Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghargai dan Menghormati Rumput

3 Februari 2018   01:43 Diperbarui: 3 Februari 2018   12:56 1728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sosiocritica.wordpress.com)

Aku melangkahkan kaki gontai di pinggir jalan. Menyeret tubuh lelah penuh peluh akibat beban yang memaksaku kadang mengeluh. Beban kehidupan yang tidak mungkin akan sirna selama hidup di dunia nan fana.

Mengejar waktu agar tidak ketinggalan, aku terkadang ikut berlarian bersama teman-teman. Lari menuju sekolahan tempatku menimba ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, ilmu agama sampai ilmu bagaimana mencari makan.

Sesampainya di depan pintu sekolah, menyeruak keluar dari dalam perasaanku sekarung rasa lelah. Lelah akibat tenaga terkuras habis ketika keringat bercucuran basah; berjalan dan berlari dengan helaan nafas yang mendesah.

Aku menuju meja dan bangku tempatku duduk di sudut ruangan kelas yang membisu. Semua murid merogoh tas untuk mengeluarkan buku. Bersama buku tersebut, pak guru membimbing kami agar mampu menyerap ilmu.

Tiba-tiba, mataku tertuju ke ujung sepatu yang kupakai. Di sana kulihat rumput setangkai. Menggenggam sepatuku dengan kondisi lemah terkulai. Merebahkan dirinya seperti seorang putri sedang bersantai.

Ah. ternyata aku tanpa sadar telah mencabut rumput ketika berlari tadi. Rumput itu menempel di alas kaki. Sebenarnya aku tidak sengaja membawa rumput itu pergi, meninggalkan kerumunan dan jamaah tempatnya tumbuh dan jadi .

Berdosa rasanya aku melakukan itu kepadanya. Tetapi sekali lagi aku tidak mengetahui kalau kakiku telah mencabut akarnya, membuat si rumput terpisah dari tanah pijakannya.

Maafkanlah aku rumput malang. Aku telah membuatmu sakit tidak kepalang. Menjauhkan dirimu dari keluargamu tempat bersenang-senang. Memenjarakanmu di alas kakiku dan membuatmu tertendang.

Tiba-tiba pak guru menghampiriku tanpa kutahu. Mungkin dia curiga denganku karena cukup lama aku membisu dan menunduk malu. Perasaan malu yang muncul di kala aku menatap ke arah sepatuku. Sepatu tempat rumput itu terpaku.

Nak.... kenapa kamu dari tadi menunduk terus? Tanyanya kepadaku. "Tidak apa-apa Pak, saya hanya melihat rumput di sepatu saya. Tadi waktu berangkat sekolah saya berlari dan menginjaknya. Sekarang dia menempel di sepatu". Demikian jawabku terhadap pertanyaan pak guru.

"Ya sudah, sekarang kembali perhatikan ya". Pak guru menimpali jawabanku. "Ya Pak". Sahutku lirih karena masih teringat rumput di sepatuku yang masih menempel seolah tidak mau lepas.

Waktu itu mata pelajaran di kelas adalah Ilmu Pengetahuan Alam. Sebuah ilmu yang menjelaskan mengenai macam-macam makhluk yang hidup di bumi ini, mulai manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan termasuk rumput yang terinjak tadi.

Pak guru pun menjelaskan berbagai macam jenis tumbuhan yang ada di atas permukaan bumi. Penjelasannya mengacu kepada buku paket yang diberikan oleh pemerintah sebagai buku acuan untuk siswa sekolah.

Ilmu tumbuhan pun hanya sebatas menjelaskan tentang sifat, ciri, jenis atau klasifikasi lainnya sesuai hasil penelitian para ilmuwan alam. Itu sudah lebih dari cukup untuk seorang murid kelas 6 SD sepertiku dan teman-temanku.

Tidak ada lagi tambahan mengenai apa makna tumbuhan, hakikat sesungguhnya, apa tujuan diciptakannya, apa kondisinya nanti setelah bumi mengalami kehancuran. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya tidak akan ditemui dalam buku paket pelajaran.

Kriiiing... bel berdering. Itu menandakan selesainya jam pelajaran yang sudah diajarkan yang membuatku pusing. Aku pun bergegas keluar menuju kamar mandi untuk kencing.

Setelahnya, aku kembali ke kelas untuk melanjutkan mata pelajaran meskipun sebenarnya aku merasa malas. Tetapi semua kulakukan demi menyiapkan bekal pengetahuan masa depan yang belum jelas.

Selesai semua mata pelajaran, aku pun keluar kelas bersama teman-teman berhamburan. Pulang ke rumah untuk mengisi perut yang sudah menuntut makan. Makan siang dengan lauk ala kampungan, karena orang tuaku bukan orang berkecukupan.

Seperti itulah rekaman sejarah masa laluku di masa kanak-kanak dahulu. Rutinitas yang dihabiskan untuk menuntut ilmu. Akhirnya berpuluh tahun pun beralu. Kini aku mencoba merenungi kejadian rumput yang menempel di sepatuku dahulu.

Baca juga: Nostalgia Anak "Kampoeng Tempo Doeloe

***

Ya. Rumput adalah makhluk "rendahan"  ciptaan Tuhan yang hanya melekat di bumi. Tingginya tidak sampai melebihi tinggi manusia. Meskipun ada rerumputan yang tinggi setinggi manusia, tetapi kebanyakan rumput tidak seperti itu.

Makhluk "rendahan" tersebut kelihatannya sepele. Saking sepelenya, kita tidak pernah peduli kepadanya ketika kaki atau sepatu menginjak kotoran. Tanpa banyak pikiran, kita menggaruk-garukkan telapak kaki, sandal atau sepatu untuk menghilangkan kotoran. Rumput adalah alat kebersihan.

Rumput tidak pernah protes diperlakukan demikian. Mereka hanya diam dan menyerah, menerima apa pun yang kita lakukan. Mau diinjak silakan, mau dicabut silakan, mau diarit silakan, mau dibakar sekalipun silakan.

Sifat dan tabiat rumput yang lemah demikian, tidak serta merta membuatnya terhina selamanya. Justru mereka menjadi sesuatu yang bisa membuat makhluk lain yang lebih besar bisa hidup tidak kelaparan.

Sapi, kambing, kuda, jerapah sampai gajah sekalipun sebagai makhluk paling besar di dunia yang masih ada, membutuhkan makanan berupa rumput hijau. Tanpa ada rumput, semua makhluk tadi akan mati kelaparan. Maka Rumput adalah kehidupan bagi hewan.

Manusia juga membutuhkan para rumput. Ketika manusia membangun rumah, rumput dijadikan sebagai hiasan taman di depannya. Bahkan rumput itu diangkat dan dimasukkan pot agar kelihatan menarik dan memesona di mata manusia lain yang melihatnya. Maka rumput adalah keindahan bagi manusia.

Manusia lain yang ada kaitannya dengan jual beli rumput, juga mengambil manfaat dari rumput tersebut. Di tempat-tempat penjualan bunga, banyak orang menjual rumput untuk keperluan pembuatan taman. Maka rumput adalah aset ekonomi bagi manusia.

Pernah mendengar rumput Fatimah? Sejenis rumput keturunan dari tanah Arab yang dipercayai berfungsi untuk memudahkan seorang ibu yang mau melahirkan. Khasiat air rendaman rumput itu oleh sebagian orang diyakini bisa melancarkan bayi keluar dari kandungan ibunya ketika saat melahirkan. Rumput adalah dokter melahirkan.

Di dalam tradisi pengobatan herbal pun rumput berperan penting. Banyak sekali rumput-rumput yang bisa digunakan untuk pengobatan. Beberapa penyakit bisa disembuhkan hanya dengan menggerus dan merebus rumput untuk diminum airnya. Maka rumput adalah obat.

Ternyata, makhluk "rendahan" itu sangat mulia dan berguna; mulia dan berguna bagi hewan dan bagi manusia. Kemuliaan yang tidak dapat ditangkap jika hanya melihat tampilannya dan posisi kehidupannya yang di bawah.

Lebih mengagumkan lagi, rumput juga bisa menjadi ilmuwan dan profesor terhormat yang pandai berdansa tempat manusia bertanya. Profesor yang jadi rujukan Ebiet G. Ade dalam lagunya: "tanyakan pada rumput yang bergoyang". Maka "kaum rumput" pun layak dihargai dan dihormati.

***

Baca juga: Berteori dari Sepiring Nasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun