Selama ribuan tahun, manusia menatap langit dan bertanya-tanya: di manakah kita berada di jagat raya ini? Sejak era Plato hingga Isaac Newton, perjalanan ilmu kosmologi menunjukkan bagaimana pandangan manusia terhadap semesta berubah drastis dari sekadar bayangan dalam gerhana hingga hukum gravitasi yang tak kasat mata namun mengikat segalanya.
Pada abad ke-2, Klaudius Ptolemeus menjadi pelopor sistem geosentris yang menyatakan bahwa Bumi adalah pusat alam semesta. Gagasannya yang dituangkan dalam Almagest diterima luas selama Abad Pertengahan, menyatukan pengaruh ilmu dan kepercayaan religius kala itu. Bahkan sebelumnya, Hipparkhus telah menyusun sistem orbit berdasarkan pusat-pusat kecil yang mengelilingi Bumi diam, menjadi pondasi teori Ptolemeus.
Namun jauh sebelum itu, beberapa pemikir Yunani telah menunjukkan sinyal keberanian intelektual. Plato, dengan pengamatan sederhana terhadap bayangan gerhana, mengusulkan bahwa Bumi berbentuk bulat. Sementara itu, Aristarkhus dari Samos telah mengajukan model heliosentris bahwa Bumi berputar dan mengelilingi Matahari suatu ide yang sangat radikal pada masanya. Seleukus menambah bukti bahwa pergerakan benda langit (khususnya Bulan) memengaruhi fenomena di Bumi, seperti pasang surut air laut.
Terobosan logis dan geometris datang dari Eratosthenes, yang berhasil menghitung keliling Bumi dengan akurasi mengejutkan hanya bermodalkan bayangan matahari dan perbandingan sudut. Bahkan Archimedes, meskipun lebih dikenal karena mekanika dan hukum pengungkitnya, ikut memperkuat landasan pemahaman terhadap gerakan dan gaya.
Pergeseran besar terjadi ketika Nicholas Kopernikus pada abad ke-15 memperkenalkan kembali teori heliosentris dengan Matahari sebagai pusat tata surya. Meskipun teorinya ditentang banyak pihak, ia membuka jalan bagi Johannes Kepler, yang menyempurnakan model ini dengan hukum orbit elips dan kecepatan variatif planet.
Namun ilmu tidak selalu bisa bersuara bebas. Tycho Brahe, meski data pengamatannya mendukung heliosentrisme, memilih bungkam karena tekanan zaman. Sebaliknya, Galileo Galilei, dengan teleskopnya, membuktikan bahwa planet seperti Venus memiliki fase cahaya yang hanya bisa dijelaskan dengan model Kopernikus. Karena keberaniannya, Galileo menjadi tahanan rumah dan dilarang menyampaikan kebenaran ilmiah yang ia temukan.
Puncak pemahaman ilmiah terhadap kosmos dicapai oleh Isaac Newton. Ia menyatukan semua pengamatan langit ke dalam satu hukum universal gravitasi. Newton menjelaskan bahwa planet-planet tetap berada dalam orbit karena keseimbangan antara inersia dan gaya tarik Matahari, membuka era baru dalam fisika modern. Ia juga menegaskan bahwa semua benda besar ataupun kecil saling tarik-menarik, menjadikan gravitasi sebagai prinsip pengikat semesta.
Perjalanan kosmologi adalah cerita tentang keberanian berpikir, tentang bagaimana ide yang dahulu dianggap murtad dan lancang, kini menjadi dasar sains modern. Dari Ptolemeus ke Newton, manusia belajar untuk tidak hanya menatap langit, tetapi juga memahami hukum-hukum yang mengikatnya. Semesta bukan lagi misteri yang ditakuti, melainkan sistem yang dapat dipahami asal kita cukup berani untuk bertanya, dan cukup sabar untuk mencari jawabnya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI