Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kasus Hukum Terkait SARA, Sebuah Kebiasan Intelektual dan Degradasi Moral

31 Januari 2021   19:59 Diperbarui: 2 Februari 2021   12:19 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu ini, dua kasus dugaan pelanggaran hukum terkait ujaran kebencian menyinggung Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) di media sosial ramai dibicarakan. Para pelakunya sudah dilaporkan ke kepolisian, bahkan ada yang sudah ditangkap.

Salah satu yang menjadi korban adalah Natalius Pigai, mantan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham), yang diolok-olok bernada rasisme oleh orang-orang yang tak suka dengannya. 

Selain itu, ada juga kasus ujaran kebencian yang menyinggung agama Islam. Mirisnya, yang melakukannya adalah seorang yang mengaku dirinya beragama Islam. Bahkan dirinya pernah mengaku sebagai kader organisasi masyarakat Islam terbesar di negeri ini.

Kasus SARA dan Kebiasan Intelektual

Sebagai pemerhati pendidikan, saya merasakan adanya  kebiasan intelektual (intellectual bias) yang terjadi pada kasus-kasus ini. Orang-orang tidak bisa membedakan dengan benar antara berpikir kritis (critical thinking) dengan kritik (criticism). 

Berpikir kritis memang sering sekali diasosiasikan dengan kritik. Padahal keduanya adalah hal yang berbeda, walaupun keduanya memiliki konsep yang bersinggungan.

Menurut filsuf pendidikan John Dewey, berpikir kritis (dinamakan olehnya reflective thinking) adalah berpikir dengan pertimbangan yang aktif, persisten, dan cermat atas keyakinan atau bentuk pengetahuan apa pun yang dianggap sebagai dasar yang mendukungnya, dan kesimpulan lebih lanjut dari apa yang cenderung dituju. 

Jika dalam penelitian, berpikir kritis adalah menganalisis fakta-fakta yang ada untuk sampai kepada sebuah keputusan. Intinya kita dituntut berpikir secara lebih hati-hati dan konstruktif dengan mengarah kepada sebuah tujuan (careful goal-directed thinking)[1].

Berpikir kritis juga melibatkan penilaian diri (judgement), yang dibenarkan dengan alasan dan bukti (reason and evidence).

Dalam sebuah artikel yang ditulisnya, Suzanne Manning membedakan antara berpikir kritis dan kritik. Ada tiga parameter yang digunakan untuk membedakannya.

Pertama, kritik adalah tentang menemukan kesalahan pada sesuatu. Berpikir kritis adalah tentang penilaian, yang dapat mencakup menemukan kesalahan dan kekurangan, tetapi lebih menekankan pada pertanyaan dan analisis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun