Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pasca Ramadan, "Recover Stronger, Recover Together"

10 Mei 2022   07:25 Diperbarui: 10 Mei 2022   17:50 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GRSTOCK via kompas.com

Pasca Ramadan, waktunya kita merindukan kembali kedatangannya. Karena, bulan suci Ramadan selalu membawa warna yang berbeda. Ada cerita, kisah, dan pengalaman baru yang selalu manis untuk dikenang kemudian. Rasa lapar, haus, letih dan lelah selalu diiringi dengan kegembiraan, kesenangan, semangat dan gelora dalam mengisi hari-hari yang penuh keberkahan.

Begitu pun tahun ini. Setidaknya, Ramadan tahun ini berbeda dari Ramadan dua tahun sebelumnya. Dua tahun sebelumnya kita melewati Ramadan dengan keprihatinan, kesendirian, dan kesepian. Pandemi membuat kita mati kutu, tak bisa banyak berbuat dan bergerak. Kita hanya duduk manis di rumah sambil menunggu waktu berbuka.

Ramadan tahun ini seolah semua kembali seperti masa sebelum adanya pandemi. Riuhnya Ramadan bisa kita rasakan lagi. Masjid-masjid ramai dikunjungi lagi. Sahut-menyahut lantunan ayat suci Al-Quran terdengar lagi. Jalan-jalan dan pasar-pasar dipadati lagi. Belum lagi kegiatan khas Ramadan, seperti berburu takjil, ngabuburit, atau buka puasa bersama, semua bisa kita lakukan lagi. 

Apakah ini pertanda pemulihan? Tentunya itu yang kita harapkan. Tanda-tandanya sudah ada, walaupun masih tersisa kecurigaan. Pada konferensi pers (26/04/2022) terakhir, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa ada tren penurunan kasus positif dan kematian Covid-19 di seluruh dunia. Ia mengatakan bahwa hal ini adalah kabar gembira, tetapi harus disikapi dengan hati-hati. 

"Karena banyak negara mengurangi pengujian, WHO semakin sedikit menerima informasi tentang penularan dan pengurutan. Hal ini membuat kita semakin buta terhadap pola penularan dan evolusi," ujarnya memberi peringatan.

Meskipun bahaya masih mengintai, rendahnya kasus penularan akhir-akhir ini membuat masyarakat lebih berani. Apalagi, sejarah varian omicron beberapa waktu lalu, tidak terlalu mengkhawatirkan. Bila terinfeksi, hanya akan merasakan gejala ringan, dan kasus kematiannya pun relatif rendah. Hal ini diperkuat  dengan laju angka vaksinasi yang sudah lumayan tinggi. Bahkan sudah banyak masyarakat yang sudah mendapatkan vaksin ketiga sebagai booster.

Memperhatikan itu semua, masyarakat lebih berani berkumpul untuk melakukan kegiatan bersama. Ada yang masih bermasker, menjaga jarak, dan membawa hand sanitizer, tetapi banyak juga yang sudah bablas, tanpa masker, tanpa jarak, apalagi membawa hand sanitizer. Banyak kalangan masyarakat yang benar-benar sudah merasa bahwa kita sudah pulih dari pandemi dan kita berada pada masa transisi menuju fase endemi.

Kedatangan bulan suci Ramadan di saat masa kondusif seperti ini menjadi berkah tersendiri. Bulan Ramadan memang sejatinya bisa dijadikan momen pemulihan. Baik pemulihan fisik maupun pemulihan mental. 

Pemulihan fisik dilakukan dengan cara memperkuat imun tubuh dan terus menjaga kesehatan. Pola hidup sehat yang diterapkan juga menjadi kunci terjaganya tubuh dari segala macam penyakit.

Di bulan Ramadan juga kita makan lebih teratur dan tepat waktu. Kita juga tidak makan secara berlebihan. Selain itu, di bulan ini juga organ pencernaan seolah istirahat sejenak dari kerja kerasnya setiap hari. Semua itu diimbangi dengan asupan makanan yang bergizi dan mengandung nutrisi yang seimbang.

Selain pemulihan fisik, Ramadan juga menjadi pemulihan mental. Sejatinya, ini yang lebih penting dan utama. Pemulihan mental akan lebih sulit dan menyulitkan. Pemulihan mental juga akan lebih memakan waktu dibandingkan pemulihan fisik.

Pemulihan mental ini berhubungan dengan kejiwaan. Ada beberapa hal penting di bulan Ramadan yang bisa membantu pemulihan mental. 

Pertama, bulan Ramadan adalah bulan mengontrol nafsu. Nafsu yang selama ini menjadi biang keladi keburukan dan kehilafan. Nafsu benar-benar ditempa di bulan ini. Kita menahan diri dari nafsu untuk makan, minum, dan godaan syahwat selama menjalani puasa. Hal ini dilakukan sebagai usaha kita untuk mendidik nafsu. Harapannya, nafsu akan bisa kita kontrol, bukan kita yang dikontrol oleh nafsu.

Kedua, di bulan Ramadan juga kita dituntut untuk menjadi pribadi yang disiplin. Di bulan ini kehidupan kita seolah diatur oleh tangan yang tak terlihat wujudnya. Ketika berbuka, kita bak prajurit yang hanya akan bergerak ketika mendengar seruan komandannya. Kita mengikuti perintahnya dengan seksama. Kita akan serempak berbuka puasa ketika sudah ada perintah yang diserukan. Semua itu dilakukan dengan penuh kedisiplinan.

Ketiga, bulan Ramadan juga mengajarkan kita untuk bersabar. Selama berpuasa, sesuatu yang halal baru bisa dilakukan setelah waktunya tiba. Di bulan yang lain, kita bisa makan makanan yang baik dan halal, apapun dan kapanpun kita mau. Di bulan Ramadan, bahkan seteguk air putih pun tidak bisa kita nikmati, sampai waktu saatnya diizinkan. Dalam kondisi ini, kesabaran kita benar-benar dalam pengujian.

Selain pemulihan fisik dan mental, bulan Ramadan juga membawa pemulihan sosial. Diizinkannya kembali shalat berjamaah, membuat masyarakat berduyun-duyun meramaikan masjid. Tua dan muda, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, semua bergegas memadati masjid. Semua saling bercengkrama, bertutur sapa, dan bersenda gurau sambil menikmati suasana teduh maknawi bulan Ramadan.

Masyarakat juga mulai berani membuka diri dengan melakukan kegiatan buka bersama. Kebersamaan yang terjalin seolah mengobati kerinduan. Kebersamaan yang memang sudah ditunggu-tunggu untuk bisa dilakukan. Kebersamaan yang pada dua Ramadan sebelumnya harus terlewati dengan sunyi atau hanya bisa dinikmati di depan tatapan layar.

Kegiatan bakti sosial juga mulai ramai lagi dilakukan. Di pinggir-pinggir jalan, berbagai kalangan masyarakat mengharap berkah Ramadan dengan membagikan paket berbuka puasa. Di majelis-majelis taklim masyarakat berlomba-lomba mendistribusikan paket lebaran kepada yatim dan dhuafa. Badan amil zakat dan sedekah juga mulai kembali bergeliat. Mereka secara langsung mengumpulkan dan membagikan zakat kepada yang berhak menerimanya.

Ya, semua ini menandakan berkah kedatangan bulan suci Ramadan. Ramadan seolah menjadikan kita "Recover Together, Recover Stronger" slogan yang ketika diartikan menjadi "Pulih Bersama, Bangkit Perkasa". Slogan ini sebenarnya adalah tema Presidensi Indonesia di G20. Slogan ini dikenalkan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno LP Marsudi, dalam Keterangan Pers Bersama mengenai Presidensi Indonesia di G20 Tahun 2022 yang berlangsung secara virtual di Jakarta tahun lalu.

Spirit yang sama kita dapatkan di bulan Ramadan ini. Spirit Ramadan yang mengedepankan kebersamaan dan kekuatan (keperkasaan) baik secara fisik, mental, dan sosial. Ramadan, yang telah berakhir seminggu lalu, seharusnya bisa menjadi momentum kebangkitan dan pemulihan. Semoga pasca Ramadan akan dibarengi dengan pasca pandemi. Kita berharap berakhirnya Ramadan menjadi titik awal berakhirnya pandemi yang rasanya sudah terlalu lama membersamai kehidupan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun