Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Akreditasi Menguak Jati Diri Sekolah

27 November 2020   07:06 Diperbarui: 27 November 2020   07:29 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen akreditasi (Bernas.id)

Hari Rabu dan Kamis (25-26/11/2020) kemarin, sekolah kami mendapatkan jadwal visitasi akreditasi. Bagi kami, visitasi akreditasi kali ini sangat berbeda. Selain dilangsungkan secara daring, akreditasi sekolah kami ini juga dimulai tanggal 25 November, yang bertepatan dengan Hari Guru Nasional.

Mau bagaimana lagi, jadwal sudah ditentukan, kami tidak bisa mengelak. Di hari guru yang merupakan hari yang sakral bagi para guru, bisa juga dimaknai lebarannya para guru, kita harus duduk berjam-jam di depan layar menjawab pertanyaan, melakukan penjelasan dan klarifikasi kepada para asesor.

Untungnya, ada siswa-siswa yang menghibur kita. Siswa-siswa yang memberikan hadiah kepada kami, walau hanya dengan sebuah video, sudah cukup memberikan dukungan moril kepada kami menghadapi akreditasi.

Menyoal Akreditasi Sekolah

Tak bisa dipungkiri, akreditasi sekolah adalah salah satu proses penting dalam pendidikan. Akreditasi adalah proses pengakuan, pembuktian, dan perjuangan sekolah untuk menunjukkan kinerjanya. Akreditasi akan menguak pertanyaan apakah sebuah sekolah layak dilabeli dengan level tertinggi, yakni akreditasi A, atau tidak. Jika mendapat nilai A, manfaatnya akan sangat besar bagi sekolah warga sekolah.

Dari jauh-jauh hari, warga sekolah sibuk mempersiapkan proses ini. Beberapa kali rapat persiapan dilakukan. Tim dibentuk, kerjasama dan pembagian tugas dilakukan. Terkadang warga sekolah harus lembur untuk bisa menyiapkan butir-butir akreditasi. Dari mulai petugas kebersihan, petugas keamanan, laboran, pustakawan, staf, siswa, dan sudah pastinya ujung tombak akreditasi, guru dan kepala sekolah, semua sibuk dengan tugasnya masing-masing.

Dokumen-dokumen lama dicari, yang belum ada dibuatkan, yang belum lengkap dilengkapi. Merepotkan memang, tapi ini penting dilakukan untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

Ya, akreditasi memang biasanya menyasar kepada telaah dokumen. Sekolah yang bisa menunjukkan dokumen-dokumennya secara lengkap bisa dibilang sudah melangkahkan satu kakinya ke level tertinggi akreditasi. 

Dokumen yang ditelaah adalah dokumen perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Bertumpuk-tumpuk dokumen biasanya disiapkan untuk menghadapi akreditasi ini.

Selain telaah dokumen, akreditasi juga dilakukan dengan wawancara. Asesor bertanya kepada seluruh warga sekolah secara acak. Tujuannya, untuk mengklarifikasi kebenaran dokumen yang telah disiapkan.

Oleh karenanya, dalam proses akreditasi peran asesor sangat menentukan. Terkadang ada asesor yang sangat teliti, mendetail, terstruktur, dan ingin mengerti lebih mendalam semua program sekolah. Ada juga tipe yang kedua, asesor yang lebih kalem, mencoba menelaah dan memahami dokumen dengan lebih santai.

Mana yang lebih baik? Sulit untuk menjawabnya. Bagi warga sekolah, menghadapi asesor tipe kedua mungkin akan lebih mudah. Makanya, jika mendapat tipe asesor yang kalem, warga sekolah lebih senang. Meskipun pada realitasnya, asesor yang kalem belum tentu bisa memiliki penilaian yang baik terhadap kinerja sekolah. Justru sebaliknya, terkadang asesor yang tipe pertama lah yang memiliki penilaian baik terhadap kinerja sekolah. Intinya tipe asesor tidak menentukan.

Yang menentukan adalah bagaimana jalannya wawancara. Proses wawancara dalam visitasi akreditasi memang sangat sakral. Proses wawancara dari asesor inilah yang terkadang membuat akreditasi terasa menakutkan bagi warga sekolah. Takut tidak bisa menjawab, menjelaskan, atau mempertanggungjawabkan semua dokumen yang telah disiapkan. 

Para asesor ini nantinya yang akan menentukan nilai akreditasi sekolah, meskipun hasil visitasi sekolah melalui telaah dan wawancara yang mereka lakukan tidak menjadi nilai akhir yang akan diberikan. Setelah visitasi, para asesor masih harus menghadapi sidang pleno untuk memberikan dan menentukan nilai akhir akreditasi suatu sekolah.

Menguak Settingan Akreditasi

Sejatinya, akreditasi adalah penentuan jati diri bagi sekolah. Sekolah akan diuji apakah benar-benar melakukan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan baik, efektif, dan bisa menelurkan hasil yang maksimal.

Namun sayangnya, ada juga sekolah-sekolah yang terpaksa melakukan "settingan program" untuk mengejar nilai yang baik pada akreditasi. 

Program yang seharusnya tidak ada, bisa diadakan. Program yang belum berjalan, dilaporkan sudah berjalan dengan baik. 

Jika hal ini yang terjadi, mutu dan kualitas sekolah tidak benar-benar teruji. Maka akan muncul sekolah-sekolah terakreditasi A, tetapi memiliki kinerja B, atau malah C. 

Siapa yang rugi? Semua warga sekolah pastinya. Sebabnya adalah warga sekolah akan terlena dengan nilai akreditasi semu yang sekolah dapatkan.

Ada juga sekolah yang melakukan "settingan dokumen". Biasanya, ini terjadi pada sekolah-sekolah yang tidak memiliki tata kelola administrasi yang baik. 

Sebenarnya, sekolah melakukan program-program yang ada di butir-butir akreditasi. Namun, sekolah terkendala dengan pembuktian dengan dokumentasinya. Jadilah dokumen-dokumen yang diperlukan dibuat dadakan dan dalam waktu yang singkat.

Setidaknya, hal ini masih lebih baik dibandingkan dengan mengada-adakan program yang sebenarnya tidak ada.

Sebuah Refleksi

Lantas, apa makna akreditasi bagi warga sekolah?

Bagi sekolah-sekolah yang masih melakukan settingan program atau dokumen, maka akreditasi harus dimaknai sebagai perbaikan kinerja yang harus segera dilakukan. Warga sekolah harus duduk bersama untuk bisa meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah tersebut. Rasa tanggung jawab institusi kepada publik dan masyarakat harus dipentingkan.

Jika tata kelola sekolah bisa maksimal, baik dari sisi realisasi program kerja, maupun dari sisi dokumentasi, maka akreditasi seharusnya bukan menjadi suatu hal yang menakutkan. Justru akreditasi adalah menjadi sebuah proses pembuktian jati diri.

Sejatinya, nilai utama pendidikan di sekolah bukan pada akreditasi, tetapi pada seberapa besar sekolah bisa memberikan manfaat kepada siswa-siswanya. 

Meskipun begitu, bukan berarti akreditasi tidak penting, justru akreditasi akan menjadi salah satu proses penting dalam rangka menuju nilai utama pendidikan tersebut. Kiranya beginilah kita seharusnya memaknai akreditasi.

Alhasil, ada atau tidaknya akreditasi, sekolah seharusnya tetap bisa menjaga kinerjanya. Ada atau tidaknya akreditasi setiap warga sekolah seharusnya memiliki rasa tanggung jawab yang besar akan tugas yang diembannya masing-masing. Inilah mengapa akreditasi penting dilakukan, akreditasi yang bisa menguak jati diri sekolah yang sebenarnya yang sesuai dengan realisasi.

[Baca Juga: Guru Sejati Ada di Hati]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun