Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Kembang Api dan Cahaya Shalawat: Merenungi Makna Maulid Nabi di Tengah Gemerlap Malam

4 Oktober 2025   22:20 Diperbarui: 4 Oktober 2025   22:20 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu langit kampung pecah oleh letupan warna.
Hijau, merah, ungu---berpacu ke angkasa, meledak di udara seperti ingin menyaingi kemuliaan malam. Anak-anak berteriak girang. Orang-orang dewasa tersenyum, sebagian merekam lewat gawai, sebagian lainnya terdiam, menatap seolah ada yang mengganjal di hati.

Padahal, di bawah langit yang sama, suara shalawat menggema. Suara hadrah mengiringi bait-bait pujian:
"Shallallahu 'ala Muhammad, shallallahu 'alaihi wasallam..."

Dan ketika mahalul qiyam-saat umat berdiri sebagai simbol penghormatan kepada Rasulullah - letupan kembang api itu kembali membelah udara. Indah, tapi juga mengguncang rasa. Seakan dua dunia sedang bertemu di satu waktu: dunia cahaya langit dan dunia cahaya hati.

Antara Tradisi dan Euforia

Setiap kali bulan Rabiul Awal datang, masyarakat Nusantara punya cara sendiri untuk mencintai Nabi. Ada yang membaca barzanji di surau kecil, ada yang mengadakan pengajian akbar di alun-alun, dan kini, tak jarang yang menambahkan "pesta rakyat" - lengkap dengan panggung hiburan, makanan gratis, bahkan kembang api.

Sebagian bilang, itu bagian dari syiar.
Sebagian lagi, menilai itu sekadar euforia yang melenceng.

Seorang ustaz kampung, sebut saja ustaz Rofi'i, yang malam itu duduk di serambi mushalla, menatap ke arah langit sambil tersenyum getir.
"Cinta Nabi itu tidak harus dinyalakan dengan kembang api," katanya pelan. "Lebih indah kalau dinyalakan dengan sedekah."

Refleksi Sosial: Ketika Maulid Jadi Panggung Kompetisi

Di banyak daerah, Maulid kini bukan lagi sekadar acara ibadah, tapi juga arena adu gengsi. Siapa panitia yang paling ramai, siapa yang paling banyak mengundang ustaz kondang, siapa yang paling meriah menyalakan kembang api---seolah ukuran cinta kepada Nabi bisa diukur dari jumlah letupan di langit.

Ada yang rela berhutang untuk membeli kembang api ratusan ribu. Ada panitia yang membayar mahal untuk sewa panggung. Sementara di sisi lain, masih ada anak-anak di kampung sebelah yang tak punya sepatu untuk berangkat mengaji.

Kata seorang tokoh masyarakat, "Kita sering lupa, Maulid itu lahir dari rasa syukur, bukan dari nafsu pamer."

Cahaya yang Tak Membakar

Kembang api memberi cahaya sesaat---indah tapi cepat padam. Sedekah, memberi makan fakir miskin, menyalakan cahaya yang tidak padam bahkan hingga akhirat.

Rasulullah bersabda:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun