Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tafsir Kejujuran dan Keselarasan: Hadiah Sepeda Itu Ditolaknya

17 Januari 2018   11:01 Diperbarui: 17 Januari 2018   13:11 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apdal dan Presiden Jokowi saat berada di Muktamar XII Jatman di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Senin (15/01/2018). (Sumber: www.regional.kompas.com)

"Yang lain (saja), Pak. Jangan sepeda. Susah bawanya ke Palembang. Saya sudah punya dua (sepeda) di rumah." Itulah sepenggal kalimat yang diucapkan oleh seorang warga ketika menolak hadiah sepeda pemberian Presiden Jokowi dalam sesi tanya jawab mengenai Pancasila pada Acara Pembukaan Muktamar XII, Jama'iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabaroh An-Nahdliyyah di Pendopo Kabupaten Pekalongan, Senin (15/1/2018).

"Kata dan kalimat" bukanlah sekadar ucapan tanpa makna. "Kata" yang merangkai menjadi "kalimat" mengandung pemikiran dan perasaan orang yang mengucapkannya. Meskipun terkadang "kata dan kalimat" memiliki makna yang bertolak belakang dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang mengatakannya. Situasi dan kondisi terkadang memaksa seseorang untuk berkata dengan rangkaian kalimat yang bertentangan dengan maknanya.

Tetapi dalam kasus penolakan pemberian hadiah sepeda tersebut, antara kata dalam kalimat yang diucapkan dengan pemikiran dan perasaan warga yang mengucapkannya terjadi kesamaan dan sinkron dengan makna sesungguhnya dari pemikiran dan perasaannya. Inilah kejujuran berkata-kata dari warga yang tidak memikirkan retorika.

Ada dua interpretasi dari peristiwa penolakan tersebut. Pertama, bahwa orang yang mengatakan adalah warga biasa dengan kejujuran maksud dan tujuan dari pemikiran dan perasaannya. Tidak ada bahasa simbolis yang rumit seperti banyak diucapkan oleh para politisi dan petinggi negeri ini. Kata yang memiliki makna beragam dan bersayap dalam rangka menghindari konsekuensi yang mungkin sulit untuk dipenuhi.

Ya, kejujuran dari kalangan rakyat biasa seolah tidak akan kehilangan momentumnya. Bahkan dengan risiko apa pun yang akan dihadapinya olehnya. Sikap "menentang" seorang Presiden tentunya merupakan hal yang tabu dan tidak etis jika menggunakan logika rumit bernuansa politik dan birokrasi. Bahkan tingkat penentangan terhadap seorang Presiden akan berakibat terlemparnya yang bersangkutan dari ruang kepercayaan yang diberikan oleh sang Presiden. Tengok saja beberapa kali reshuffle kabinet terjadi hanya karena pertentangan kata dan kalimat antara seorang menteri dengan menteri atau dengan Presiden.

Mengacu kepada hikmah dan ajaran agama, ada ungkapan yang menyatakan bahwa berkatalah yang benar walaupun itu menyakitkan. Ungkapan tersebut seolah diamalkan dengan tepat oleh warga yang menolak pemberian sepeda tadi. Tentu berat untuk menolak seorang Presiden apalagi yang ditolak adalah hadiah yang mungkin siapa pun akan selalu berharap diberi oleh Presiden. Apalagi kalau ada perasaan dan penilaian tidak sopan akibat penolakan tersebut. Tetapi kebenaran adalah kebenaran yang harus diucapkan dengan segala risiko yang akan diterima.

Reaksi dari Presiden terhadap penolakan ini seolah membenarkan "pahitnya" kebenaran yang diucapkan dan tidak lazimnya penolakan terhadap seorang pimpinan. Mari kita simak reaksi verbal dari Presiden berikut ini: "Sepanjang saya berinteraksi dengan masyarakat baru ini saya beri sepeda tidak mau, gimana Bib (meminta pertimbangan Habib Muhamad Luthfi bin Yahya) sepeda tidak mau, ditawari yang lain. Tapi kalau ditanya minta apa saya feeling mintanya tinggi sekali, ya sudah minta apa belum tentu saya berikan," kata Jokowi.

Presiden Jokowi baru kemarin mendapatkan penolakan pemberian oleh seorang warga biasa yang menyuarakan kejujuran dari pemikiran dan perasaan warga tersebut. Entah apa yang ada dalam benak Presiden kala itu, yang jelas jika saya jadi Presiden, saya akan berpikir bahwa: "Oh ternyata apa yang saya inginkan belum tentu diinginkan oleh rakyat saya meskipun itu sebuah kebaikan".

Interpretasi kedua dari peristiwa tersebut adalah tentang keselarasan antara orang yang berinteraksi. Keselarasan dalam hal keinginan, keselarasan dalam hal perasaan dan keselarasan dalam hal pemikiran yang saling bertemu dalam "forum interaksi" antara keduanya. Terkadang keselarasan itu terbentuk dan terkadang keselarasan itu tidak ada. Begitulah konsekuensi sebuah interaksi dan komunikasi di antara kita.

Kembali mengacu kepada ungkapan bermuatan hikmah, dikatakan bahwa berbicaralah sesuai dengan kadar kemampuan akal orang yang kita ajak bicara. Lagi-lagi ada pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa di atas tadi. Pelajaran di mana kita harus menyesuaikan diri dengan mengetahui latar belakang orang yang berbicara dengan kita supaya apa yang kita sampaikan diterima dan sesuai dengan kapasitas orang yang kita ajak bicara.

Kemampuan ini tidak saja menyangkut kemampuan intelektualitas atau kecerdasan seseorang, tetapi lebih luas dari itu tergantung pada konteks yang melatarinya. Jika dalam konteks pembelajaran, tentu kemampuan itu menyangkut kemampuan daya pikir. Jika dalam konteks jual beli, kemampuan itu tergantung daya beli konsumennya. Sedangkan jika konteksnya adalah pimpinan dan rakyat, maka kemampuan tersebut tentunya berkaitan dengan harapan dan keinginan yang sesungguhnya dari rakyat terhadap pimpinannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun