Begitulah orang miskin merasa. Saat pulang kerja, terlihat menu takjil, asesoris yang bagus, mereka hape baru, busana yang menarik dan tren lagi menggila-gila, lantas kita bicara pada diri, "aku lagi puasa, maaf ya, jiwa," padahal uang ada, kuasa ada tapi kita ingin memaknai puasa dengen sebenarnya.
Begipun ketika tergoda berburu THR, yang lain sudah ke sana ke mari buat bekal hari raya, kita berpikir, "Sudahlah, syukuri yang ada. Kalau datang saya terima, kalau tak ada saya tak akan bawa proposl kesana ke maria palagi sampai mengancam macam ormas-ormas radikal akhir ini. Aku puasa!"
Begitupun ketika puasa, meski perut lapar, isi kepala menumpuk, eh syahwat naik. Kita tidak berpikir cari pelampiasan di luar, apalagi sampai open BO di kamar orang. Atau membuang cairan dengan keperkasaan yang kita miliki. Atau memaksa isteri sendiri untuk olahraga bersama. Padahal bisa, padahal kuasa, dan punya tak macam para jomblo yang sering resah dengan keresahannya.
Di fase ini, kita bisa menahannya. Mulai dari mata yang memandang hanya pada pandangan yang benar. Mata kita tidak diproyeksikan untuk melihat keindahan tubuh lawan jenis yang kita lihat, saksikan dan imajinasikan. Baik di layar media maupun nyata.
Mata ini, justeru melihat keindahan yang ada untuk merenungkan keagungan Tuhan. Tiap indah, cantik, elok dan paripurna kita menyebut kebesaran Allah di sana. Di balik tubuh indah perempuan, kita melihat bukan sekedar fisik tapi kita melihat tanda-tanda pencipta yang Maha Pencipta, kenapa mencipta hasil sempurna begitu.
Ketika melihat laki-laki rupawan dengan segala ke-eksotisan-nya, kita melihatnya, sebuah titisan Nabi rupawan yang tercatat di ayat suci. Kita merenungkan ayat itu, surat itu, ujian nabi rupawan itu. Apa hikmah di baliknya dan segala hal perihal keajaiban Tuhan di sana.
Ya, Ramadan ini momen bukan sekedar aktivitas menjemukkan. Soal kesal harga naik, memikirkan isi perut kosong, soal emosi yang kerap terpancing, soal biaya mudik, soal kebijakan politik, soal korupsi, soal premanisme atau soal BBM yang ternyata bisa juga di oplos. Betapa juta dan ribu orang terbodohi oleh segelintir manusia, yang tak memikirkan orang yang lapar, haus dan lelah memikirkan kebutuhan hidupnya. Mereka memikirkan isi perut dan keinginanya saja.
Ramadan ini, seharusnya pula jadi renungan para petinggi negeri yang diberi berkah amat banyak. Agar sadar, ia dan rakyatnya tidak hanya butuh isi perut saja. Makan dan minum saja. Kita sama-sama butuh, kebijakan yang membuat  isi kepala kita yang cukup, isi hati yang bersih dan isi iman yang kokoh.
Untuk kita lebih jernih memaknai hidup. Untuk kita lebih sadar atas jiwa kita. Untuk kita benar memaknai puasa, tidak hanya sekedar menahan lapar dan haus. Akhlaknya tak berubah, lisan masih pedas tak berguna dan hati penuh dengki nan durja.
Semoga kita yang tetap terjaga di detik akhir Ramadan masih semangat menggali misterinya, agar nanti memeluk syawal dengan penuh kefitrian. Wallahu'alam. (***)
Pandeglang, 26 Maret 2025 Â 6.42