mawr, Nussbaum melanjutkan studinya dalam bidang drama dan kesusasteraan klasik di New York University. Ia berhasil menamatkan pendidikan S1 pada tahun 1969. Ia melanjutkan studi filsafat di Harvard University dimana ia menyelesaikan program masteral tahun 1972 dan Ph.D tahun 1975 dibawah bimbingan G.E.L. Owen. Nussbaum mengakui bahwa sejak awal ia tidak tertarik pada filsafat. Situasi berubah ketika ia mengenyam pendidikan masteral, katanya: 

"I went to this intense feminist school where we fought a lot about ideas, and I had great, great teachers. I didn't call it philosophy at the time. I thought about literature, but I wrote about Dostoevsky, I wrote about Shakespeare, I was thinking about a lot of the same issues that I think about now, about emotions and vulnerability. I was also reading Greek tragedies. So, it was very continuous with what I'm doing now, but I didn't hear the word "philosophy" very much for a long time because I first went to graduate school in classical literature and I switched to philosophy only during graduate school." (http://globetrotter.berkeley.edu/people6/Nussbaum/nussbaum-con1.html)

Situasi kehidupan pribadi Nussbaum ternyata tidak secemerlang karier intelektualnya. Pernikahannya dengan Alan Nusbaum tahun 1969 berakhir tahun 1976. Periode ini juga menandai kepindahannya ke Yudaisme dan kelahiran putrinya Rachel Nusbbaum. 

Setelah menyelesaikan kuliahnya, sejak tahun 1980-1982 Nussbaum mengajar filsafat dan kesusastraan klasik di Havard University. Ia kemudian pindah ke Brown University dan menggajar di sana hingga tahun 1994 dan bergabung dengan University of Chicago Law School faculty.  Pada tahun 1986, ia mempublikasikan karyanya The Fragility of Goodness yang berbicara mengenai etika Yunani Kuno dan tragedi Yunani. Buku ini berhasil melambungkan namanya sebagai seorang intelektual dalam bidang humaniora.

Sebagai seorang filsuf wanita, Nussbaum juga memperhatikan ketidaksetaraan hak kaum perempuan dalam masyarakat. Melalui karyanya Sex and Social Justice (1999), ia menunjukkan bahwa sex dan seksualitas merupakan sebuah pembedaan yang secara moral tidak relevan. 

Pembedaan ini secara artificial telah dipaksakan sebagai sumber dari hirarki sosial. Maka feminisme dan keadilan sosial memiliki komiten yang sama, yaitu memperjuangkan kebebasan atau kemampuan-kemampuan sentral manusa sebagai sebuah dasar bagi keadilan sosial terhadap kaum perempuan (https://en.wikipedia.org/wiki/Martha_Nussbaum)

Selain memperhatikan moralitas emosi manusia sebagaimana dituangkan dalam karyanya Hiding from Humanity (2004), Nussbaum juga dikenal sebagai seorang pemikir mengenai keadilan politik sebagaimana tercermin melalui karyanya From Disgust to Humanity (2010). Ia juga memberikan perhatian yang besar kepada masalah keagamaan.  Salah satu buku yang terkenal dan menjadi perhatian tulisan ini adalah The New Religious Intolerance: Overcoming the Politics of Fear in An Anxious Age (2012). 

Sederetan karya dapat disebutkan antara lain Aristotle's De Motu Animalium (1978), The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (1986, updated edition 2000), Love's Knowledge (1990), The Therapy of Desire (1994, updated edition 2009), Poetic Justice (1996), For Love of Country (1996), Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (1997), Sex and Social Justice (1998), Women and Human Development (2000), Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (2001), 

Hiding From Humanity: Disgust, Shame, and the Law (2004), Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (2006), The Clash Within: Democracy, Religious Violence, and India's Future (2007), Liberty of Conscience: In Defense of America's Tradition of Religious Equality (2008), From Disgust to Humanity: Sexual Orientation and Constitutional Law (2010), Not For Profit: Why Democracy Needs the Humanities (2010), Creating Capabilities: The Human Development Approach (2011), The New Religious Intolerance: Overcoming the Politics of Fear in an Anxious Age (2012), Philosophical Interventions: Book Reviews 1985-2011 (2012), Political Emotions: Why Love Matters for Justice (2013), and Anger and Forgiveness: Resentment, Generosity, Justice (2016). Aging Thoughtfully, co-authored with Saul Levmore, will appear in 2017.  She has also edited twenty-one books. (https://www.law.uchicago.edu/faculty/nussbaum).

Nussbaum menerima berbagai penghargaan atas karya intelektualnya antara lain "the Grawemeyer Award in Education (2002), the Centennial Medal of the Graduate School of Arts and Sciences at Harvard University (2010), the Prince of Asturias Prize in the Social Sciences (2012), the American Philosophical Association's Philip Quinn Prize (2015), and the Kyoto Prize in Arts and Philosophy (2016)." Dan sat ini ia mnnjabat sebagai Ernst Freund Distinguished Service Professor of Law and Ethics" di Universitas Chicago. (https://www.law.uchicago.edu/faculty/nussbaum).

"Politik Ketakutan" Intoleransi Beragama

Filsafat pada dasarnya memiliki tanggung jawab mencari pendasaran dan pemecahan rasional terhadap peristiwa-peristiwa sosial manusia. Praksis orientasi filsafat sedemikian menjadi ciri khan filsafat Nussbaum. 

Menurutnya, filsafat bertugas untuk menganalisis argumen-argumen yang digunakan dalam diskursus mengenai masalah-masalah aktual kebijakan sosial yang berhubungan dengan multikulturalisme "warga negara dunia" dan perbedaan agama sorta ketidaksetaraan sosial. Sebagai filsuf yang memfokuskan studi pada kesustraan Klasik Yunani, Nussbaum separat dengan pernyataan filsuf Yunani Kuno Seneca bahwa filsafat harus melayani kemanusiaan. Para filsuf harus menggunakan kemampuan analisis dan imparsialitas mereka untuk menyelidiki secara kritis-emansipatoris realitas sosial yang dihadapi manusia.

Salah satu realitas sosial yang dihadapi manusia adalah "ketakutan" yang diakibatkan oleh tindakan intoleransi beragama dalam berbagai bentuk seperti kekerasan dan fundamentalisme atau terorisme agama. Ketakutan itu, dalam pengamatan Nussbaum, telah menghantui Eropa dan Amerika. 

Kedua benua ini sebelumnya membanggakan diri sebagai penganjur kebebasan beragama dan toleransi beragama. Namun saat ini keduanya mengidap ketakutan terhadap anggota dan kelompok agama tertentu karena kekerasan bermotif agama yang memuncak dalam peristiwa 9/11 di New York, Amerika Serikat.

Apakah itu ketakutan? Bagaimana ketakutan itu bekerja dalam agama-agama dan mempengaruhi manusia beragama?

Dalam karyanya The New Religious Intolerance: Overcoming the Politics of Fear in an Anxious Age (The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, and London 2012 - selanjutnya disingkat NRI), Nussbaum mengungkapkan bahwa, secara psikologis, ketakutan merupakan sebuah bentuk primitif dari emosi yang tidak membutuhkan sebuah perangkat mental yang serba sulit. Ketakutan adalah orientasi yang belum sempurna untuk pertahanan hidup. Mengutip literatur Yunani Kuno, Nussbaum mengungkapkan secara tegas "without fear, we'd all be dead" (NRI 20). Ia mengatakan,

"Fear is a very primitive emotion. Unlike compassion, which requires perspectival thinking and is thus available only to a few species of animal, and even unlike anger, which requires causal thinking about who is to blame for causing a harm, fear really does not re- quire very elaborate mental apparatus. All it requires is some rudimentary orientation toward survival and well-being, and an ability to become aroused by what threatens them." (NRI 25)

Namun ketakutan juga memiliki nuansa politik dalam arti ketakutan juga dapat disusupi dengan retorika politik. 

"Fear and startle are valuable mechanisms, since they attune us fairly reliably to our own safety and well-being and ensure a strong aversive reaction to perceived threats and dangers. For these reasons political thinkers have often argued that fear plays a valuable role in the law: what we fear, we have reason to prevent. (NRI 27) 

Secara politis, kata Nussbaum, ketakutan menjadi semacam "perisai" untuk mempertahankan diri terhadap serangan yang datang dari luar. Ketika ketakutan itu disusupi maksud dan tujuan politik untuk mengisolasi atau mempertahankan diri terhadap sesama yang lain, Nussbaum menyebut ketakutan sedemikian sebagai sebuah "ketakutan politik". 

Menurut Nussbaum, ketakutan bekerja dalam diri dan hidup sosial-politik manusia dalam tiga bentuk (NRI 24).

First, fear typically starts from some real problem: people had reason to be anxious about economic security, about class tensions and the possibility of revolution, about the unpredictable forces of both political and economic change that were sweeping through European societies. 

Second, fear is easily displaced onto something that may have lit- tle to do with the underlying problem but that serves as a handy surrogate for it, often because the new target is already disliked. It was a lot easier to blame the Jews for political and economic problems than to search for their real causes. 

Third, fear is nourished by the idea of a disguised enemy. Most good horror stories involve a clever adversary who lies low, only to reveal his true nature when it is too late for the innocent victim to seek safety.

Bagimana ketakutan itu menjadi sebuah "ketakutan politis"? 

Dalam pengamatannya sebagai warga Amerika, Nussbaum menjelaskan bahwa para opportunist politik, dan didukung oleh media, sebenarnya memperburuk ketakutan itu. 

Melalui para pakar dan blogger ekstrimis, mereka secara besar-besaran menunjukkan kepada warga publik sebuah prasangka bahwa ada "minoritas dengan niat jahat yang tersamar" sedang mengancam keamanan publik. Prasangka berlebihan ini pada dasarnya memperbesar ruang isolasi terhadap kaum minoritas (di Amerika dan Eropa, misalnya) secara luas. Prasangka dan ketakutan mayoritas terhadap minoritas ini bahkan berlanjut pada larangan penggunaan atribut-atribut keagamaan seperti burqa, jilbab, salib, dan lain sebagainya.

Nussbaum menyebut ketakutan mayoritas terhadap minoritas ini sebagai sebuah "ketakutan narsistik", yaitu sebuah ketakutan yang berpusat pada diri sendiri dan pada keselamatan diri sendiri. Ketakutan narsistik ini pada dasarnya mengancam atau mencegah cinta manusia satu sama lain.

Mengatasi "Ketakutan Politik" Intoleransi Beragama

Nussbaum mengungkapkan bahwa Kita membutuhkan dorongan rasa takut untuk bertahan hidup. Kita terlalu sering memandang rasa takut secara negatif sehingga kita terhanyut dalam kesalahpahaman dan bahkan penganiayaan terhadap kaum minoritas. Kenyataan ketimpangan ekonomi, ketidakadilan dan perubahan sosial yang cepat seringkali bahkan menjadi sarana justifikasi ketakutan terhadap kaum minoritas.

Kita harus mengubah pandangan negatif mengenai ketakutan ini melalui sebuah "kehidupan yang diuji" dalam kehidupan bersama. Caranya ialah dengan pengelolaan ketakutan secara positif sehingga tidak lagi terjadi kecurigaan kaum mayoritas terhadap minoritas. Ketakutan yang berlebihan menghanguskan cinta antar sesama.

Lalu bagaimana kita harus mengatasi ketakutan politis narsistik tersebut? Nussbaum mengatakan bahwa saat ini kita membutuhkan secara mendasar sebuah pendekatan etis sebagaimana telah ditunjukkan oleh Sokrates. Pendekatan itu mencakup 3 prinsip etika universal.

Pertama, "Political principles expressing equal respect for all citizens, and an understanding of what these principles entail for today's confrontations with religious difference. (These principles already inhere in the political traditions of both Europe and, especially, the United States)." (NRI 2).

Dalam prensip pertama ini, Nussbaum mendasarkan peniadaan ketakutan pada ide martabat manusia dan kesetaraan. Menurutnya, para filsuf Stoa, Kristen, and Kantian pada dasarnya menandaskan satu thesis yang sama mengenai martabat manusia dan kesetaraan, yaitu "All human beings possess human dignity, and with respect to that dignity they are equal" (NRI 61). 

Hal ini menjadi dasar etis universal untuk menghilangkan ketakutan politis. Lebih dari itu, adalah tugas pemerintah untuk meniadakan rasa takut ini dari kehidupan para warganya. Ia mengatakan, "whatever else governments do, they may not violate that equal dignity" (NRI 65). Tanggung jaws ini juga harus menjadi bagian dari anggota Masyarakat itu sendiri dengan menemukan kembali arti kehidupan atau yang disebut "kesadaran akan martabat manusia. Menurut Nussbaum, 

"to violate conscience is to conduct an assault on human dignity" (NRI 65). Oleh arena itu, ia menegaskan: "The vulnerability premise [...] means that giving equal respect to conscience requires tailoring worldly conditions so as to protect both freedom of belief and freedom of expression and practice. It also suggests that freedom should be quite ample: being able to whisper prayers in your home is hardly enough for genuine religious liberty" (NRI 67).  

Kedua, "Rigorous critical thinking that ferrets out and criticizes inconsistencies, particularly those that take the form of making an exception for oneself, noting the "mote" in someone else's eye while failing to note the large plank in one's own eye." (NRI 3)

Prinsip kedua ini diinspirasikan oleh perkataan Kitab Suci Kristen yang berbunyi, "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu." (Mat. 7:3-4).

Berdasarkan ajaran ini, Nussbaum menyatakan bahwa sering kali orang membuat keputusan-keputusan tanpa memberikan alasan-alasan yang mendasar dan tanpa menilai diri sendiri. Keputusan-keputusan itu didasarkan pada pengalaman-pengalaman terbatas yang didasarkan pada tradisi, ketakutan dan egoisme. Hal ini disebut Nussbaum sebagai sebuah kesalahan yang inkonsisten. 

Dalam Jefferson Lecture berjudul "Powerlessness and the Politics of Blame" (12 Juli 2017), Nussbaum menyebut 3 jenis kesalahan yang dapat mengantar kita kepada kesesatan)

The Obvious Errors. Anger can be misguided, and guide us badly, if it is based on wrong information about who did what to whom, about whether the bad act was really done wrongfully (with some sort of bad intent) rather than just by accident, and also if it is based on a confused sense of importance. Aristotle mentions people who get angry when someone forgets their name, and this familiar example is a case of overestimating the importance of what the person did. (Probably also a case of getting intention wrong.) Since we're often hasty when we are angry, these errors occur often.

The Status Error. We also go wrong, I claim, if we think relative status is hugely important and focus on that to the exclusion of other things. This error is really a case of mistaking the importance of a particular value, but since it is so common and such a major source of anger, we have to single it out and give it a separate number.

The Payback Error. Finally, we very often go wrong when we permit deeply ingrained retributive thoughts to take over, making us think that pain wipes out pain, death murder, and so forth. In short, when we think that inflicting pain in the present fixes the past. We go wrong because that thought is a kind of irrational magical thinking, and because it distracts us from the future, which we can change, and often should.

Untuk mengatasi ketiga ketakutan di atas, Nussbaum secara tegas menekankan pentingnya refleksi dan kritik diri. Merujuk pada Kant, Nussbaum mengatakan:

"We need philosophical self-examination not because we are stupid or lacking in basically good ethical ideas but because each of us has a selfish propensity to 'quibbling,' to exempting our- selves from principles we apply to others. Therefore, a good way of testing ourselves is to ask whether the basis of our action could be recommended as law for everyone" (NRI 100-101). Karena itu, Nussbaum mengatakan "all [...] are made inconsistently, in ways that tacitly favor majority practices and burden minority practices" (NRI 105). Nussbaum percaya prinsip etis tentang penghormatan yang sama terhadap semua agama walaupun tidak berarti pengesahan yang sama untuk semua praktek agama.

Ketiga, "A systematic cultivation of the "inner eyes," the imaginative capacity that makes it possible for us to see how the world looks from the point of view of a person different in religion or ethnicity." (NRI 3)

Prinsip ketiga ini sebenarnya memuat keyakinan Yahudi yang dianut oleh Nussbaum. Sebagai seorang Yahudi, ia percaya bahwa setiap orang memiliki hidupnya sendiri dan kita semua dapat saling belajar dari perkataan dan cara hidup orang lain (bdk.NRI 143-144). Yang ditekankan oleh Nussbaum adalah pentingnya empati terhadap orang lain. 

Bersikap empati berarti mampu menempatkan pikiran dan perasaan kita dalam pikiran dan perasaan orang lain, dan dengan demikian diri kita sendiri mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dengan sesama sepeti tampak dalam solidaritas, kesetiakawanan sosial, musyawarah, toleransi, dlsb. Melalui empati kita bisa mengatasi ketakutan dan membangun peradaban yang baru dalam hidup borsama yang lebin toleran, sejahtera dan damai. (bdk. Dennis D. McDaniel, "Overcoming our displaced fears)

Refleksi Penutup

Ketakutan bukanlah penghalang untuk membangun koeksistensi yang damai dengan sesama. Sebagai sebuah dorongan alamiah dalam diri manusia untuk mencapai kehidupan yang baik, ketakutan adalah kekuatan yang menguatkan kita untuk membangun solidaritas dan kemajuan bersama. 

Dasar untuk mengatasi ketakutan itu adalah kesamaan martabat sebagai manusia dan kesetaraan sebagai manusia. Hal ini membutuhkan refleksi dan kritik diri terus menerus agar kita tidak jatuh dalam jurang kesalahan untuk memecah belah persatuan dan kebersamaan kita sebagai bangsa Indonesia.

Manila, 3 Juni 2018

Pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus

Departemen Filsafat Ateneo de Manila University

PCF

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun