Mohon tunggu...
Mahfud Achyar
Mahfud Achyar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - I am a storyteller based in Jakarta, Indonesia.

Undergraduate in Linguistics Studies, University of Padjadjaran, Bandung | Postgraduate in Corporate Communication Studies, Paramadina Graduate School of Communications, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islamic Philanthropy Sebagai Upaya Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Madani

19 Juni 2015   15:12 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:39 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Mahfud Achyar

Tahun 2015, tepat Indonesia memasuki usia ke-70 tahun sejak merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Setiap tahunnya, masyarakat Indonesia senantiasa merayakan kemerdekaan Indonesia dengan berbagai ragam kegiatan: upacara kenegaraan, perlombaan-perlombaan, dan sebagainya. Namun, momentum kemerdekaan Indonesia terkesan sebatas euforia semata. Jarang sekali momentum kemerdekaan digunakan untuk kita merenung, berkontemplasi, dan gelisah memikirkan usia bangsa yang sudah taklagi belia.

Angka 70 tahun semestinya menjadi momentum bagi Indonesia untuk memasuki fase yang jauh lebih matang, jauh lebih baik, dan jauh lebih sejahtera. Namun nyatanya semangat kemerdekaan Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial takkunjung mendekati kesempurnaan.

Indonesia, negeri yang subur dan indah ini nyatanya menyimpan begitu banyak persoalan yang seolah takhenti-hentinya datang silih berganti. Persoalan datang dari berbagai sektor; mulai dari aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya, sosial, dan teknologi. Kondisi demikian membuat Indonesia semakin terkucil di mata dunia dan semakin tertinggal dibandingkan negara-negara sahabat seperti Singapura dan Malaysia.

Mari sejenak kita melihat perkembangan salah satu negara sahabat kita yaitu Singapura. Pada tanggal 23 Maret 2015 lalu, mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew meninggal karena penyakit radang paru-paru. Meninggalnya bapak Singapura modern tersebut mengundang tangis dari 5 juta warga Singapura. Betapa tidak, Lee merupakan tokoh yang sangat berjasa bagi kemajuan Singapura. Ada salah satu ungkapan Lee yang barangkali akan selalu diingat oleh masyarakat Singapura. Ia berkata, “I don’t believe Singapore can produce two top class teams. We haven’t got the talent to produce two top class teams. We will wait and see how constructive the opposition can be, or will be.”

Sejak merdeka pada tanggal 9 Agustus 1965 (10 tahun setelah Indonesia merdeka), Singapura di bawah kepemimpinan Lee berkembang menjadi negara yang memiliki peran penting dalam perdagangan dan keuangan internasional. Singapura kian bersinar di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara bahkan sinarnya mampu menyaingi negara-negara yang dulu diklam sebagai negara maju.

Economist Intelligence Unit (EIU), lembaga kajian independen di bawah pengelolaan majalah The Economist melansir survei mengenai “Indeks Kualitas Hidup” yang menempatkan Singapura pada peringkat satu kualitas hidup terbaik di Asia dan kesebelas di dunia. Singapura juga dinobatkan sebagai negara yang memiliki cadangan devisa terbesar kesembilan di dunia. Tidak hanya sampai di situ, Singapura juga memiliki angkatan bersenjata yang maju dan juga berhasil menjadi negara meritokrasi, bebas korupsi, dan nyaman ditinggali untuk semua ras.

Keberhasilan Lee dalam memajukan Singapura dari negara miskin menjadi negara yang maju sudah sepatutnya menjadi pemantik semangat bagi Indonesia. Sayangnya, kerap kali banyak masyarakat Indonesia yang sinis menilai keberhasilan Singapura. Mereka menilai Indonesia dan Singapura tidak bisa dibandingkan secara apple to apple (komparasi yang seimbang dan cocok). Hal ini lantaran luas wilayah Singapura jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia. Selain itu, permasalahan di Singapura tidak serumit permasalahan di Indonesia. Barangkali pendapat itu benar adanya. Namun, apakah argumen tersebut menjadi pledoi atau excuse bagi bangsa Indonesia sehingga terus terjebak pada kondisi yang stagnan atau bahkan menjadi jauh lebih buruk?

Potret Permasalahan di Bumi Pertiwi

Sebagai manusia yang lahir, besar, dan hidup di Indonesia tentu kita memahami dengan baik bahwa negara yang saat ini dipimpin oleh presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, tengah menghadapi berbagai persoalan yang pelik. Berdasarkan hasil survei dari salah satu televisi swasta nasional, setidaknya ada 10 masalah terbesar yang dihadapi Indonesia, yaitu (1) persoalan kestabilan ekonomi, (2) korupsi, (3) kemiskinan, (4) pengelolaan BBM, (5) sistem pendidikan, (6) pengangguran, (7) tingginya harga pangan, (8) bencana alam, (9) kelaparan dan krisis pangan, dan (10) krisis kepemimpinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun