“Kutatap terus rombongan kereta jenazah itu hingga lenyap dari pandangan. Seketika ada yang merayapi relung-relung kalbuku, Suatu saat, dirikulah yang berada di balik keranda itu, pikirku. Siapa yang akan mengantar kereta jenazahku?”
Kemarin siang, kompasianer senior Pipiet Senja menangis di halaman profilku, terenyuh melihat foto-foto postinganku sebelum ini, Ingin Korupsi? Lihat yang Ini Dulu !!!. Sekarang giliran aku yang terharu sekaligus tergugah setelah mendengar penuturannya di sebuah majalah wanita yang dibeli istriku Ahad lalu (17/01/2009).
Majalah Alia edisi Januari 2010
Pipiet Senja mengisahkan saat memulai tulisannya, ia tengah berada dalam kondisi tidak sehat. Penyakit kronis thalasemia yang dideritanya sejak lahir memberi dampak luar biasa dalam sejarah kehidupannya. Apalagi ia ditransfusi darah sejak tahun 1969 hingga sekarang, termasuk bagian kandung empedunya.
Sejak sepulang dari rawat inap sekitar bulan Maret 2009, ia mulai menekadkan diri untuk laparaskopi, sebuah prosedur pemeriksaan dengan memasukkan teropong kecil ke dalam rongga perut. Dengan biaya sekitar Rp 60 juta, sebuah nilai yang tidak sanggup ditanggungnya. Anaknya yang bernama Haekal mengusulkan agar menjual rumahnya yang berada di Cimahi, namun belum laku juga meski sudah pasang iklan di blog mereka.
Selama berpuluh tahun berobat di rumah sakit, tak jarang ia dilakukan semena-mena. Mulai dari dibentak petugas, dicuekin dokter, sampai ditaruh di koridor UGD saat menjalani transfusi darah. Ketika sampai di UGD, bukannya segera diberi pertolongan malah ditanya, “Ini jaminannya apa?” bahkan tidak jarang petugas berdalih, “Tak ada tempat, lagi penuh, pindah saja ke rumah sakit lain!”.
Hingga suatu saat, ia diterima kembali untuk dirawat di RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. Namun masih ada beban juga rupanya, akhirnya saat pulang menebus obat di apotik, bertanyalah ia pada Butet, putrinya, “Nak, ada berapa lagi isi ATM-nya?”. “Masih ada, Ma…dikiiit!” jawab Butet. Saat itulah seorang kawan bernama Elly Lubis memberi jalan, menjadi penghubung dengan seorang dokter bernama Imam.
Esoknya, Butet melangkah mendatangi alamat kantor yayasan sosial tempat dokter itu berada. “Mereka bersedia meng-cover semua dana operasinya, Ma.” “Alhamdulillah” ucap Pipiet Senja. Tinggal mencari jalan bagaimana supaya biaya sehari-hari terpenuhi dan menebus pinjaman kantor yang mulai menumpuk. Harus dicarikan solusi, tekadnya.
Darah Menetes di Laptop
Selama dua minggu dirawat di RS Polri, Pipiet Senja berusaha menulis dan terus menulis untuk menyelesaikan dua novel anak-anak. Meskipun harus menahan rasa sakit pada urat nadinya yang ditempeli jarum abocat dikarenakan kerasnya memencet keyboard.
Tanpa sadar, tahu-tahu darah sudah merembes dari jarum yang tergeser-geser, hingga membasahi seprei. Omelan Butet dan para perawat tidak digubrisnya demi mengejar tekadnya.
Esoknya, ia dikonsulkan ke poliklinik bedah sambil membawa USG perut yang terbaru. Ternyata poli bedah sudah banyak pasiennya dengan segala keluh kesahnya. Ada yang tidak berdaya menanggung biaya, penyakit bawaan yang tak kunjung sembuh, dan sebagainya. Dari sanalah ia mendapat inspirasi dan semangat hidup.