Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kritik yang Tidak Simpatik

31 Januari 2018   12:02 Diperbarui: 31 Januari 2018   12:41 2019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon dan Presiden Jokowi (makassar.tribunnews.com)

Bahwa sikap-sikap yang dimunculkan oleh wakil rakyat itu sebenarnya merupakan sikap yang tidak perlu dan tidak wajar. Hal ini di samping akan memancing reaksi yang lebih jauh di masyarakat, juga yang bersangkutan seperti sedang membuat pengumuman mengenai sisi lain dari kepribadiannya yang penuh dendam dan iri dengki dengan orang lain.

Urusan keluarga, urusan hobi atau ibadah tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat banyak. Kecuali jika hal tersebut sudah dianggap mengganggu dan dikerjakan di luar kewajaran dan kepatutan umum. Pada titik seperti ini boleh saja menyuarakan kritik terhadap urusan-urusan tersebut.

Hanya saja ketika dalam praktiknya, posisi dan statusnya sebagai orang yang mewakili rakyat memberikan pernyataan-pernyataan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat tapi hanya mencerminkan kepentingan terselubung dari pribadi atau golongannya, untuk apa sebenarnya yang bersangkutan menyatakan diri sebagai wakil rakyat?

Kata "pencitraan" yang pada awalnya netral sekarang ini sudah dipaksa untuk menyandang status dan sifat yang negatif. Kata yang awalnya merupakan ungkapan dalam rangka memberikan kesan baik di mata publik, sudah sarat dengan kecaman dan umpatan yang dilahirkan oleh para "politisi sakit hati".

Siapa pun tentunya menginginkan dirinya untuk tampil sebaik mungkin di depan publik. Lantas kenapa hal seperti ini dipersoalkan? Seseorang akhirnya menjadi serba salah ketika berhadapan dengan orang yang di dalam dirinya tersimpan "masalah personal dan etis" dalam menyikapi orang lain.

Kata "pencitraan" pada akhirnya justru sangat ampuh untuk menghakimi orang lain dalam segala tindakannya. Kata yang sudah tidak mampu lagi mencerminkan perbedaan antara yang baik dan buruk, antara yang benar dan salah. Kata yang sudah mewakili pernyataan dan ungkapan kaum-kaum "sofis penganut relativisme" yang membuat kabur kebenaran.

Apa pun yang dikerjakan oleh seseorang, serta merta dilekatkan kepadanya ungkapan "pencitraan" dengan tujuan mengoyak pandangan positif dari masyarakat. Bertindak benar pun menjadi salah, bagaimana kalau bertindak salah? 

Bersikap kritis kepada siapapun tidak diharamkan selama itu objektif. Tetapi kritis juga harus berada pada tingkat kewajaran. Sebab kritis yang hanya sekedar meluapkan kegundahan dan kemarahan peribadi, pada akhirnya hanya akan memuculkan reaksi negatif susulan dari masyarakat, terlebih jika hal itu dilakukan oleh para tokoh politik di negeri ini.

Tidak sewajarnya rakyat "dibuat bingung" dengan tingkah laku dan pernyataan para politisi yang membuat samar dan abu-abu kenyataan dan kebenaran akibat dari kritk-kritiknya yang tidak perlu dan kelewatan.

***

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun