Media sosial - seperti perekam kecil zaman sekarang - mempercepat empati dan kecemasan. Foto surat Farhan diunggah oleh akun-akun yang peduli pada kebebasan sipil; unggahan itu memantik diskusi: apakah aparat bertindak proporsional? Apakah sekolah mengambil keputusan yang manusiawi?Â
Adalah wajar bila publik ikut bertanya. Mereka bukan hanya ingin tahu siapa benar siapa salah, tetapi juga bagaimana negara dan institusi pendidikannya merawat anak muda.
Ada hal sederhana yang bisa jadi jawaban: jangan memotong jalur pendidikan karena sebuah proses hukum yang belum selesai. Itu bukan berarti membebaskan perilaku melanggar hukum, melainkan memastikan bahwa hak dasar seorang anak - hak atas pendidikan - tidak menjadi korban dari kekaburan informasi di era viral.Â
Sekolah sebagai lembaga publik punya peran besar: menjadi penyangga ketika anak terjatuh, bukan palu yang menjatuhkan lebih jauh. Pernyataan SMAN 62 bahwa Farhan tetap tercatat aktif adalah langkah kecil, namun bermakna.
Akhirnya, kita kembali pada surat itu: tulisan tangan yang sederhana, dengan kalimat yang lugas dan permintaan yang jelas. Di situ ada harapan seorang anak: ingin bebas agar bisa kembali ke kelas, menghadap guru, mengerjakan tugas, menunggu hari kelulusan. Di situ pula ada cerminan tanggung jawab kita bersama - keluarga, sekolah, aparat, dan masyarakat - untuk memutuskan apakah kita akan merawat atau menghakimi. Semoga bangku itu akan segera diisi lagi. Dan jika tidak, semoga saja keputusan-keputusan yang diambil kelak mempertimbangkan satu hal sederhana tapi fundamental: pendidikan harus menang.
[mp]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI