Mohon tunggu...
Tari Aktariyani
Tari Aktariyani Mohon Tunggu... Human Resources - Research Assistant

I am a learner

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pemenuhan Hak Jaminan Kesehatan Era JKN

18 Oktober 2019   10:10 Diperbarui: 24 Januari 2020   09:28 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Evaluasi setelah 5 tahun implementasi kebijakan JKN menunjukkan variasi dalam tingkat pencapaian keberhasilan antar provinsi. Kebijakan JKN telah berhasil memberi perlindungan kepada para pesertanya saat menderita penyakit, tetapi yang mencolok adalah ketidakmerataan manfaat antar daerah dan antar segmen kepesertaan. Permasalahan ketidakmerataan antar daerah selama 5 tahun implementasi kebijakan ini belum diatasi dengan baik dan kebijakan afirmatif seperti kebijakan kompensasi, yang seharusnya telah dilakukan, ternyata belum diimplementasikan. Oleh karena itu, pembahasan ini akan berfokus pada:

  • Apakah tujuan kebijakan JKN telah tercapai?
  • Apa faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan hasil pencapaian antar provinsi?

Bagian pertama akan membahas mengenai pencapaian target JKN dari perspektif nasional, termasuk sejumlah isu yang mempengaruhi tingkat pencapaian ini. Bagian kedua akan membahas variasi pencapaian antar daerah dan permasalahan di level sub-nasional yang menyebabkan sejumlah ketimpangan antar daerah. Isu-isu di level nasional tentunya saling berkaitan dengan level sub-nasional, sehingga perspektif kedaerahan digunakan pula sebagai konteks penting dalam realist evaluation ini.

Apakah Tujuan Kebijakan JKN Telah Tercapai? 

Pertanyaan ini dibahas dengan berpijak pada Undang-Undang yang mengatur kebijakan JKN. Pasal 2 UU SJSN menyatakan bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 3  UU SJSN menyatakan bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.

Hasil evaluasi di  menunjukkan bahwa selama 5 tahun pelaksanaan JKN belum dapat memberikan kebutuhan esensial bagi setiap orang agar dapat hidup layak secara merata di seluruh daerah. Hal ini terkait dengan ketersediaan supply side fasilitas kesehatan yang bervariasi antar provinsi. Provinsi DI Yogyakarta merupakan provinsi yang memiliki ketersediaan dokter dan fasilitas kesehatan terbaik dibandingkan dengan lokasi penelitian lainnya. Sementara itu, provinsi Nusa Tenggara Timur adalah provinsi yang paling terbatas dalam hal sumber daya kesehatan. Berbagai sistem yang dijalankan untuk meningkatkan mutu pelayanan dalam program JKN, termasuk akreditasi rumah sakit dan puskesmas ditemukan belum mampu untuk menyeimbangkan fasilitas kesehatan antar daerah. Hal ini juga ditunjukkan bahwa rumah sakit yang lulus dengan predikat paripurna masih terpusat di daerah Indonesia bagian barat sementara bagian timur masih sangat terbatas. Program JKN telah berjalan selama 5 tahun, namun ketimpangan dalam pemerataan pelayanan kesehatan antar daerah belum dapat diatasi.

Ironi, adanya fenomena gotong royong yang terbalik, dimana daerah maju menyerap lebih banyak manfaatkan program JKN dibandingkan daerah yang jauh/akses sulit dan belum maju. Ketimpangan supply side yang telah disebutkan di atas, membawa dampak pada ketimpangan ketersediaan paket manfaat dimana provinsi berkinerja baik seperti DI Yogyakarta dan Jawa Timur memiliki tingkat pencapaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi NTT ataupun Papua. Fenomena ini bertentangan dengan asas keadilan sosial yang menjadi dasar program JKN dan dapat dilihat dari target-target terkait equity yang belum tercapai.

Permasalahan Implementasi JKN: Perspektif Nasional

Sejumlah isu di level nasional  berkontribusi pada tidak tercapainya sejumlah target JKN. Isu pertama terkait dengan pendekatan sentralistik BPJS Kesehatan yang merupakan efek dari fragmentasi UU SJSN dan UU BPJS dengan berbagai UU yang mengatur sektor kesehatan (UU Kesehatan, UU RS, UU Wabah dll) serta regulasi yang mengatur tata pemerintahan. Ada dua bagian besar yaitu sistem pembiayaan kesehatan yang diatur dengan UU SJSN dan UU BPJS yang cenderung sentralistik sehingga terpisah dari bagian sistem kesehatan nasional dan daerah yang desentralistik. Fragmentasi ini menghambat  pencapaian target di seluruh provinsi, terutama karena dalam penelitian realist ini ketertutupan data ditemukan sebagai konteks penting terhambatnya pemanfaatan data oleh pemerintah daerah. Sebagai catatan menarik, Pemerintah Pusat (dalam hal ini Kementerian Kesehatan) juga kesulitan mendapatkan data dari BPJS Kesehatan. Hal serupa pun dialami oleh DJSN yang harus menggunakan MoU untuk mendapatkan data tersebut.

Penelitian PKMK FKKMK UGM 2018, menunjukkan bahwa sifat sentralistik dari BPJS Kesehatan menjadi konteks yang penting karena berimplikasi lebih lanjut terhadap rendahnya kepercayaan publik terhadap pengambilan keputusan, informasi kebijakan, dan dampak dari program ataupun kebijakan (Grimmelikhuijsen et al. 2013), termasuk JKN. Saat ini banyak didapatkan informasi pro dan kontra mengenai BPJS Kesehatan dan JKN di media sosial. Berbagai keputusan yang diambil BPJS Kesehatan menimbulkan kontroversi dan bahkan sampai menjadi bahan litigasi di Mahkamah Agung. Kondisi ini mengkhawatirkan pengambilan keputusan di tingkat nasional dan daerah tidak berdasarkan data yang cukup (Trisnantoro, 2018). Hal demikian juga bertentangan dengan prinsip bahwa sebuah tatanan yang mengatur secara ekplisit tentang mekanisme sharing data dan tranparansi data sangat diperlukan (Dawes 2010) dan pemberian ruang dan informasi yang transparan kepada publik (Siddiqi et al. 2009).

Isu kedua adalah sistem single-pool yang digunakan dalam JKN. Penarapan konsep single-pool terjadi di Korea Selatan dan Taiwan serta negara-negara di Eropa. Permasalah yang kemudian timbul adalah sistem ini diadopsi Indonesia tanpa kesiapan dan perencanaan yang matang, sehingga berkontribusi terhadap meledaknya biaya kesehatan dan defisit pendanaan BPJS Kesehatan yang telah terjadi sejak tahun pertama implementasi JKN. Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Lu dan Hsiao (2003) tentang sistem asuransi Taiwan, sistem single-pool memang berhasil meningkatkan efisiensi dengan menekan biaya pelayanan kesehatan, namun penelitian yang sama juga menyebutkan bahwa sistem ini hanya bisa diimplementasikan di negara-negara dengan ekonomi yang kuat dan bukan di negara-negara berkembang (Lu and Hsiao 2003), termasuk Indonesia. Selain kekuatan ekonomi yang berbeda dengan Indonesia, mayoritas tenaga kerja di Korea Selatan dan Taiwan adalah sektor formal. Hal ini mempermudah pengumpulan premi asuransi dan sistem perpajakan yang jauh lebih efektif dan berdampak pada kemampuan negara untuk mensubsidi sektor informal, pensiunan, dan rakyat miskin yang merupakan proporsi relatif kecil dibanding sektor formal.

Sistem single-pool perlu ditinjau ulang dengan menelaah kondisi antar daerah yang dimiliki Indonesia. Salah satu studi dari Taiwan sendiri, yang meskipun saat ini menerapkan sistem single-pool, menyarankan adanya segmentasi NHI Taiwan berdasarkan daerah pedesaan dan perkotaan (Lee et al. 2018) yang diangkat berdasarkan sistem multiple-pool seperti di Cina, Singapura, dan Kolombia (Lim 2015, Low 2004, Montenegro Torres and Bernal Acevedo 2013, Yip et al. 2012). Hal ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih sensitif terhadap pemerataan distribusi sumber daya kesehatan, kualitas pelayanan berdasarkan geografis, alokasi pembiayaan yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah, serta untuk mencapai populasi yang paling rentan. Penelitian lain tentang Taiwan dan sistem single-pool oleh Hsiao, Cheng, dan Yip (Hsiao et al. 2016) tidak memaksakan pemecahan atau segmentasi single-pool ini, karena Taiwan dinilai cukup berhasil mencapai UHC. Namun, penelitian tersebut juga menekankan bahwa keberhasilan Taiwan didukung oleh kondisi dimana supply-side Taiwan telah relatif mencukupi dan cukup merata. Taiwan berhasil menggunakan teknologi informasi untuk menganalisa kepesertaan, fasilitas kesehatan, dan utilisasi pelayanan kesehatan serta secara efektif menggunakan data dan informasi  untuk meningkatkan kualitas pelayanan, menekan angka kecurangan (fraud) dan biaya administratif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun