Mohon tunggu...
Mahatma Putra
Mahatma Putra Mohon Tunggu... -

.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Imaji Lennon

28 November 2010   00:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:14 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Imagine there’s no heaven, it’s easy if you try.
No hell below us, above us only sky.
Imagine all the people, living for today.”


Bayangkan sebuah dunia tanpa surga, dimana manusia hidup berdampingan, kemudian memikirkan bagaimana mereka dapat hidup untuk hari ini saja.

Sepenggal esensi kemanusiaan di atas, yang pernah dipopulerkan John Lennon tersebut, mungkin tidak akan pernah leleh dibakar oleh api kemarahan dan kebencian yang telah memperkosa umat manusia sejak awal tercatatnya berbagai macam kisah, roman dan tragedi kemanusiaan dari awal mula spesies homo sapiens berevolusi.

Lennon sama sekali bukan seorang jenius yang luar biasa bertalenta untuk dapat menggubah susunan simfoni dan lirik yang telah lebih dari lima dekade menggugah manusia untuk membangun pelbagai cara membentuk dunia yang lebih damai. Ia hanya seorang yang cukup sensitif untuk merespon harapan umat manusia dan mengejewantahkannya lewat bahasa universal manusia, yakni musik.

Bumi ini sudah tua, tapi dunia ini belum pernah dewasa. Bumi ini bijaksana, namun manusia beringas.


Bumi ini sudah tua, tapi dunia ini belum pernah dewasa. Bumi ini bijaksana, namun manusia beringas. Sejak awal mula peradaban, manusia mengenal bahwa kepal tangannya, dipadu dengan benda tumpul seperti bonggol batu, dapat dipergunakan sebagai senjata untuk menguasai dan menindas demi kepuasan ego personal dan kelompok.

Bahkan hingga hari ini, saat ilmu pengetahuan dan teknologi –yang merupakan instrumen kemajuan umat manusia—menebas dan menyimbah darah kesana-kemari bak pedang liar yang tajam tanpa gagang, manusia masih bergulat dengan keberingasannya sendiri, dengan dirinya dan sesamanya. Mencoba mencari satu nilai yang dapat menyatukan seluruh penduduk bumi.

Merujuk pada ucapan Obama pada kunjungannya ke Universitas Indonesia pada tanggal 10 November lalu, ia mengatakan tentang keberagaman Indonesia yang mirip dengan Amerika menimbang banyaknya etnis dan suku bangsa yang hidup bersama dan berdampingan dalam satu payung sistem masyarakat yang sama, sehingga potensi konflik tumbuh menjadi lebih dari sekadar wacana abstrak.

Sampit, Poso, Ketapang, Ahmadiyah, penusukan pendeta HKBP, Mbah Priok, hanya beberapa kata kunci dari banyak lagi fenomena yang dapat difungsikan untuk mengidentifikasi begitu banyaknya konflik di Indonesia yang terjadi karena ketidakdewasaan dan ketidakmampuan manusia Indonesia dalam mengatasi masalah yang timbul dari keberagaman dan perbedaan yang seharusnya melukis nusantara dengan pelbagai warna-warni corak budaya yang bhineka.

Jurgen Habermas, seorang filsuf kenamaan dari Jerman yang menjadi penjaga gawang filsafat modern, dalam wacana pos-sekularismenya mengatakan bahwa dalam manajemen konflik, resolusi akhirnya dapat tercapai dengan studi tentang sejarah. Karena dari sejarah kemudian manusia akan selalu dapat belajar untuk tahu bahwa perbedaan bukanlah sebuah “barang baru,” yang mengagetkan umat manusia dengan kehadirannya.

Karena dari sejarah kemudian manusia akan selalu dapat belajar untuk tahu bahwa perbedaan bukanlah sebuah “barang baru,” yang mengagetkan umat manusia dengan kehadirannya.


Namun ketidaksadaran dan ketidakperdulian masyarakat lalu meletakkan perbedaan sebagai sebuah komoditas yang kemudian dapat dikontrol dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan sebagai kendaraan politik yang sangat peka terhadap ekspose media masa.

Tragedi Ampera-Blow Fish mungkin adalah tonggak terakhir eksposure media dalam tragedi kemanusiaan yang kemudian secara tidak langsung mempersalahkan keberagaman –mengesampingkan fakta bahwa keberagaman itu sendiri telah ditunggangi ego dan kepentingan tertentu—menimbang saat ini eksposure media sedang senantiasa mengingatkan akan rudungan duka mendalam bangsa Indonesia atas bencana Wasior, Mentawai dan Merapi, yang mengangkat simpati, kebutuhan rasa solidarisme, kebersamaan dan kemudian pada akhirnya meredakan berbagai potensi konflik dan menjadikannya laten kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun